Mohon tunggu...
Rendy Artha Luvian
Rendy Artha Luvian Mohon Tunggu... Penulis - Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Menulis adalah membangun Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Catatan Abdi Dalem (Bagian 23, Bumi Kenyalang) - Manusia dan Alam

5 April 2024   10:55 Diperbarui: 5 April 2024   11:00 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: freepik.com

            Semua terasa begitu cepat dan sedikit membingungkan. Hal terakhir yang ada di pikiran Abdi adalah meluangkan waktu lebih banyak dengan menjelajah setiap sudut Malaka, menikmati pemandangan yang ada serta mencoba berbagai jenis makanan sambil terus belajar di Masjid maupun gedung-gedung yang mengadakan konferensi dan ceramah untuk umum. Kegiatan terakhir terjadwal dengan sangat baik karena tingginya minat belajar masyarakat Malaka yang begitu majemuk. Belum lagi banyaknya tamu dari luar baik dari utara maupun selatan yang berdatangan, membuat kota pelabuhannya menjadi pelabuhan paling sibuk bahkan mengalahkan Samudera, Buton, dan Demak.

            "Sudah lihat lautan luas lagi kita Lem," ucap Abdi seketika ketika keduanya melamun memandang ke depan.

            "Yah, paling tidak bisa bareng banyak kapal Di, jadi gak takut diserang, apalagi ada Imam eh Komandan Hassan..." ucap Dalem bersyukur.

            Kapal yang berangkat berjumlah sembilan, empat dari samudera lima dari Palembang Darussalam. Rencananya mereka akan berada di Sarawak selama tiga minggu sebelum menempuh perjalanan ke Mamluk untuk menghadiri undangan.

            "Kenapa ya Kapal dari Malaka baru akan berangkat di minggu ketiga?" tanya Abdi.

            "Gak tahu Di, mungkin masih ngurusi kejadian percobaan penculikan kemarin," Dalem asal menjawab.

            "Iya juga sih.. apalagi yang jadi korban Pak Affar, kerabatnya Hang Tuah sang Laksamana.. Huff..."

Baca juga: 40 Hari Dajjal

            "Banyak banget ya yang kita alami semenjak naik sekoci, pingin liburan dan belajar normal lagi.. Banyak banget sih kejadian aneh," Abdi melanjutkan.

            "Belum lagi satu kapal Samudera yang ternyata rusak dan harus kembali..."

            "Mikirin yang lain aja Di, aku laper nih..."

            "Lah, kan barusan makan Lem!? Oh iya tumben kamu dikit banget porsinya hari ini?"

            "Bosen.. pingin makan domba lagi..."

            "Apa!? Gak bersyukur kamu Lem!"

            Keduanya bertengkar di sela-sela suara angin yang menderu. Perjalanan ke Sarawak cukup mengasyikkan. Keduanya bercerita tentang petualangan mereka selepas dari Samudera kepada Imam Hassan dan awak kapal yang lain selama perjalanan. Abdi dan Dalem seperti artis mendadak yang banyak dikelilingi penggemar. Keduanya tak keberatan, malah kadang lupa melakukan hal lain saking asyiknya bercerita. Banyak pula pertanyaan terutama mengenai Buton yang memaksa Abdi membuka-buka kembali buku catatannya. Di hari sebelum sampai ke Sarawak mereka membahas tentang Konferensi Sejarah dan Masa Depan Uang serta tentu saja ujung-ujungnya membahas peristiwa penyerangan yang terjadi. Dalem sedikit berlebihan dalam bercerita sehingga membuat mood Abdi sedikit menurun.

            "Ah bikin malu aja kamu Lem, kan cuma gitu, lebay banget ceritanya..."

            Malam hari tidak banyak kegiatan yang bisa dilakukan, tapi Imam Hassan mendekatkan kapalnya ke Kapal Ario Damar dan menyerahkan beberapa lembar perkamen, entah berisi apa mungkin saja persiapan pendaratan esok hari begitu pikir Abdi. Sisa malam dihabiskan seluruh awak kapal dengan tenang untuk beristirahat sampai pagi.

~

            'Tempat itu luas', itu yang ada di pikiran Abdi melihat tujuan mereka dari jauh. Hamparan pegunungan dan lembah yang hijau terbentang nampak sangat jelas bahkan sebelum kapal mendarat. Suara burung terdengar begitu merdu ketika mereka semakin mendekati daratan.

            "Tidak begitu banyak penduduk seperti di Malaka, mereka semua campuran, ah ya itu suara burung rangkong. Oleh karena itu tempat ini kadang juga dinamakan Tanah Rangkong atau Bumi Kenyalang..." Imam Hassan memandu mereka untuk berlabuh di pelabuhan yang tak begitu ramai.

            Sebelum jangkar kesembilan kapal diturunkan, penjaga pelabuhan yang ternyata adalah prajurit Malaka menaikkan bendera merah. Sebelum Abdi sempat bertanya, Imam Hassan sudah menunjuk ke arah Kapal Ario Damar yang berada di paling depan. Tampak Ario Damar turun dan menyerahkan beberapa perkamen serta berbicara beberapa saat dengan petugas pelabuhan.

            "Tempat ini bukan pelabuhan dagang dimana biasa banyak kapal yang berlalu lalang dan berlabuh untuk sementara waktu. Harus mendapat izin khusus dari Malaka untuk dapat menuju kemari," ujarnya, kemudian turunlah seluruh awak kapal yang sebagian besar adalah prajurit. Imam Hassan bersama dengan Abdi dan Dalem menuju ke tempat Ario Damar berada.

            "Tidak jauh dari Universitas Sarawak," ucap Ario Damar kepada Imam Hassan.

            "Ah di situ lokasi kemah kita," Imam Hassan mengangguk singkat kepada beberapa petugas pelabuhan yang dibalas riang.

            "Sile, sudah disiapkan semuanye," ucap salah seorang petugas.

            "Soal makanan prajurit kami bisa mengurusnya sendiri, apalagi tidak jauh dari pantai dan di sini tanaman tumbuh dengan lebatnya," ujar Ario Damar.

            "Siap, sesuai pesan yang kami terime tiga hari yang lalu lapangan untuk tenda sudah tersedie begitu pule akses air bersih," salah seorang petugas menimpali.

            "Alhamdulillah, InsyaAllah itu sudah cukup," Imam Hassan tersenyum.

            Ario Damar berbicara dengan beberapa orang prajurit Samudera dan Palembang Darussalam cukup lama sebelum akhirnya berjalan bersama menuju bullock cart yang khusus disiapkan untuk para kapten kapal, Abdi dan Dalem beruntung bisa ikut di dalamnya.

            "Beberapa saya bagi untuk mencari bahan makanan di pantai dan lembah agar kita tidak banyak merepotkan," ucap Ario Damar kepada Imam Hassan.

            "Bagus, apalagi lokasi kita dekat dengan tempat para mahasiswa belajar, jangan terlalu ribut juga," Imam Hassan menambahkan yang diiyakan oleh seluruh kapten kapal kedua kerajaan.

            Bersama dengan kedua pimpinan rombongan dari Samudera dan Palembang Darussalam mereka menuju ke arah sebelah bukit. Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya suara berbagai macam burung menyambut mereka dengan suara paling jelas berasal dari suara Burung Rangkong.

            Tak banyak yang bisa dilakukan setelah berada di lokasi selain menyiapkan tenda, membersihkan diri dan sholat, serta memasak bahan makanan yang didapat. Terdapat sisa-sisa bahan makanan dari kapal yang akhirnya menjadi santapan pertama mereka yang duluan sampai, barulah pada siang dan sore hari semakin banyak prajurit yang berdatangan ke lokasi dengan membawa lebih banyak bahan makanan berupa ikan dan berbagai macam tanaman serta buah-buahan sehingga mengamankan kebutuhan pangan mereka selama dua hari ke depan. Abdi dan Dalem sendiri banyak membantu dari pagi, mulai dari mendirikan tenda, memasak bahan makanan hingga membuat tempat pembuangan sampah sementara. Dengan selesainya seluruh persiapan di hari pertama malamnya mereka semua tidur sangat nyenyak hingga pagi karena kelelahan.

            Dingin ketika subuh, namun badan terasa begitu segar. Suasana yang sangat alami ini sudah lama tidak dirasakan Abdi dan Dalem, selama ini mereka hanya berpetualang ke kota-kota. Seusai menunaikan sholat subuh, keduanya didatangi oleh Imam Hassan yang mengajak ke Universitas di dekat lokasi perkemahan.

            "Gimana, tertarik?" tanya Imam Hassan.

            Tak perlu waktu lama bagi Abdi dan Dalem untuk bersiap, senyum keduanya tak bisa disembunyikan ketika mereka berjalan bersama Imam Hassan menuju bangunan di atas bukit sebelah timur laut.

            Ditemani beberapa prajurit mereka memutuskan untuk berjalan kaki, disepanjang perjalanan cukup banyak hal menarik untuk didiskusikan.

            "Jarak antar rumah penduduk amat jarang ya," Abdi pertama kali berkomentar.

            "Yap, penduduk asli di sini adalah orang Dayak, mereka biasa hidup dengan alam secara harmonis," timpal Imam Hassan.

            "Enak kok hidup bersama alam, apalagi kalau banyak buah-buahan di sekitar," ujar Dalem sambil mengambil beberapa buah berwarna merah muda dari dahan.

            "Makan terus kamu Lem," ucap Abdi.

            "Itu buah engkala, pasti cukup membuatmu kenyang karena kandungan lemaknya. Banyak kok di sini," jelas Imam Hassan.

            Di beberapa tempat yang mereka lalui terlihat rumah-rumah panggung tempat berkumpul.

            "Kebanyakan mereka beragama Nasrani," telunjuk Imam Hassan mengarah ke salah satu rumah panggung. Barulah setelah beberapa lama mereka melihat surau kecil cukup bersih dan tampaknya sangat rutin digunakan.

            "Pasti di sekitar sini banyak orang Melayu dan Melanau. Mereka dari dulu memegang teguh Islam," jelas Imam Hassan sambal melihat ke sekitar.

            "Atau.. memang Allah telah memberi hidayah melalui dakwah Islam, karena dulunya mereka dijajah oleh kaum kafir," lanjutnya masih melihat sekeliling.

            "Sebelum Universitas nanti banyak pemukiman yang cukup padat dan diisi campuran berbagai suku bangsa, yang terbanyak dari Cina."

            Benar saja, tak berapa lama kemudian mereka melihat perkampungan di sebelah kiri dan kanan bukit. Dari jauh memang terlihat orang-orangnya berkulit kekuningan dan sedikit lebih cerah daripada mereka.

            "Wah, mereka mayoritas ya Imam Hassan? Berarti pemerintahannya dipegang oleh mereka? Bukannya Sarawak itu ada di bawah Malaka?" Abdi tiba-tiba mengeluarkan buku catatannya.

            "Sudah mulai mencatat lagi rupanya Di?" senyum Imam Hassan sambil terus melangkah.

            "Ya Sarawak ada di bawah Malaka dan pemerintahan dipegang oleh kita, kaum muslimin. Namun demikian faktanya memang umat Islam jumlahnya kalah dibandingkan umat nasrani di sini," lanjutnya.

            "Allah memberikan kepada umat Islam kepemimpinan di sini dan kita sebagai umat yang rahmatan lil alamin menegakkan hukum dengan adil. Bagi mereka umat nasrani maka diwajibkan untuk menjalankan apa-apa yang diperintahkan Allah di dalam injil, kitab mereka sendiri."

            "Bila terjadi kejahatan dan pelakunya adalah orang nasrani maka mereka akan mendapatkan hukuman sesuai dengan apa yang tertulis dalam kitab suci mereka."

            "Tahukah kalian apa hukuman bagi Penyihir, anak yang sangat nakal dan tidak patuh kepada kedua orang tuanya, serta pezina dalam Injil?" tanyanya tiba-tiba.

            "Eh, apakah sama Imam?" Abdi balik bertanya, penanya teracung di sisi kanan.

            "Ya, dirajam sampai mati," senyumnya kepada Abdi. Dalem terus mengunyah buah engkala yang tadi diambilnya banyak di awal perjalanan, matanya tetap berkonsentrasi menatap Imam Hassan yang dengan tenang memberi penjelasan.

            "Penting bagi kita memastikan untuk setiap umat apalagi mereka yang telah mendapatkan kitab, menjalankan hukum-hukum apa saja yang tertulis di dalamnya."

            "Itu yang menjadikan Allah sebagai Al-Hakam, Sang Pemilik Hukum. Apapun yang tertulis sebagai haram harus menjadi hukum yang haram dan apapun yang tertulis sebagai halal harus menjadi hukum yang halal pula, tentunya dengan penuh kebijaksanaan."

            "Bukankah itu adalah salah satu kewajiban kita sebagai khalifah di muka bumi?"

            Kali ini, Abdi dan Dalem tersenyum, keduanya senang sekali bisa melanjutkan belajar sambil berpetualang terutama dengan orang yang telah mereka kenal. Sementara itu di depan, bangunan yang terlihat sangat bersih mulai nampak. Selain penjaga sepertinya ada beberapa orang di depan gerbang. Beberapa berkulit gelap, memang sangat beragam suku bangsa yang ada di Sarawak.

