Teknologi mengubah hidup manusia, terutama sejak zaman revolusi industri, yang kebetulan waktunya bertepatan dengan kolonialisme yang dilakukan oleh sebagian besar bangsa-bangsa Eropa. Kemajuan teknologi ini diiringi dengan tersedianya sumber-sumber daya serta yang tak kalah penting adalah pasar yang luas. Negara-negara di Eropa sendiri sudah terbiasa untuk bersaing satu sama lain, apalagi di era ini adalah era kolonialisme. yang membuat pertanyaan, siapa yang berhak atas penguasaan sebuah negara? Inggris yang kala itu paling luas wilayah jajahannya tentu akan sangat diuntungkan dengan sumber-sumber daya serta pasar yang lebih luas pula.
Kemajuan teknologi kemudian dimanfaatkan oleh negara-negara Eropa untuk tak hanya menjajah, namun juga memberikan pengaruh terhadap 'ideologi' yang dianut oleh negara-negara yang dijajah. Pendidikan terhadap calon-calon pengganti raja di wilayah-wilayah yang dikuasainya dapat secara efektif mengubah cara pandang masyarakat, lalu dengan teratur pula akan mengubah ideologi secara massif dalam tataran sebuah bangsa. Dari kesemua hal yang dapat berubah karena pengaruh teknologi yang berasal dari barat salah satu yang terpenting yakni ideologi sekuler.
Sebelumnya padahal, tidak ada bangsa di dunia ini yang tidak mengkaitkan teknologi dengan kekuasaan Sang Pencipta. Di Yunani sekalipun, mereka mengkaitkannya dengan kekuatan dewa-dewa mereka. Barulah saat teknologi ini dibawa oleh peradaban barat, ideologi sekuler berkembang dengan sangat pesat. Bahkan ada yang mengatakan bahwa tidak ada satu jengkal tanah pun di bumi ini yang pemerintahannya tunduk kepada aturan Tuhan. Tak ayal, teknologi yang semakin canggih justru bukan mendekatkan seseorang kepada Sang Pencipta, namun semakin menjauhkannya karena ia tak bisa lagi berpikir apa hubungan antara teknologi ini dengan kebesaran Tuhan Pencipta Langit dan Bumi.
Namun demikian, itu tidak menjadikan teknologi sebagai sesuatu yang salah, karena sekulerisme yang datang bersamanya berarti bahwa teknologi itu bisa dipasangkan dengan apapun juga. Sekuler mengandung pengertian memisahkan, yang bisa dimaknai juga dengan memasangkannya dengan hal yang lain. Hollywood misalnya memasangkan teknologi dengan hipnotisme, bentuk sihir kuno yang berhubungan dengan alam bawah sadar. Film-film yang diproduksi tentu memberikan pengaruh baik secara langsung maupun tidak kepada khalayak umum yang skalanya sudah global. Lain lagi dengan masa perang dingin, teknologi bisa dikaitkan dengan dua hal besar waktu itu yakni demokrasi dan komunisme. Lalu bagaimana dengan di tempat-tempat yang jauh, misal di suku-suku yang jauh dari kota besar? Tentu teknologi disandingkan dengan kebutuhan, entah itu berasal dari individu atau masyarakatnya yang secara umum berarti terkait erat dengan kondisi sosial yang ada. Â Â Â
Teknologi 'hanya' sebagai Alat
Ketika seorang yang cacat menggunakan tongkat, maka tongkat itu hanya berfungsi sebagai alat bantu, ketika seorang muadzin melantunkan adzan sekalipun pengeras suara yang digunakannya hanyalah sebagai alat bantu, begitu pula ketika seorang polisi menjalankan tugasnya untuk menangkap penjahat maka pistol itu hanya digunakan sebagai alat bantu. Barulah dibalik itu kitab isa melihat ideologi yang dibawanya, seorang muadzin membawa ideologi agama Islam dimana ia mengingatkan kepada para pengikutnya untuk menjalankan ibadah, polisi menjalankan misinya dalam ideologi pertahanan dan keamanan, sementara tongkat yang digunakan oleh pemiliknya yang cacat akan turut membawa ideologi apapun yang menjadi milik si empunya.
