Mohon tunggu...
Rendy Artha Luvian
Rendy Artha Luvian Mohon Tunggu... Penulis - Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Menulis adalah membangun Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kurikulum Pendidikan yang Selalu Berubah, Mau Dibawa ke Mana Masa Depan Generasi Muda Indonesia?

7 Desember 2024   15:20 Diperbarui: 7 Desember 2024   16:12 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi siswa-siswi dalam sistem pendidikan di Indonesia. Sumber: freepik.com

Musim ujian akhir semester sudah dimulai di awal Desember 2024 lalu, beberapa sekolah telah menyelesaikan ujiannya terutama bagi kelas 1 dan 2 SD. Anak saya sendiri yang sekolah di sekolah swasta islam sudah selesai ujian. Meski masih menunggu ada ujian-ujian yang harus remidi atau tidak, saya sebagai orang tua sedikit banyak pasti akan mengevaluasi tidak hanya hasil belajarnya saja namun juga bagaimana proses pembelajaran terutama di rumah. Tidak sedikit saya menemukan materi-materi pembelajaran yang saya rasa lebih susah dibandingkan saat saya bersekolah dulu.

Apakah Bapak Ibu Wali Murid di luar sana merasakan hal yang sama?

Kadang saya berpikir apakah tidak terlalu cepat anak-anak ini belajar misal tentang aljabar atau sekedar mencari luasan dan volume tabung? Anak saya yang masih kelas dua SD saya nilai agak terlalu cepat dalam mempelajari soal-soal itu ditambah lagi bentuknya yang mengambil format uraian. Logika anak-anak untuk memahami soalnya saja sudah sulit, apalagi saat mereka mengerjakan soal tersebut untuk mendapatkan jawabannya.

Kalau saya bandingkan dengan saat saya bersekolah dulu, rasa-rasanya baru di kelas 4 SD saya mendapatkan pelajaran semacam itu, yang notabene sekarang sudah dipelajari oleh anak saya yang baru kelas 2 SD. Duh, saya langsung teringat betapa malasnya menghafal perkalian dan angka-angka waktu itu dan keenggangan untuk sekedar mandi di pagi hari ketika teringat ada pelajaran hafalan dan hitung-menghitung Matematika waktu kecil dulu. Untungnya anak saya lebih bersemangat dibanding saya dahulu, meski dengan alasan yang sama, yakni bisa bertemu dan bermain bersama teman-teman.

Alhamdulillah, saya bersyukur anak memiliki teman-teman yang baik ketika di luar sana banyak terjadi kasus pembullyan. Nah, pertanyaan berikutnya adalah apa yang membuat perbedaan materi pembelajaran yang saya nilai lebih susah dibandingkan ketika saya bersekolah dahulu? Jawaban paling cepat tentu saja karena kurikulum yang dibuat oleh pemerintah. Lalu, sebenarnya apa yang diharapkan oleh pemerintah, terutama bagi masa depan generasi muda Indonesia? Karena bagi saya kurikulum tidak hanya sekedar peraturan, ia juga menunjukkan visi yang besar dari para pembuatnya atau dengan kata lain jenis dan rupa pendidikan menunjukkan seberapa besar visi para pejabat dan pemimpin di tanah air yang sedang berkuasa.

Perlu diingat bahwa sama halnya dengan kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, dunia pendidikan merupakan investasi masa depan dimana hasilnya baru bisa dirasakan ketika mereka yang dididik telah tumbuh besar dan dewasa. Itulah mengapa visi seorang pemimpin bisa digambarkan dari pendidikan yang ia terapkan bagi anak-anak dan generasi muda bangsanya.   

 

Sejarah Singkat Kurikulum Indonesia

Kalau membaca-baca dari sumber di internet, dahulu setelah Indonesia merdeka, ada yang dinamakan dengan Rencana Pelajaran 1947 sebagai pengganti kata 'kurikulum' yang belum dikenal saat itu. Dalam pelaksanaannya menitikberatkan pelepasan terhadap sistem pendidikan yang diterapkan oleh penjajah khususnya Belanda. Selama Orde Lama berkuasa nuansa ideologi anti kolonialisme dan Nasakom ala Soekarno begitu terasa, pada 1964 kurikulum pendidikan ditujukan untuk menciptakan masyarakat pancawardhana (meliputi perkembangan moral, intelektual, emosional/artistik, keterampilan, dan jasmani) yang mendukung visi pembangunan Soekarno.

