"Ya, tho?! Emang unfaedah. Ada ding faedah nya, biar kekinian wkw. Din, kira-kira berapa ya pendanaan yang dihabiskan untuk kampanye gini?", tanya Adul.
"Hemm.... Setauku sih Rp. 0. Karena kampanyenya modal hestek doang dan menggaet komunitas dan sekolah-sekolah.", sahut Udin.
"Mosok, Din? Lah, ngundang pihak-pihak itu kan sewa tempet. Beli wade-wade.", sambut Adul.
"Yaudin lah ga percaya. Susah ah Dul ngomong sama kamu mah bawaannya skeptis mulu", seloroh Udin.
"Wkwkwkw, bukan gitu, Din. Baguslah kalau ga pake pendanaan", balas Adul.
Pada akhirnya, Adul menutup percakapan itu.
"Yaudah lah ya, kalau kamu mau kampanye #WeLoveBalikpapan silahkan aja si. Cuma aku pribadi sih ga mau. Aku cinta Balikpapan, dan menurutku kecintaanku ga perlu aku utarakan dengan hestek gituan. Aktivitas yang menurutku unfaedah itu, Din. Dan akupun gak bangga kalau Balikpapan menang. Wong sejagad raya tetep paham kalau Paris is more loveable."
"Ho'oh, silahkan kalau ga setuju. silahkan juga nyinyir di medsos. Â Itu hak mu bos. Yang penting kamu tetep anterin aku pulang", Udin membalas.
"Balik kah? Ayodah.", Adul mengakhiri.
Adul dan Udin memiliki pandangan berbeda. Diskusi santai mereka sangat tajam. Tapi, Adul dan Udin tetap bersahabat. Mereka sadar perbedaan itu biasa dan wajar. Malah terasa hambar kalau semua seragam. Jadi, yang baca kalau punya pendapat beda sama si Adul, bawa sante aja ces. Jangan ngeGas. Jangan juga si Adul dimusuhin abis kamu baca ini.
Teruntuk Udin. Seorang kakak, teman berfikir dan tempat numpang makan.
*Penulis adalah warga Balikpapan yang kecintaannya pada kota ini tidak perlu di ekspresikan dengan #WeLoveBalikpapan