Coba sekarang kita ubah sedikit kondisinya, misal nuklir digunakan oleh Amerika Serikat untuk memenangkan sekutu atas jerman dan jepang. Tapi kemudian ada kesan yang timbul di kemudian hari bahwa senjata-senjata canggih yang berasal dari barat itu digunakan untuk memaksakan ideologi dan cara hidup sang pembawanya. Ekonomi politik dunia kemudian pasca perang dunia kedua amat sangat ditentukan oleh keberadaan dollar sebagai satu-satunya mata uang sah yang dapat ditukarkan dengan emas atau sebaliknya. Selain itu dollar, yang bahkan dicetak oleh lembaga non negara, dipakai sebagai alat tukar perdagangan antar negara. Hal yang sebenarnya menunjukkan bahwa teknologi digunakan untuk mempengaruhi atau mengubah ideologi. Amerika bisa memaksakan penggunaan uang kertas terkhusus dalam hal ini miliknya sendiri agar tak hanya dapat menguasai, pun mengontrol ekonomi dunia.
Misal logika di awal tadi diubah menjadi seorang pencuri yang menggunakan tongkat untuk naik ke atap rumah yang akan dicurinya, seorang provokator menggunakan pengeras suara agar aksi demo yang berjalan dapat rusuh dan merusak keamanan, lalu penjahat menggunakan pistol yang sama yang juga digunakan oleh polisi untuk merampok korban-korbannya. Tentu hal ini akan memberikan konsekuensi yang berbeda karena ideologi yang dibawa juga berbeda.
Di sini kita bisa memberikan analogi lanjutan tentang bagaimana teknologi informasi sejak zaman televisi dulu ada digunakan untuk menyebarkan pornografi, judi, minuman keras misalnya. Seolah semua itu hanya sebuah cemilan ringan, padahal membawa cara hidup bebas ala barat yang akhirnya bisa kita lihat ujung-ujungnya di masa ini yang sungguh sangat mengerikan. Dekadensi moral bangsa lambat laun kian tergerus, kini kita bisa menyaksikan sendiri berbagai keanehan, yang sayangnya hanya bisa dilihat oleh mereka yang berumur sudah cukup tua dan memiliki banyak pengalaman tentang hidup itu sendiri karena pernah lekat dan dekat dengan nilai-nilai moral yang lebih tinggi.
Mekanisme penyaringan yang digembar-gemborkan melalui pendidikan Pancasila maupun agama pun sudah mulai ditinggalkan. Orang-orang kini sudah tidak begitu peduli tentang dari mana teknologi itu berasal dan apa yang dibawanya. Meskipun itu benar dari sudut pandang bahwa teknologi itu adalah sebuah alat, namun apa-apa yang ikut dibawa atau terbawa oleh teknologi itu haruslah kita perhatikan juga.
Teknologi Pembawa Ideologi
Masalahnya ketika teknologi itu masuk ke dalam wilayah suatu bangsa, secara umum yang menerima tidak dapat memisahkan ideologi yang dibawa atau terbawa olehnya. Berbagai kemajuan teknologi yang masuk dari barat misalnya, akan membawa juga cara-cara hidup ala barat yang jika tidak hati-hati maka lama kelamaan akan terus menggerus batas-batas moral yang sudah baku.Â
Di Jepang misalnya, ideologi kebebasan ala Amerika yang membawa berbagai peralatan canggih, dari sisi negatifnya malah melahirkan industri pornografi yang benar-benar nyata merusak. Bahkan mereka sudah memandangnya wajar-wajar saja, itu adalah bagian dari sebuah pekerjaan. Sayangnya bagi bangsa yang benar-benar paham akan nilai-nilai moral dan spiritual hal tersebut sama saja dengan membunuh masa depan generasinya.
Oleh karena itu penting untuk memiliki identitas diri, kedewasaan, dan kematangan pengetahuan untuk menerima teknologi. Para pembawanya dianggap sebagai mereka yang telah menciptakan inovasi itu pada kenyataannya memberikan contoh pertama bagaimana teknologi itu digunakan. Coba saja bayangkan jika teknologi komunikasi datang dari inovasi Turki Utsmani misalnya, pastilah hasilnya jadi berbeda. Mesin uap juga sebenarnya sudah pernah ditemukan di zaman kekhalifahan Islam, namun saat itu hanya digunakan sebagai alat pemanggang yang dapat berotasi agar panggangannya merata. Namun demikian karena kondisi sosial dan budaya yang berbeda akan menghasilkan perbedaan pula dalam pemanfaatannya. Khilafah tidak bisa serta merta membuat semacam industri dengan teknologi ini, apalagi kultur yang ada tidak selaras dengan inovasi yang dilahirkan. Pekerjaan yang diambil oleh teknologi ini misalnya bisa saja membuat perempuan-perempuan kehilangan pekerjaan, dengan inovasi mesin yang menggantikan tukang tenun pakaian dan pengolahan bahan makanan misalnya. Pekerjaan semacam ini lebih banyak digeluti oleh para perempuan. Islam yang juga lebih suka membebaskan budak tidak begitu cocok dengan masa revolusi industri yang melahirkan berbagai macam perbudakan plus eskplotasi di negara-negara jajahan Eropa, contohnya saja Afrika. Dampak ini kemudian terus berkembang hingga era modern, ketika teknologi digital menggantikan mesin uap sebagai pendorong utama perubahan sosial.
Sayangnya teknologi itu juga berkaitan erat dengan siapa-siapa yang membawanya. Negara-negara jajahan pun akan secara otomatis meniru sebagian atau bahkan keseluruhan dari sistem sekuler yang dibawa oleh para penjajah. Pada dasarnya mereka melihat negara-negara yang menjajah itu lebih 'maju' dibandinghkan mereka terutama karena kemajuan yang ditunjukkan oleh teknologi-teknologinya. Â
Memilih dan Memilah
Disitulah letak kesalahannya, selama ini kita memandang pencapaian yang berhasil diraih barat itu adalah karena kehidupan sosial, budaya, serta ideologi yang mereka anut. Padahal Russia, India, dan China juga bisa membuat roket untuk mendarat ke bulan. Belum lagi pencapaian yang diraih kerajaan Romawi dan Kekhalifahan Umayyah serta Abasyiah di masa lalu yang dengan tegas mengaitkannya dengan agama nasrani dan Islam. Hal yang menunjukkan bahwa untuk mencapai apa-apa yang telah mereka raih kita tidak harus menjadi seperti mereka, sebuah bangsa tidak harus menghilangkan jati dirinya.
Kemajuan yang diistilahkan pun akhirnya mengerucut pada sebuah keanehan, apakah dengan menjadi negara pemroduksi video porno kedua terbesar di dunia membuat jepang merasa maju? Bahkan kini mereka menghadapi masalah mendasar pada generasi penerus bangsa yang semakin sedikit, yang kurang kualitasnya pula dibandingkan para pendahulunya. Lalu lahirnya fenomena LGBT, bukankah itu adalah hasil dari kebebasan dan feminisme yang kebablasan?
Di lain hal kemajuan lalu diartikan sebagai keterbukaan sebuah negara untuk dimanfaatkan sumber-sumber dayanya. World Bank dan IMF dalam hal ini berpengaruh sebagai mediator agar imperialisme itu terus berjalan. Kita bisa melihatnya sebagai sebuah perkembangan pesat, namun hasilnya sebenarnya tidak bisa dinikmati secara utuh, harus dengan jeratan utang. Singkatnya tidak ada negara yang diperbolehkan mandiri, semuanya harus membagi hasil kekayaannya kepada barat, bukankah itu sama saja degan penjajahan bentuk lain?
Kekaguman akan teknologi-teknologi baru membuat manusia menjadi buta akan ideologi yang menempel bersama dengan sang pembawa teknologi itu. Selama mereka belum bisa memisahkannya, mereka hanya akan selalu menjadi pengikut yang ada di belakang. Padahal China sudah menunjukkan bagaimana meraih pencapaian itu tanpa harus mengikuti jejak barat. Identitas diri yang dibangun tetap terjaga, bahkan bisa dibilang mengalahkan Jepang yang mulai terkikis. Indonesia? Bahkan generasi yang baru tidak tahu apa itu identitas bangsanya sekarang ini. Retorika politis dan tontonan maupun hiburan yang mereka saksikan sehari-hari menunjukkan bahwa yang penting adalah uang dan kesenangan, tak peduli bagaimana kau mendapatkannya. Teknologi digunakan hanya untuk memenuhi hal-hal itu, sehingga tidak heran jika pemanfaatan teknologi tidak bisa maksimal. Ditambah pula tingkat kejahatan yang semakin naik karena mereka terbiasa melihat hal-hal yang tidak benar melalui teknologi.
Padahal syarat utama agar teknologi itu bisa berfungsi maksimal adalah adanya tujuan yang jelas dari penggunanya yang sudah dengan sangat matang memiliki pengetahuan yang cukup mengenai identitas dirinya sendiri. Barulah teknologi itu akan bisa digunakan semestinya, sesuai dengan empunya, tidak mengikuti siapa-siapa yang membawanya. Nah pertanyaannya sekarang adalah apa jati diri bangsa dalam diri individu-individu di Indonesia ini? Lalu kemajuan semacam apa yang ingin diraih bersama dengan hadirnya teknologi canggih?
Apakah jati diri itu sendiri bahkan masih ada atau sudah tergerus oleh bisingnya musik k-pop dan tarian-tarian aneh nan erotis di dunia maya? Tanpa jati diri, lambat laun bangsa ini akan berjalan tanpa ideologi, teknologi canggih justru malah akan menghancurkannya sendiri. Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H