Entah siapa yang memulainya.. Tapi akhir-akhir ini langit kami dipenuhi gumpalan aksara.. Ada yang bermakna, selebihnya sekedar asa.. Terselip di setiap awan cerah membentuk kata-kata penuh suka.. Membentuk cahaya, membawa berita, mengabarkan segala sesuatu di dunia sana menjadi jendela.. dan dalam sekejap langitpun dipenuhi aksara..
Pada awalnya semua berseri bersuka hati, langit kami yang membosankan dan sepi menjadi seperti terlahir kembali.. Dan akhirnya beberapa dari kami mempelajari, aksara yang ada di atas sana milik manusia, bukan tidak mungkin kami pun mampu melakukan hal yang serupa..
Perlahan tapi pasti kami menorehkan aksara kami sendiri, sebagian lewat mimpi-mimpi, sebagian melakukannya dengan jampi-jampi, lebih banyak lagi dengan telepati, namun tidak ada yang lebih mendatangkan ekstasi selain memahatnya dengan jemari..
Demikianlah, bila kau lihat langit kami saat ini.. Dipenuhi aksara-aksara milik kami sendiri, Dan demikianlah kami menikmati hari..
Namun ada yang mengganggu, beberapa dari aksara itu bersembunyi di sendu awan kelabu.. Mengharu biru, tanpa sebab yang tak menentu..
Dan tak ada yang lebih mengerikan, saat aksara itu digunakan dengan cara yang menyakitkan.. Saling caci maki, saling benci bahkan tanpa pernah saling mengenali.. Dan beberapa dari kami membalasnya dengan caci maki, dan diam-diam mereka menyesal dan bersedih..
Langit memanas, dipenuhi aksara berselimut luka, airmata, dan darah..
Beberapa mulai berkata "kami lelah membacanya.." namun seraya jemarinya merangkai tiap aksara, membentuk kata, membentuk frasa.. Menambah gelapnya langit berwarna yang katanya mereka tidak suka..
Aku hanya tersenyum dan bertanya " Lalu mengapa menghamburkan masa, untuk sesuatu yang tak kau suka..?"
Aku memandangi langit, dan tiba-tiba turunlah hujan, setelah sekian lamanya, dan berjatuhanlah jutaan aksara.. Menangislah mereka yang kebahagiaan dan keberadaannya bergantung disana.. Mereka yang putus asa meratap, dan berusaha menangkap tiap tetes aksara sebanyak mereka bisa..
Aku terpaku demi melihat pemandangan mengenaskan itu, aku ingin sekali berseru..
" Hei, Bangun dari mimpimu!!! "
Namun mereka tak perduli, mereka meraung memandangi aksara yang berserakan di dekat kaki..
Dan yang kutakutkan pun terjadi, kini..
Sejak perisitiwa itu, mereka selalu menundukkan kepala.. Memandangi aksara.. Dimanapun mereka berada.. Tak perduli, saat bersama sahabat, kekasih dan keluarga.. Yang mereka lakukan hanya mengurusi aksara seolah dunia tak nyata..
Begitu pula denganku, sedari tadi.. Aku menundukkan kepalaku.. Menorehkan aksaraku kepadamu.. Untuk kemudian, memindahkan pandanganku pada semua yang ada disekitarku.. Menatap mereka satu persatu..
Yang masih terus merunduk tak jemu..tak cukup peduli untuk menyadari keberadaanku, seolah terpisah ruang dan waktu, tiba-tiba disaat itu.. aku merasa semu..
Rendy aditya
25.09.10
(diperjalanan pulang, tansportasi publik kota bunga 200 tahun usianya.. terinspirasi dua belas manusia merunduk kepalanya ,kiri tujuh kanan lima)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H