Selepas reformasi lahirlah kurikulum 1999, kurikulum berbasis kompetensi (KBK) 2004, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006. Pergantian yang cukup cepat terjadi, sebelum stabil di kurikulum 2013. Lalu pada 2021 terbitlah kurikulum merdeka yang asalnya merupakan kurikulum darurat akibat pandemi Covid-19. Ciri utamanya yakni pada fleksibilitas pembelajaran yang memanfaatkan potensi teknologi secara penuh dalam prosesnya. Nah, kita sekarang sebenarnya sudah lama lepas dari Covid, akan tetapi kurikulum merdeka tetap menjadi pilihan yang dipergunakan hingga saat ini.
Kurikulum Sebagai Bagian dari Visi Bangsa dan Negara
Kurikulum yang selalu berubah sebenarnya wajar, alasan yang paling masuk akal tentu saja karena perubahan kondisi ekonomi, sosial, dan budaya. Namun ada yang lebih besar daripada itu, yakni kurikulum sebagai bagian dari visi bangsa dan negara yang tentu saja akan sangat ditentukan oleh siapa yang memimpin bangsa ini?
Saya pribadi merasa kurikulum merdeka yang hanya merupakan bagian dari adaptasi perubahan yang diakibatkan oleh pandemi sebenarnya belum mencerminkan visi yang kuat. Bagi saya pemanfaatan teknologi merupakan hal yang sayangnya cukup terlambat, sudah seharusnya teknologi bisa dimanfaatkan secara maksimal dalam dunia pendidikan, ada atau tidaknya pandemi. Meski demikian visi ke depan yang dapat saya tangkap mungkin adalah pendidikan yang murah dan terjangkau di masa yang akan datang. Lalu yang dihasilkan tentu saja adalah siswa-siswa yang dekat dengan teknologi digital, oleh karena itu ekonomi digital juga akan maju di masa yang akan datang, dan memang demikian adanya. Kemajuan ekonomi digital juga salah satunya ditunjang oleh kehadiran kurikulum yang dekat dengan penggunaan teknologi.
Namun, akhir-akhir ini ada yang terasa kurang jika dibandingkan dengan pendidikan di masa lalu, yakni karakter. Entah karakter macam apa yang ingin dibuat, tetapi saya tidak bisa melihat dengan jelas, atau karena pemimpinnya memang tidak jelas kala itu? Entahlah, yang jelas banyak sekali kasus-kasus kemunduran moral bangsa yang terjadi di negeri ini. Bandingkan dengan saat Bapak Ibu bersekolah dahulu, atau Nenek dan Kakek kita, pasti berbeda sekali. Nah, itulah yang saya rasa hilang dan perlu untuk ditemukan kembali.
Ketika Jepang mengajarkan disiplin bagi anak-anak didiknya, tentu para pemimpinnya menyiapkan para pekerja yang tangguh untuk industri dan ekonominya. Begitu pula ketika Korea lebih banyak membuka pendidikan seni untuk mendukung industri musik dan film-filmnya sehingga dapat terus mendominasi setidaknya di level Asia. Nah, lalu apa visi pemimpin Indonesia untuk masa depan generasi mudanya? Kualitas kurikulum sebuah negara akan sangat ditentukan oleh kualitas para pemimpinnya yang harus dapat melihat jauh ke depan. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H