Kapal itu terbakar namun tetap dapat melaju ke arah pantai, hanya tersisa satu layar besar di belakang. Sisanya terkoyak karena pertempuran yang terjadi di atas kapal dan habis dimakan kobaran api yang membuat beberapa tiangnya pun hangus. Semakin mendekat ke bibir pantai, apa yang sedang terjadi di atas kapal menjadi tontonan orang-orang yang berada di dekatnya. Pertempuran masih terjadi antara pasukan musuh yang berusaha menguasai kapal dengan para prajurit Samudera.
      Posisi prajurit Ternate belum terlihat dekat bibir pantai, membuat semua orang di atas kapal tak memperhatikan apa yang sudah disiapkan oleh seluruh anak buah Panglima Malamo, kecuali satu orang. Ia memegang senjata cukup besar, berbentuk seperti meriam tapi bisa diangkat oleh satu orang yang kuat, dan memang pria ini cukup kekar meski usianya tak lagi muda. Dibalik barisan tameng, dengan keyakinan penuh pria ini menembakkan senjatanya ke arah pasukan musuh yang masih bertahan di kapal dua kali. Satu kali ke arah pasukan musuh di dek depan dan satu lagi ke samping kanan. Ia lalu mengambil jeda dan mengisi kembali senjatanya sebelum menembakkannya terakhir kali ke angkasa dengan satu tangan, kali ini tangan kirinya pun terangkat sepenuhnya ke atas dengan telapak tangan terbuka.
      Di ujung paling selatan, Abdi melihat kapal itu masih cukup jauh, tapi berkat cahaya tembakan tiga kali itu ia sempat melihat siluet pria besar yang mengayunkan gadanya ke arah prajurit musuh di dek belakang.
      "Dalem menjaga bayu geni, Alhamdulillah, berarti masih bisa satu kali lagi..." ucap Abdi memegang erat sesuatu yang tak sabar dinyalakannya.
      "Ayolah.. tinggal satu tiupan terompah lagi..."
      "Sabar tuan pembawa pesan, Panglima Malamo pasti akan membunyikannya sebentar lagi..." ucap prajurit di sebelah Abdi menenangkan. Di ujung tangan prajurit itu ada meriam cukup besar yang siap didorong ke bibir pantai, tapi tetap ia menunggu suara terompah dengan kesiapsiagaan.
      Hal yang sama terjadi di atas mercusuar, kali ini prajurit yang ditugaskan oleh Panglima Malamo untuk mematikan lampu sorot yang terus bertanya kepadanya mengapa tiupan kedua belum juga dibunyikan, tangannya sudah gatal ingin segera mencabut kabel aki di bagian belakang.
      "BELUM! TUNGGU, BERSABARLAH!" ucap Panglima Malamo tegas.
      "Tidakkah kau lihat!? Telapak tangan itu teracung ke atas, ia menembakkan senjatanya ke angkasa dan mengangkat telapak tangannya ke arah bibir pantai! Itu artinya tahan dulu!"
      "Senjata itu bukan senjata sembarangan, itu Rentaka, senjata baru sejenis meriam kecil. Pasukan di depan dan di samping langsung berhamburan dan banyak pasukan musuh tergeletak," Panglima Malamo melanjutkan sambil terus menatap semua yang terjadi melalui teropongnya.
      "Eh, Rentaka ?" tanya prajurit dari belakang lampu mercusuar.
      "Ya, itu namanya, tapi setahuku senjata itu masih dalam tahap pengembangan oleh Malaka dan Samudera," jelas Malamo.
      "Wah, hebat juga ya mereka, untung kita sekutu."
      "Karena Allah, kita bersatu karena Allah anak muda, kau belum melihat kekuatan penuh Mataram kalau begitu.. Tak perlu terkejut dengan hal semacam itu, hmm kalau saja dia kemari lagi, pasti aku akan..." tak sempat melanjutkan kata-katanya, sesuatu yang hitam tampak semakin mendekat ke arah kapal yang terbakar di dekat bibir pantai.
      Panglima Malamo segera mengarahkan teropong ke kapal yang terbakar terutama ke arah pria kekar yang tadi menembakkan Rentakanya.
      "Kapalnya seperti berbelok ke arah selatan.. Ah, mereka akan menyusuri pantainya! Panglima!" ucap prajurit agak keras
      "YA! YA! Aku tahu! Sebentar, ia belum menurunkan tangannya, sepertinya ia masih ingin kita menunggu..." ujar Malamo tak sabar
      "Aku percaya anak muda, aku percaya kepada komandan kapal itu, dan sepertinya aku tahu siapa dia.. hmm, tapi itu dulu sekali, kukira dia sudah pensiun sekarang..." tambahnya.
      "Pastilah ia orang yang sangat cerdas karena bisa mendapatkan kepercayaanmu Panglima!" ucap prajurit.