Saat Orde Baru dimulai, Presiden Soeharto menekankan pada pendidikan karakter berdasarkan Pancasila, oleh karena itu mereka yang sekolah di masa-masa ini pasti mengenang saat-saat menghafal P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Sebenarnya visi pembangunan yang dicanangkan oleh Presiden kala itu juga mempengaruhi dunia pendidikan. Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) misalnya sebagai sebuah visi ke depan melahirkan konsep MBO (management by objective). Lalu ada juga istilah CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) untuk menanggapi dan merespon kemajuan di masyarakat. Pada kurikulum 1994 sebelum kejatuhan Soeharto, kita bisa merasakan sistem caturwulan yang menggantikan sistem semester.

Selepas reformasi lahirlah kurikulum 1999, kurikulum berbasis kompetensi (KBK) 2004, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006. Pergantian yang cukup cepat terjadi, sebelum stabil di kurikulum 2013. Lalu pada 2021 terbitlah kurikulum merdeka yang asalnya merupakan kurikulum darurat akibat pandemi Covid-19. Ciri utamanya yakni pada fleksibilitas pembelajaran yang memanfaatkan potensi teknologi secara penuh dalam prosesnya. Nah, kita sekarang sebenarnya sudah lama lepas dari Covid, akan tetapi kurikulum merdeka tetap menjadi pilihan yang dipergunakan hingga saat ini.

Kurikulum Sebagai Bagian dari Visi Bangsa dan Negara

Kurikulum yang selalu berubah sebenarnya wajar, alasan yang paling masuk akal tentu saja karena perubahan kondisi ekonomi, sosial, dan budaya. Namun ada yang lebih besar daripada itu, yakni kurikulum sebagai bagian dari visi bangsa dan negara yang tentu saja akan sangat ditentukan oleh siapa yang memimpin bangsa ini?

Saya pribadi merasa kurikulum merdeka yang hanya merupakan bagian dari adaptasi perubahan yang diakibatkan oleh pandemi sebenarnya belum mencerminkan visi yang kuat. Bagi saya pemanfaatan teknologi merupakan hal yang sayangnya cukup terlambat, sudah seharusnya teknologi bisa dimanfaatkan secara maksimal dalam dunia pendidikan, ada atau tidaknya pandemi. Meski demikian visi ke depan yang dapat saya tangkap mungkin adalah pendidikan yang murah dan terjangkau di masa yang akan datang. Lalu yang dihasilkan tentu saja adalah siswa-siswa yang dekat dengan teknologi digital, oleh karena itu ekonomi digital juga akan maju di masa yang akan datang, dan memang demikian adanya. Kemajuan ekonomi digital juga salah satunya ditunjang oleh kehadiran kurikulum yang dekat dengan penggunaan teknologi.

Namun, akhir-akhir ini ada yang terasa kurang jika dibandingkan dengan pendidikan di masa lalu, yakni karakter. Entah karakter macam apa yang ingin dibuat, tetapi saya tidak bisa melihat dengan jelas, atau karena pemimpinnya memang tidak jelas kala itu? Entahlah, yang jelas banyak sekali kasus-kasus kemunduran moral bangsa yang terjadi di negeri ini. Bandingkan dengan saat Bapak Ibu bersekolah dahulu, atau Nenek dan Kakek kita, pasti berbeda sekali. Nah, itulah yang saya rasa hilang dan perlu untuk ditemukan kembali.

Ketika Jepang mengajarkan disiplin bagi anak-anak didiknya, tentu para pemimpinnya menyiapkan para pekerja yang tangguh untuk industri dan ekonominya. Begitu pula ketika Korea lebih banyak membuka pendidikan seni untuk mendukung industri musik dan film-filmnya sehingga dapat terus mendominasi setidaknya di level Asia. Nah, lalu apa visi pemimpin Indonesia untuk masa depan generasi mudanya? Kualitas kurikulum sebuah negara akan sangat ditentukan oleh kualitas para pemimpinnya yang harus dapat melihat jauh ke depan.    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun