"Ah, ini perlu dicatat" ujarnya segera. Dan goresan tinta pun kembali terdengar sementara Dalem mengobrol dengan Imam Hassan. Entah apa yang mereka obrolkan tetapi suara goresan tinta dan obrolan itu perlahan-lahan tergantikan oleh suara wudhu dan diikuti Adzan Ashar. Tanda bahwa mereka harus segera menunaikan sholat. Sore yang indah di Masjid Baiturrahman, bahkan suara burung dan deru angin pun ikut menenangkan suasana.
~
      Masih memiliki waktu seminggu lagi di Samudera, Abdi dan Dalem sudah menghabiskan seminggu berada di Desa Lubuk, nama desa dimana Masjid yang indah, Masjid Baiturrahman berdiri kokoh. Mereka melihat pertanian dan peternakan serta belajar banyak dari penduduk desa. Beberapa jenis bibit rempah pun mereka kantongi selama di sini. Mereka juga bergantian mengajari petani cara bercocok tanam dengan hidroponik, cara yang digunakan di kampung halaman mereka ketika kering panjang berlangsung untuk menghemat penggunaan lahan dan air. Hari-hari yang cukup menyenangkan, apalagi setiap ba'da zuhur mereka sempatkan untuk mengobrol sebentar dengan Imam Hassan, kadang sebelum Ashar dikumandangkan. Jum'at pun kembali menjumpai mereka, kebetulan kali ini paginya tidak ada pelaksanaan hukum jinayat yang perlu untuk disaksikan umum sehingga cukup dilakukan secara tertutup saja. Hanya masalah masalah kecil, namun demikian Abdi dan Dalem ikut menyaksikan pelaksanaan hukuman tersebut ditemani Imam Hassan. Sekedar masalah pertengkaran rumah tangga, wilayah tanam yang sedikit melebar ke tetangga, dan masalah bagi hasil yang kurang adil dari sebuah perjanjian usaha bersama.
      Seusai melaksanakan Sholat Jumat mereka berdua berpamitan dengan Imam Hassan dan seluruh takmir Masjid Baiturrahman kemudian kembali ke penginapan di Desa Lubuk. Di jalan mereka menyempatkan diri berpamitan dengan beberapa petani dan peternak. Kemudian lanjut mengemas barang untuk siap menuju ke pelabuhan pada pagi harinya, kali ini hanya dengan berjalan kaki karena ternyata di hari Sabtu petani yang memilki kebun kelapa di pinggir desa libur dan baru ke pelabuhan pada hari Minggu.
      Suasana perjalanan begitu mereka nikmati dan keduanya tak hentinya membahas mengenai apa yang telah disampaikan Imam Ibrahim Hassan. Sesampainya di kota pelabuhan mereka segera mencari jalan ke arah pasar dan memang tidak susah menemukan rombongan dagang Parahiyangan dikarenakan pakaian dan barang dagangan yang mereka bawa. Setelah itu Abdi dan Dalem cukup menanyakan kembali arah tempat penginapan yang ternyata sudah dilupakan keduanya karena langsung pergi begitu menginjakkan kaki di sana. Sisa hari mereka gunakan bersama awak kapal untuk bersih-bersih dan bersiap melanjutkan perjalan serta mengisi kembali perbekalan mereka selama perjalanan nanti. Kali ini keduanya selalu berada dekat dengan kapten kapal dan membantu persiapan berlayar.
      Saat berlayar kembali pun tiba, hujan hanya datang dua kali karena memang saat itu musim kemarau dan perjalanan laut terasa akan sangat nyaman dan menyenangkan dibandingkan ketika musim hujan. Kapal Pinisi Mataram yang membawa rombongan dagang dari Parahiyangan berlayar kembali mengarungi samudera menuju pulau di tengah Nusantara.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H