      "..Atau sangat berpengalaman..." terompah terpegang sangat erat di tangan kiri Malamo, sementara tangan kanan terus memaku teropongnya.
      Kembali ke ujung selatan, Abdi terus melihat dari kejauhan namun tak kunjung nampak cahaya ledakan atau apapun juga. Hanya terlihat kapal yang terbakar itu berbelok ke arah selatan untuk menyusuri bibir pantai. Abdi langsung paham maksud dari gerakan itu.
      "Gila, mereka bisa dikepung lagi, kapal-kapal hitam itu sekarang sudah dekat sekali!" ucap prajurit di sebelahnya.
      "Tenang prajurit, bukankah tadi kau yang bilang sabar, InsyaAllah akan kita hantam mereka setelah ini!" keyakinan nampak di raut muka Abdi ketika ia mengucapkan kalimat itu, percaya sepenuhnya kepada Imam Ibrahim Hassan, kapten kapal sekaligus gurunya. Tangannya segera memegang meriam dari sebelah kiri, bersiap membantu prajurit di sebelahnya untuk mendorong meriam maju ke bibir pantai bila sinyal kedua dinyalakan.
      Tak berapa lama kemudian kapal yang terbakar itu kembali diserbu dari utara, kali ini terlihat jelas ada enam kapal hitam besar yang mengejar. Tak nampak ketakutan di wajah-wajah yang terus bertahan di atas kapal, hanya nafas yang terdengar terengah-engah karena kecapaian. Namun mereka sadar pertempuran belum usai, di dek belakang Dalem berhasil memimpin prajurit Samudera menguasai kembali peralatan andalan mereka untuk dapat lolos. Beberapa prajurit terlihat membawa pemantik, bersiap, menunggu sinyal yang ternyata memang datang tak lama kemudian. Suara ledakan Rentaka kembali terdengar, kali ini berasal dari samping kapal ke arah enam kapal hitam raksasa yang mengejarnya. Berkali-kali, yang dibalas pula oleh meriam dari kapal-kapal hitam raksasa itu. Di dek depan, pria tua yang sangat dihormati oleh seluruh prajurit Samudera akhirnya menurunkan telapak tangan kirinya dan menembakkan Rentaka ke langit di atas, memunculkan sekilas cahaya yang amat terang. Dentuman rentaka itu disusul oleh suara seperti membelah udara dari dek belakang, memunculkan sinar jingga yang mendorong kapal kembali untuk maju, memaksa keenam kapal yang mengejarnya untuk juga menyusuri bibir pantai. Tak perlu menunggu lama, ketika keenam kapal berjejer di depan bibir pantai layaknya domba yang berbaris rapi terdengarlah tiupan terompah yang kedua.
      Gelap! Itu yang dirasakan semua yang berada di situ, baik kawan maupun lawan selama beberapa lama. Mercusuar telah mati, hanya terlihat kapal yang dimakan api di depan. Namun api itu kini tak sendiri, dimulai dari ujung selatan tempat Abdi berdiri hingga mercusuar, secara berurutan munculah api di udara, di tengah pantai, bahkan di bukit atas karang. Mereka yang mendengar perintah 'Andang Api' segera menyalakan obornya, pantai dipenuhi nyala yang membara di mana-mana. Keenam kapal agak melaju pelan, seperti terkejut melihat kobaran api di sepanjang pantai. Menggetarkan seluruh jiwa yang ada di dalamnya dan menciutkan nyali mereka untuk meneruskan penyerangan. Sayangnya kejutan tak terhenti sampai di situ, suara ledakan yang lebih besar dari rentaka memenuhi seluruh bibir pantai, tepat di depan keenam kapal yang melambat. Percikan api terlihat dari ujungnya, membuat lubang-lubang yang cukup besar di badan kapal hitam, memperlihatkan isinya yang hanya kayu biasa. Tak hanya sekali, ledakan seluruh meriam di bibir pantai terdengar hampir bersamaan sebanyak tiga kali, menghancurkan satu sisi kapal hitam. Tak bisa membalas karena posisi meriam mereka yang berada di samping ikut terkena tembakan, akhirnya keenam kapal hitam itu mengambil jalan lagi untuk kembali ke laut.
      Suara takbir membahana di sepanjang pantai, di karang, dan di atas mercusuar. Benar-benar membuat siapapun yang menyerang dan berada di dalam kapal-kapal hitam itu gemetar ketakutan. Beberapa tembakan menyusul mengenai dek belakang ketika kapal-kapal itu berbalik arah. Dari kapal hitam itu jika para musuh melihat melalui dek belakang, maka akan terlihat ratusan nyala api seperti dihidupkan dari ujung selatan hingga utara, bahkan di atas bukit. Memperlihatkan susunan kobaran api yang berbaris rapi dan siap menerkam mereka apabila berani mendekat kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H