            "Dakwah yang paling utama di awal adalah ketauhidan, Tuhan itu satu, Allah, tidak beranak maupun diperanakkan, dan Dia berbeda dari makhluk ciptaanNya," tutup Imam Hassan sembari mendatangi beberapa orang di depan gerbang masuk, menanyakan izin untuk berkunjung. Setelah mengobrol beberapa lama ternyata sekarang adalah musim liburan bagi para mahasiswa sehingga kampus terbuka untuk masyarakat umum.

            Tak lama kemudian mereka masuk ke dalam universitas didampingi beberapa mahasiswa yang ternyata berada di universitas bukan untuk kuliah tetapi untuk sebuah kompetisi tiap liburan tiba.

            "Kompetisi yang diikuti oleh hampir seluruh mahasiswa di sini."

            "Terdiri dari beberapa kategori, bahkan ada kategori yang bisa diikuti pula oleh masyarakat umum di sekitar kampus."

            "Yang paling populer adalah kompetisi inovasi teknologi, menulis karangan bebas, dan kompetisi SATRIA."

            Begitulah penjelasan dari beberapa mahasiswa yang mereka temui. Pas sekali mereka datang di kala musim liburan tiba dimana para mahasiswa yang bersekolah di sini mengisinya dengan banyak sekali kompetisi. Ketiga kompetisi yang disebutkan oleh salah seorang mahasiswa tadi adalah yang paling populer. Imam Hassan menanyakan lebih lanjut mengenai ketiga kompetisi tersebut, Abdi dan Dalem pun ikut mendengarkan.

            "Kompetisi inovasi teknologi diikuti sebagian besar mahasiswa tetapi tidak menutup kesempatan bagi masyarakat umum untuk ikut memasukkan ide-ide dan bekerjasama mewujudkannya."

            "Juara tahun lalu berasal dari ide masyarakat di lembah tentang 'teknologi pemurnian air bersih' bekerjasama dengan mahasiswa tingkat tiga."

            "Jadi siapapun yang memiliki ide bisa bekerjasama dengan kita, atau jika ia bisa mewujudkan idenya sendiri akan sangat kita hargai..."

            Para mahasiswa mulai menjelaskan ketiga kompetisi yang paling populer dimulai dari kompetisi pertama, kemudian selanjutnya tentang kompetisi kedua.

            "Menulis adalah bagian dari hidup kita, dan hal ini tidak mengenal tingkatan maupun status di dalam masyarakat. Oleh karena itu semua boleh ikut serta, apalagi temanya bebas. Nanti akan dipilih beberapa tulisan terbaik yang akan dipublikasikan menjadi satu buku."

            "Tahun lalu beberapa karya terbaik yang terpilih kalau tidak salah tentang pengolahan sampah makanan untuk pupuk tanaman, posisi strategis Sarawak sebagai pusat penelitian dan pengembangan di Nusantara, serta Membumikan energi terbarukan."

            "Teknologi energi terbarukan amat dihargai di sini, kita berusaha mengejar ketertinggalan dengan Mataram, meskipun beberapa mengatakan kita sudah melampaui mereka."

            Abdi menanyakan apa saja teknologi yang telah mereka kuasai dan menceritakan bahwa di Mataram sudah bisa menghasilkan listrik mandiri dengan tenaga surya dan aki sederhana. Ternyata mereka telah dapat memanfaatkan energi angin, air, serta biogas. Abdi yang tidak tahu sudah sejauh apa para mahasiswa di Gadjah Mada dan Ganesha mengimplementasikan teknologi terbarukan hanya terdiam dan mendengarkan, ia cukup tertarik mengenai pembahasan ini.

            "Yang ketiga adalah kompetisi yang bisa diikuti oleh semua orang, paling populer di sini, bahkan masyarakat yang berasal dari jauh juga datang untuk mengikutinya."

            "Sangat cocok diikuti para prajurit seperti kalian."

            "Tapi tentu kami membatasi jumlahnya karena keterbatasan waktu."

            "Populer di kalangan suku Dayak, bahkan mereka yang tinggal di pegunungan sekalipun."

            "Kompetisi yang menyatukan semuanya,"

Dari cara para mahasiswa ini menerangkan sepertinya kompetisi ini sangatlah diminati semua kalangan. Barulah setelah mereka menerangkan apa persisnya kompetisi SATRIA itu muka prajurit yang menemani mereka serta Dalem menjadi bersemangat.

            "Diawali dengan lomba ketahanan fisik yakni renang, lari, dan berkuda. Kemudian diakhiri dengan gulat bagi mereka yang terbaik."

            Cukup membuat darah para prajurit yang ikut mendengarkan menjadi mendidih, timbul keinginan untuk mengetes sampai sejauh mana kemampuan mereka. Imam Hassan hanya mengangguk sambil tersenyum memandangi para prajuritnya.

            "Yang menang pada akhirnya adalah yang terbaik dan akan mendapat hadiah pula dari kampus."

            Dan memang kompetisi inilah yang menarik perhatian, kecuali bagi Abdi, ia tidak begitu percaya diri setelah kejadian di Malaka beberapa waktu lalu. Dilihatnya Dalem hanya senyum-senyum saja mendengar penjelasan mengenai kompetisi ketiga yang ternyata akan dilaksanakan lima hari lagi. Imam Hassan menanyakan berapa jumlah peserta yang boleh ikut,

            "Lima dari tamu luar, dari negeri yang sama."

            "Berarti kita bisa memasukkan sepuluh prajurit, karena satunya lagi dari Palembang Darussalam," Imam Hassan memastikan, yang langsung diiyakan oleh para mahasiswa.

            "Biasanya ada ratusan, kemarin total empat ratus delapan puluh yang ikut."

            "Didampingi oleh tabib-tabib dari hospital. Mereka juga ikut menjadi juri di tes ketahanan fisik dan gulat tentu saja."

            "Tujuannya hanya latih tanding, tidak boleh membunuh, dan Alhamdulillah tidak pernah ada yang terbunuh. Jika menurut tabib kondisinya tidak bagus maka akan langsung digugurkan."

            Sepertinya salah satu mahasiswa sangat akrab dengan para prajurit. Imam Hassan pun meminta bantuannya mendampingi mereka nanti supaya tidak bingung dalam proses pendaftaran dan selama kompetisi. Permintaan yang langsung diiyakan, tak lupa Imam Hassan pun menjanjikan bayaran yang pantas untuknya.

            "Alhamdulillah kalau begitu, nah, sekarang bisakah kau mengantarkan kami ke masjid ?"

            Imam Hassan mempersilahkan para prajuritnya yang tampak sangat antusias untuk mengobrol dengan para mahasiswa.

            Abdi dan Dalem memilih pergi bersama Imam Hassan ke arah masjid ditemani dua orang prajurit yang tidak ikut mengobrol.

            "Alhamdulillah, sepertinya tiga minggu di sini tidak akan membosankan, bukan begitu Abdi, Dalem?" Imam Hassan menengok ke arah keduanya.

            "InsyaAllah Imam Hassan!" jawab Dalem dengan bersemangat, sementara itu Abdi hanya tersenyum saja.

            "Baiklah, kita sholat dhuha dulu, baru meneruskan berkeliling," ucap Imam Hassan melihat masjid di depan yang tampak begitu bersih, tentunya karena dirawat dengan baik oleh para takmirnya.

            Setelah sholat mereka berkeliling di lingkungan sekitar Universitas Sarawak yang cukup asri, membuat betah siapapun yang belajar. Banyak sekali taman-taman yang ditumbuhi rerumputan pendek dan bunga di sekitarnya. Tempat-tempat ini digunakan mahasiswa untuk belajar bersama ketika musim kuliah tiba. Mahasiswa yang terdaftar di sini amatlah beragam, berasal dari seluruh penjuru Nusantara dan dapat dikenali dari logat bahasa yang digunakannya. Selain berkeliling mereka juga ditunjukkan lokasi kompetisi pertama dan ketiga.

            "Kompetisi pertama InsyaAllah akan dilaksanakan di gedung seminar utama sedangkan kompetisi SATRIA akan diawali di sungai Rajang, Bukit Lima, dan berakhir di Lapangan Universitas Sarawak," jelas mahasiswa yang mendampingi.

            Setelah puas melihat-lihat lingkungan universitas mereka pun pamit untuk kembali karena harus menyiapkan makan siang dan malam. Tak lupa para mahasiswa mengingatkan mereka untuk mendaftar lima hari lagi.

            "Besok ada kompetisi layangan, ah, bisa dilihat dari kejauhan juga sih," ucap salah seorang mahasiswa saat mengantarkan mereka kembali ke pintu gerbang masuk universitas. Membuat mereka yang berpamitan semakin penasaran ketika perlahan menuruni bukit menuju perkemahan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun