Langit mendung dan sangat gelap, meskipun begitu laut cukup tenang untuk mereka arungi. Cahaya hanya nampak dari ruang kapten, di ruangan tengah atas kapal Pinisi Mataram. Ruangan ini dibuat khusus untuk sang kapten kapal. Namun malam ini kapten tidak terlihat sendirian, ada dua sosok yang tidak asing menemani. Salah satu diantara keduanya terlihat sibuk memeriksa catatan, sementara yang lain menemani kapten mengobrol sambil minum teh. Tampak di samping sosok yang lebih besar toples berisi cemilan yang kini kosong. Kapten sekilas melihat kompas yang selalu disimpan di saku depan celana.
      Di ujung dekat jendela kapten kapal menatap ke arah laut setelah mengecek kompasnya tadi. Dek depan kosong, seluruh penumpang sudah masuk ke ruangannya masing-masing. Hanya terlihat ukiran berbentuk dua pohon besar. Ukiran ini sama dengan yang terlukis di bendera kapal. Lambang persekutuan kerajaan Mataram dan Parahiyangan, dua kerajaan besar yang berada di Pulau Jawa. Kapal Dagang Pinisi ini adalah salah satu karya bersama yang menjadi simbol koalisi dua kerajaan besar dan menjadi transportasi utama penduduk pulau Jawa yang akan bepergian via laut.
      Terdiri dari tiga lantai utama. Lantai dasar digunakan untuk kru kapal dan prajurit kerajaan yang ditugaskan mengawal. Lantai tengah digunakan untuk penumpang yang saat ini diisi oleh para pedagang. Terakhir lantai paling atas diperuntukkan khusus untuk kapten kapal dan awak pilihannya, kadang juga ditemani beberapa prajurit khusus kraton. Meskipun hanya kapal pinisi dagang biasa, kapal ini juga dilengkapi dengan mekanisme pertahanan sederhana dan perahu kecil yang digunakan untuk menyelamatkan diri saat kondisi darurat. Selain kapal dagang, kapal pinisi juga memiliki beberapa jenis lain, yang paling terkenal adalah yang dibuat bersama dengan Demak, berupa kapal perang yang paling disegani di seantero Nusantara.
      Entahlah mengapa, kapten kapal merasa perlu untuk mengecek perahu kecil di lantai dasar, ada perasaan tidak enak yang menghinggapinya semenjak selesai menunaikan sholat Isya' tadi.
      Sekali lagi ia kembali melihat keluar jendela. Memang tidak terlihat apa-apa selain lautan luas. Mungkin hanya perasaan khawatirnya yang berlebihan atau firasatnya saja yang salah. Tak terdengar apa-apa kecuali deru laut di luar, ia pun merapatkan jendela kapal dan suasana hangat kembali menghinggapi karena angin yang dingin terhalang.
      Di jendela terpantul bayangan dua orang yang semenjak Isya' tadi menemaninya. Ia pun berbalik untuk mencari tahu apa yang sedang diobrolkan keduanya sekarang, kursinya ada di depan meja tepat berhadapan dengan kedua tamunya malam ini.
      Goresan tinta sesekali terdengar, Abdi memperbaiki beberapa catatan yang salah, dan Dalem kadang langsung menyeletuk untuk menambahkan dengan sedikit melirik ke arah buku catatan.
      "TA'ZIR Di bukan TARJI', ntar artinya beda lho," ucapnya tiba-tiba kepada Abdi yang seketika mengernyit dan mencoret di catatan.
      "Contohnya apa ya Di Hukum Ta'zir yang sudah pernah kita temui?" ujar Dalem sambil menatap Abdi yang terlihat melongo.
      "Heh, ada gak contohnya?" tanyanya lagi.
      "Wah, aku kaget Lem ternyata kamu teliti juga ya membaca catatan kita. Memang dari Imam Hasan hanya sekilas membahas mengenai Hukum Ta'zir. Seingatku cuma pengertiannya saja yang beliau sampaikan kalau tidak salah. Contohnya belum disebutkan sama beliau Lem," jawab Abdi segera.
      "Kebanyakan kejahatan kriminal bisa dihukum dengan Hudud dan Qhisas, karena memang pencurian dan kedzaliman terhadap manusia, dua jenis kejahatan ini yang paling tinggi tingkat kejadiannya di masyarakat" ucap kapten kapal ikut ke dalam diskusi mereka.
