Mohon tunggu...
Rendy Artha Luvian
Rendy Artha Luvian Mohon Tunggu... Penulis - Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Menulis adalah membangun Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Catatan Abdi Dalem (Bagian 18, Malaka) - Menuju Pelabuhan

31 Maret 2024   05:49 Diperbarui: 31 Maret 2024   15:44 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: editan penulis sendiri dari bahan di freepik.com

            Tidak ada yang sengaja membangunkan Abdi dan Dalem dini hari ini, tapi suara terompah yang cukup besar dapat didengar bahkan dari dalam kompartemen mereka. Keduanya tidak langsung berdiri dan terbangun. Melihat jendela luar, Abdi lebih dahulu menatap ke arah laut sementara Dalem masih berusaha menemukan ujung selimutnya. Langit terlihat jelas di luar, bintang-bintang pun masih terang. Entah berapa lama mereka tidur, Abdi segera bergegas mencari sandal, mengambil tas kecilnya dan menarik Dalem menuju pintu keluar kompartemen. Seperti ada ketakutan dalam alam bawah sadarnya, tetapi ia lupa apa. Kompartemen mereka tidak jauh dari pintu keluar menuju dek samping, hanya ada tangga turun setelah itu. Dalem hampir terjatuh sementara Abdi terus mantab melangkah karena ingin segera mengetahui asal suara tadi sambil kembali melihat ke arah laut. Hanya nampak kapal kuning yang berlayar beriringan dengan mereka. Ia pun berlalu menuju ke dek depan, dan di situ dilihatnya Kapten Kapal beserta beberapa kru, termasuk Pak Affar sedang melambaikan tangan ke samping berlawanan arah dari tempat Abdi dan Dalem keluar tadi. Perasaan lega sejenak melingkupi Abdi. Sementara itu Dalem tidak menghiraukannya dan lanjut berjalan ke depan. Semula ia hendak bertanya ke Pak Affar ada apa gerangan, tetapi setelah berpaling ke arah mereka semua melambaikan tangan ia segera mengurungkan niatnya.

            Ia pun paham dan berbalik ke belakang,

"Di! Sudah sampai! Ayo ke sini!" tangannya mengajak Abdi untuk segera ke depan.

Baca juga: 40 Hari Dajjal

            "Heh!? yang bener Lem!?" ia pun maju dan segera melihat ke samping. Terlihat kapal yang mengiringi mereka di sebelah kanan bergerak menjauh ke arah lampu yang cukup terang dan dapat dilihat dengan jelas dari tempat mereka berada.

            "Kapal pertame masuk sungai batu pahat, memang di sane tujuan mereke," Pak Affar bergegas mendekati Abdi dan Dalem yang sesaat kemudian tampak sangat bersemangat.

            "Nah, di depan ade kanal panjang menuju ladang luas tempat dombe-dombe tu nanti turun," jelasnya.

            Abdi dan Dalem menganguk-angguk namun tidak mengalihkan tatapan dari kapal yang menjauh. Mungkin ada sekitar setengah jam mereka berada di dek depan sebelum kemudian menunaikan sholat subuh berjamaah dan kembali lagi ke tempat semula. Kali ini giliran kapal kedua yang akan masuk menuju kanal kedua. Sinar matahari yang mulai muncul membuat mereka dapat melihat sedikit lebih jelas.

            "Yang kedue akan lewat Sungai Muar," jelas Pak Affar menunjuk ke arah depan. Kali ini terlihat cukup jelas ketika kapal kedua masuk menuju ke sungai dari arah laut, di depan ada pelabuhan kecil dan di belakang terhampar padang rumput luas.

            "Oooh sepertinya saya bisa membayangkan sekarang bagaimana nanti domba-domba itu turun dan langsung berada di padang luas..." Abdi berkomentar.

            "Hehe.. iyelaah, tapi nanti dombe-dombe itu pun digembale lagii. Menuju tempat peternakan utamenye..."

            "Waah, hebat juga ya tekniknya. Jadi membuat domba-dombanya nyaman."

            "Iyalah, dari Nusa lagi nyamannya," tambah Dalem tersenyum tanpa mengalihkan pandangannya dari sungai di kejauhan.

            Tak berapa lama sang mentari pun menampakkan wujudnya, meskipun hanya nampak secuil namun cukup untuk melihat ke arah mana mereka akan menuju selanjutnya. "Sungai Melaka" kapal bergerak mengikuti telunjuk Pak Affar. Sementara itu Abdi dan Dalem tak perlu menyipitkan mata karena gerbang masuk di depan yang dijaga beberapa meriam sangat jelas terlihat. Selain mereka ternyata ada tiga kapal lain yang akan masuk, namun dengan ukuran lebih kecil.

            "Yang due itu dari Pattani," ujar Pak Affar menunjuk dua kapal berwarna kuning dengan sedikit corak oranye, sama dengan kapal kedua yang tadi telah bergerak menuju ke Muar.

            "Wah, berasal dari tempat yang sama dengan kapal yang kedua tadi ya Pak Affar," Dalem memastikan.

            "Betul Dalem, tempat yang banyak nian gajah. Sangat elok," senyum Pak Affar kepada keduanya.

            Kapal Kerajaan Malaka tentu saja segera dikenali oleh penjaga gerbang dan kapal-kapal kecil yang telah masuk tadi sedikit merapat ke arah samping untuk memberi jalan.

            Tak sempat memberi komentar banyak, mata Abdi dan Dalem sibuk melihat ke kiri dan ke kanan yang diisi meriam serta pos penjagaan. Jauh di depan adalah rumah-rumah yang bernuansakan keprajuritan di pinggir kanal, tempat tinggal para prajurit penjaga. Baru masuk ke arah rumah-rumah itu, keduanya dikejutkan dengan suara-suara riang di depan.

            "Hah!? Rumah Makan!?" Dalem sedikit melotot ke depan.

            "Di pinggir sungai.. eh kanal!?" Abdi ikut menimpali.

            "Haha, iyelaah.. Ade ape? Belum pernah tengok kah?" ucap Pak Affar.

            Sungai Malaka sedikit bercabang di depan, dapat dimasuki kapal-kapal kecil tapi tidak dengan kapal besar Malaka, mereka terus melaju di jalur utamanya. Diantara cabang-cabang itu berjejer toko-toko dan rumah makan serta jembatan yang menghubungkan pinggir sungai satu dengan lainnya. Kapal-kapal kecil tadi lalu lalang di bawah jembatan. Di depan, mereka melihat Masjid yang sangat besar, cukup untuk menampung seluruh jamaat yang berada dalam radius tiga kilometer di sekitar.

            "Masjid Selat. Ade beberapa di sini. Ini yang paling besar," Masjid ini diberi warna biru di dinding dan hijau di kubah.

            Di belakang masjid ketika kapal melaju terlihat dengan jelas tempat-tempat penginapan bagi para pengunjung yang datang ke Malaka. Beberapa dihiasi lampion yang masih menyala. Kemudian di atas tempat penginapan yang bertingkat ini ternyata ada tempat makan. Mereka yang sarapan lebih awal pagi ini dapat melihat Abdi, Dalem, Pak Affar dan beberapa kru yang masih di luar kapal dengan jelas. Beberapa tangan melambai kepada mereka.

            "Waah, baru kali ini saya melihatnya..." tangan Abdi dan Dalem otomatis membalas mereka yang melambai dari atas penginapan.

            "Seperti bangunan kraton ya penginapannya.. Beda dengan rumah-rumah lain yang tadi kita temui."

            "Iye, salah satu yang termahal disini," jelas Pak Affar.

            "Pantas.. enak ya bisa makan dari atas," ucap Abdi.

            "Waah, kalau itu di depan banyak Abdi. Lihatlah!" Pak Affar menyuruh mereka melihat ke arah depan dimana kanal seperti melebar dan menanjak ke atas.

            "Cume tipuan mate, sebenarnye air sungai yang tidak terlalu penuh karna masih musim kemarau dan memang kanal di depan lebih lebar," jelasnya.

            Tapi bukan itu yang menjadi pencuri perhatian, di depan berjejer toko, tempat makan, penginapan, dan gedung-gedung pertemuan yang tinggi. Setiap tempat dihiasi dengan bunga yang beraneka warna.

            "Waaahh," Tak banyak yang bisa diucapkan Abdi dan Dalem untuk menunjukkan kekaguman mereka. Mata keduanya tak henti-henti melihat ke arah pinggir sungai yang mereka lalui.

            "Venice of Asia. Begitu dulu julukan yang diberikan portugis kepade Malaka, sebelum mereka berhasil merebutnye dari tangan kite sementara waktu."

                                                                        ~~~

            Cukup jauh mereka berlayar setelah memasuki Malaka. Satu setengah jam telah berlalu, di depan hanya ada padang rumput luas. Terlihat di sekitarnya ada beberapa tenda yang didirikan.

            "Itu milik penggembale kite," Pak Affar ikut memandu menurunkan domba-domba setelah mereka memilih spot yang tepat.

            Abdi dan Dalem pun ikut membantu. Para penggembala yang telah menunggu sejak kemarin dengan sigap segera mengelompokkan domba-domba yang sudah menginjakkan kaki di tanah dan menggiringnya menyusuri padang rumput.

            "Sekitar lima, tujuh, dan delapan kilometer di depan ade peternakan pertame yang besar," ujar Pak Affar.

            "Esok InsyaAllah dilanjutkan ke empat peternakan kedue, barulah sisanye langsung diantar ke kota-kota sekitar untuk dikonsumsi," Abdi dan Dalem hanya mengangguk saja. Kapten Mansor menyuruh mereka memotong lima domba sehingga kegiatan pagi ini dilanjutkan dengan menyiapkan domba yang akan mereka makan bersama.

            Siang setelah makan, Pak Affar menawarkan untuk menemani mereka kembali ke Kota Malaka.

            "Ade konferensi mengenai sejarah dan mase depan uang. Di Gedung Sejarah Malaka, tempat yang banyak bunganye tadi.. Ingatkah Abdi Dalem?"

            Segera keduanya mengiyakan.

            Kapal Malaka kembali ke arah sebelumnya untuk menuju pusat Kesultanan dan melabuhkan kapal. Abdi, Dalem, dan Pak Affar mohon izin untuk turun di wilayah penginapan. Kapten Mansor berpesan kepada Pak Affar untuk menjaga kedua tamunya yang segera diiyakan. Ia juga berpesan kepada Abdi dan Dalem untuk menaati undang-undang Hukum Malaka yang isinya tentu saja sama dengan Hukum Islam di Nusantara.

            "Sude tahukan jikalau mencuri, berzine, maupun melanggar Hukum Islam, Abdi, Dalem?"

            "Siap Kapten! Tidak akan berani melanggar! Demi Allah!" Ucap Abdi dan Dalem bersemangat.

            "Jaga janji kalian! Jage juge sholat yaa..."

            "Siap Kapten! InsyaAllah!"

            keduanya, ditemani Pak Affar segera turun ke arah gedung-gedung yang berhiaskan bunga beraneka warna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun