Teknologi Pembawa Ideologi
Masalahnya ketika teknologi itu masuk ke dalam wilayah suatu bangsa, secara umum yang menerima tidak dapat memisahkan ideologi yang dibawa atau terbawa olehnya. Berbagai kemajuan teknologi yang masuk dari barat misalnya, akan membawa juga cara-cara hidup ala barat yang jika tidak hati-hati maka lama kelamaan akan terus menggerus batas-batas moral yang sudah baku.Â
Di Jepang misalnya, ideologi kebebasan ala Amerika yang membawa berbagai peralatan canggih, dari sisi negatifnya malah melahirkan industri pornografi yang benar-benar nyata merusak. Bahkan mereka sudah memandangnya wajar-wajar saja, itu adalah bagian dari sebuah pekerjaan. Sayangnya bagi bangsa yang benar-benar paham akan nilai-nilai moral dan spiritual hal tersebut sama saja dengan membunuh masa depan generasinya.
Oleh karena itu penting untuk memiliki identitas diri, kedewasaan, dan kematangan pengetahuan untuk menerima teknologi. Para pembawanya dianggap sebagai mereka yang telah menciptakan inovasi itu pada kenyataannya memberikan contoh pertama bagaimana teknologi itu digunakan. Coba saja bayangkan jika teknologi komunikasi datang dari inovasi Turki Utsmani misalnya, pastilah hasilnya jadi berbeda. Mesin uap juga sebenarnya sudah pernah ditemukan di zaman kekhalifahan Islam, namun saat itu hanya digunakan sebagai alat pemanggang yang dapat berotasi agar panggangannya merata. Namun demikian karena kondisi sosial dan budaya yang berbeda akan menghasilkan perbedaan pula dalam pemanfaatannya. Khilafah tidak bisa serta merta membuat semacam industri dengan teknologi ini, apalagi kultur yang ada tidak selaras dengan inovasi yang dilahirkan. Pekerjaan yang diambil oleh teknologi ini misalnya bisa saja membuat perempuan-perempuan kehilangan pekerjaan, dengan inovasi mesin yang menggantikan tukang tenun pakaian dan pengolahan bahan makanan misalnya. Pekerjaan semacam ini lebih banyak digeluti oleh para perempuan. Islam yang juga lebih suka membebaskan budak tidak begitu cocok dengan masa revolusi industri yang melahirkan berbagai macam perbudakan plus eskplotasi di negara-negara jajahan Eropa, contohnya saja Afrika. Dampak ini kemudian terus berkembang hingga era modern, ketika teknologi digital menggantikan mesin uap sebagai pendorong utama perubahan sosial.
Sayangnya teknologi itu juga berkaitan erat dengan siapa-siapa yang membawanya. Negara-negara jajahan pun akan secara otomatis meniru sebagian atau bahkan keseluruhan dari sistem sekuler yang dibawa oleh para penjajah. Pada dasarnya mereka melihat negara-negara yang menjajah itu lebih 'maju' dibandinghkan mereka terutama karena kemajuan yang ditunjukkan oleh teknologi-teknologinya. Â
Memilih dan Memilah
Disitulah letak kesalahannya, selama ini kita memandang pencapaian yang berhasil diraih barat itu adalah karena kehidupan sosial, budaya, serta ideologi yang mereka anut. Padahal Russia, India, dan China juga bisa membuat roket untuk mendarat ke bulan. Belum lagi pencapaian yang diraih kerajaan Romawi dan Kekhalifahan Umayyah serta Abasyiah di masa lalu yang dengan tegas mengaitkannya dengan agama nasrani dan Islam. Hal yang menunjukkan bahwa untuk mencapai apa-apa yang telah mereka raih kita tidak harus menjadi seperti mereka, sebuah bangsa tidak harus menghilangkan jati dirinya.
Kemajuan yang diistilahkan pun akhirnya mengerucut pada sebuah keanehan, apakah dengan menjadi negara pemroduksi video porno kedua terbesar di dunia membuat jepang merasa maju? Bahkan kini mereka menghadapi masalah mendasar pada generasi penerus bangsa yang semakin sedikit, yang kurang kualitasnya pula dibandingkan para pendahulunya. Lalu lahirnya fenomena LGBT, bukankah itu adalah hasil dari kebebasan dan feminisme yang kebablasan?
Di lain hal kemajuan lalu diartikan sebagai keterbukaan sebuah negara untuk dimanfaatkan sumber-sumber dayanya. World Bank dan IMF dalam hal ini berpengaruh sebagai mediator agar imperialisme itu terus berjalan. Kita bisa melihatnya sebagai sebuah perkembangan pesat, namun hasilnya sebenarnya tidak bisa dinikmati secara utuh, harus dengan jeratan utang. Singkatnya tidak ada negara yang diperbolehkan mandiri, semuanya harus membagi hasil kekayaannya kepada barat, bukankah itu sama saja degan penjajahan bentuk lain?
Kekaguman akan teknologi-teknologi baru membuat manusia menjadi buta akan ideologi yang menempel bersama dengan sang pembawa teknologi itu. Selama mereka belum bisa memisahkannya, mereka hanya akan selalu menjadi pengikut yang ada di belakang. Padahal China sudah menunjukkan bagaimana meraih pencapaian itu tanpa harus mengikuti jejak barat. Identitas diri yang dibangun tetap terjaga, bahkan bisa dibilang mengalahkan Jepang yang mulai terkikis. Indonesia? Bahkan generasi yang baru tidak tahu apa itu identitas bangsanya sekarang ini. Retorika politis dan tontonan maupun hiburan yang mereka saksikan sehari-hari menunjukkan bahwa yang penting adalah uang dan kesenangan, tak peduli bagaimana kau mendapatkannya. Teknologi digunakan hanya untuk memenuhi hal-hal itu, sehingga tidak heran jika pemanfaatan teknologi tidak bisa maksimal. Ditambah pula tingkat kejahatan yang semakin naik karena mereka terbiasa melihat hal-hal yang tidak benar melalui teknologi.
Padahal syarat utama agar teknologi itu bisa berfungsi maksimal adalah adanya tujuan yang jelas dari penggunanya yang sudah dengan sangat matang memiliki pengetahuan yang cukup mengenai identitas dirinya sendiri. Barulah teknologi itu akan bisa digunakan semestinya, sesuai dengan empunya, tidak mengikuti siapa-siapa yang membawanya. Nah pertanyaannya sekarang adalah apa jati diri bangsa dalam diri individu-individu di Indonesia ini? Lalu kemajuan semacam apa yang ingin diraih bersama dengan hadirnya teknologi canggih?