      Di depannya, di atas meja, tampak papan bertuliskan 'KAPTEN KAPAL PINISI MATARAM -- SUDIRMAN'.
      "Hmm, betul juga sih Kapten Sudirman, pemukulan dan penganiayaan dihukum dengan Qhisash dan kasus-kasus penipuan ujung-ujungnya sama dengan pencurian," komentar Dalem.
      "Dihukum dengan Hudud, potong tangan," Abdi menambahkan.
      "Satu lagi yang umum terjadi adalah perzinahan, dihukum dengan hudud cambuk dan rajam. Namun sekarang sudah jauh berkurang karena para pelakunya berpikir hingga seribu kali sebelum melakukan. Resiko hukumannya lebih berat ketimbang kenikmatan sebentar yang didapat," lanjut Kapten Sudirman.
      "Hukum Ta'zir beberapa kali pernah saya lihat ketika singgah, seperti yang terjadi di Kerajaan Nusa," Dalem segera menyimak sementara Abdi menyiapkan pena untuk kembali menulis di catatan.
      "Waktu itu pelaksanaan Hukum Ta'zir terjadi di Masjid perbukitan diantara pelabuhan dan pusat kerajaan yang berada di atas gunung. Di sana banyak sekali penggembala dikarenakan padang rumput yang luas tidak susah didapat. Sehingga setiap kali menuju pusat kerajaan dari pelabuhan, di perjalanan tidaklah aneh bila kita sering menemui kambing dan sapi yang kebetulan lewat. Nah biasanya kambing dan sapi yang lewat ini ditemani penggembala namun kadang juga ada yang terlihat tanpa penggembalanya."
      "Beberapa kambing kadang tertukar hingga saat panen tiba, bahkan sampai memiliki anak-anak kambing dan baru diketahui para pemiliknya ketika akan dijual."
      "Selain peternakan, perkebunan di Kerajaan Nusa cukup bagus, hasil buminya beranekaragam seperti kopi, jambu mete, cengkeh, kakao, vanili, lada, aren, pinang, kapas, wijen dan jarak."
      "Nah, waktu itu ada kejadian sekumpulan yang kambing dibiarkan mencari makan sendiri di padang rumput tiba-tiba berubah haluan menuju ke area perkebunan milik warga kampung tetangga. Hampir seluruh tanaman di situ habis dimakan oleh hewan ternak yang tidak dijaga penggembala itu, padahal tanaman yang ditanaman adalah tanaman musiman yang menghasilkan setiap setahun sekali saja."
      "Jika kasusnya seperti ini maka tidak dapat dihukum dengan hudud pencurian karena pelakunya adalah hewan ternak yang tidak memiliki akal dan tidak dapat pula dihukum dengan qhisas karena pemilik kambing tidak memiliki tanaman yang serupa. Seingat saya waktu itu hakim yang ditugaskan kerajaan memutuskan untuk memberikan dua pilihan yang dapat diambil oleh si pemilik kebun sebagai pihak yang dirugikan," mata kapten Sudirman melirik ke atas kepala Abdi yang sedang menunduk di atas buku catatan, sambil mengingat-ingat.
      "Hmm, yang pertama menerima langsung ganti rugi dari pemilik kambing sebesar nilai tanaman yang dirusak dengan ukuran uang, yakni koin emas dan perak. Namun masalahnya, pemilik kambing tidak memiliki uang yang cukup untuk mengganti kerusakan yang ditimbulkan kambing-kambing peliharaannya. Si pemilik kambing pun sempat menawarkan kambingnya yang masih di bawah satu tahun kepada pemilik kebun untuk membayar ganti rugi, namun ditolak karena pemilik kebun ternyata tidak bisa beternak," jelas kapten Sudirman.
      "Kambing baru bisa dijual jika umurnya sudah mencapai satu tahun kalau tidak salah ya Kapten?" tanya Dalem memastikan.
      "Yup betul sekali Dalem, oleh karena itu pilihan keputusan yang pertama ditolak oleh si pemilik kebun karena kambing tidak dapat langsung dijual untuk membayar ganti rugi kerusakan yang dialami kebunnya," Kapten Sudirman mengingat-ingat kembali.
      "Piihan kedua..."
      "Ganti menjaga.. ah ya... Pada akhirnya si pemilik kebun menerima keputusan kedua yang diberikan oleh hakim yakni si pemilik kambing harus bertanggungjawab atas kelalaiannya tidak menjaga hewan ternak dengan membayar ganti rugi membagi dua hasil penjualan kambingnya nanti setelah siap jual. Nah, hukumannya ditambah dengan menanam kembali seluruh tanaman yang dirusak oleh kambing-kambingnya."
      "kambing-kambing yang dibagi dua penjualannya yakni kambing-kambing yang merusak tanaman si pemilik kebun saja. Apabila pemilik kambing memiliki kambing lain namun tidak ikut ke dalam rombongan kambing yang merusak maka penjualannya tidak harus dibagi dua untuk si pemilik kebun," tambahnya.
      "Kenapa tidak seluruh penjulannya saja yang diberikan kepada pemilik kebun nanti setelah kambingnya dewasa Kapten Sudirman?" tanya Dalem.
      "Hmm, kalau tidak salah hal tersebut dikarenakan tanaman yang ditanam juga masih berusia muda, bukan tanaman yang siap panen sehingga nilainya juga belum bisa langsung ditentukan," jawab kapten.
      "Begitulah pada akhirnya, keputusan inilah yang dipilih oleh si pemilik kebun dan menjadi hukuman ta'zir yang harus dijalankan oleh si pemilik kambing," tutupnya menyudahi pengalamannya menemui hukum Ta'zir di Kerajaan Nusa.
      "Hukum Ta'zir benar-benar didasarkan pada kebijaksanaan sang Hakim berarti ya, kalau hakimnya tidak berilmu pengetahuan luas susah memperoleh keputusan yang adil dan dapat diterima semua pihak," komentar Dalem.
      "Makanya kalau milih hakim harus yang bener-bener bagus Lem," sahut Abdi sambil mencatat.
      "Eh, bisa komentar sambil nulis to dirimu Di, hehehe," ujar kapten Sudirman sembari tersenyum.
      "Apalagi memilih pemimpin Di, tugasnya lebih berat daripada hakim."
      "Iya, kapten Sudirman, memilih pemimpin memang bukan perkara mudah. Bahkan di Buton saja dididik dari semenjak kecil untuk kemudian dipilih yang terbaik, benar-benar luar biasa sistem yang ada di Buton."
      "Yang jadi sultan benar-benar orang terbaik ya berarti, orang kayak Mas Rade.. Benar-benar luas pengetahuannya," ucap Dalem.
      Ombak di luar sedang sedikit kencang rupanya, minuman mereka bergoyang sedikit ketika Kapten Sudirman hendak meraih gelas teh. Pandangannya ke arah jam dinding yang terpancang kaku di dekat pintu masuk ruangan.
      "Masih ingat kan mereka juga harus membuat buku untuk memperlihatkan seberapa luas pengetahuan mereka," Dalem masih melanjutkan.
      "Juga keterampilan dalam berperang dan tentu saja mengurus organisasi. Wah, tak terbayang susahnya pendidikan yang harus mereka tempuh dari kecil."
      "Itulah resikonya menjadi seorang calon sultan sejak dini, beruntung Mas Rade baru ditunjuk setelah dewasa. Benar kan, kalian tidak salah?" tanya kapten Sudirman.
      "Benar kok kapten. Kami sudah memastikan langsung ke ustad Murhum, memang tidak banyak dibahas sih..." Abdi ikut membenarkan berita tersebut.
      "Yah, memang begitu caranya, karena para calon sultan pun butuh hidup normal, dan hanya satu yang akan lulus dan menjadi sultan nantinya, sisanya akan sama seperti orang biasa. Hanya saja mungkin karena kemampuan mereka yang lebih dibanding yang lain menjadikan mereka memiliki kesempatan lebih besar untuk mengurus berbagai macam hal di berbagai sektor untuk negara dan bangsa. Tidak ada yang dirugikan jadinya," kapten sudirman kembali menghirup teh, mungkin mereka masuk ke area dengan ombak agak kencang karena sesekali kapal bergoyang.
      "Calon sultan yang lulus haruslah memiliki keunggulan dan kemampuan yang saat itu dibutuhkan negara dan bangsanya. Orang yang tahu cara menanam lebih dibutuhkan di musim hujan dibanding musim kemarau, begitu pula orang yang pintar memainkan pedang lebih dibutuhkan daripada orang yang pintar menulis di medan perang. Apalagi di masa seperti ini, Kerajaan Buton menjadi tonggak penting berlangsungnya perekonomian kerajaan Islam di Nusantara" kapten kembali menengok ke arah jam dinding yang bergoyang agak tak wajar."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI