Â
      Ada kata-kata bijak dari orang-orang tua yang menyaksikan hingar bingar dan berbagai kejadian yang terjadi sepanjang pemilu di era modern ini. Kata-kata itu begitu terasa di pikiran, jiwa, dan hati penulis. Kira-kira seperti ini kata-katanya, "zaman dahulu pemimpin dipilih oleh orang-orang yang memiliki kualitas, sehingga wakil rakyat yang dipilih juga memiliki kualitas dan pemimpinnya adalah mutiara yang bersinar diantara lautan samudera yang luas."
      Itu baru kalimat pertamanya, yang sudah berasa menohok. Meskipun, masih bisa dijawab dengan jawaban yang juga tak kalah bagusnya. Namun demikian, kita teruskan dahulu ke kalimat selanjutnya, "suara-suara yang menentukan kepemimpinan Negara ini kini disamaratakan, suara berlian sama nilainya dengan suara kerikil, sehingga jumlah mengalahkan kualitas."
      Kalimat itu sebenarnya memiliki makna yang sama, yang bisa dijabarkan maknanya menjadi beberapa bagian. Pertama, tentu kita mengingat kembali zaman dimana sistem Kerajaan dan Kesultanan masih mendominasi di wilayah Nusantara. Waktu itu, wakil-wakil rakyat adalah mereka yang paling terpelajar, memiliki ilmu pengetahuan yang luas, dan paling mengerti tentang pemerintahan serta kebutuhan rakyatnya. Mereka yang mengerti betul apa isi kitab suci dan paling dekat amalannya sehari-hari dengan apa yang diperintahkan Tuhan juga menjadi wakil-wakil rakyat untuk akhirnya memilih pemimpin.
      Kedua, keburukan demokrasi nampak sangat nyata di sini. Demokrasi membuat suara berlian menjadi sama nilainya dengan suara kerikil, lebih jauh lagi suara para wali nilainya akan sama dengan suara-suara penjahat. Bahkan lebih parah lagi, suara-suara setan kini ikut menentukan proses pemilihan pemimpin di Negeri ini.
      Padahal kalau mau mengikuti asas berbangsa dan bernegara sudah tentu yang terjadi adalah 'kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan, perwakilan'. Seharusnya wakil-wakil rakyat adalah mereka yang memiliki hikmah dan kebijaksanaan, yang nantinya akan bersmusyawarah bersama untuk kepentingan bangsa dan negara.
      Meskipun demikian, ada jawaban yang meyakinkan tentang sejarah orde baru dan kemunculan era reformasi yang mengajarkan untuk tidak seratus persen mempercayakan suara-suara rakyat ke para wakil yang pada akhirnya hanya patuh dan taat kepada pemimpin otoriter. Pemilihan langsung menjadi proses yang harus dijalani di masa itu. Namun perlu diingat  bahwa keberlangsungan proses ini sangat memerlukan usaha-usaha untuk menaikkan kualitas suara-suara yang memilihnya. Yang tadinya kerikil menjadi batu yang mengkilap, sehingga tidak hanya sekedar mencoblos dan memberikan suara tanpa mengerti apa visi, misi, beserta rekam jejak para calon wakilnya. Â
      Sayangnya, itulah yang terjadi, sehingga di hari ketika pemilihan umum dilakukan secara serentak, para pemilih tidak banyak mengenal siapa-siapa saja wajah yang terpampang di surat suara. Alhasil, seperti sebelum-sebelumnya, lagi-lagi para artis dan komedian yang dengan senang hati memanfaatkan situasi ini. Wajah-wajahnya lebih dikenal oleh ibu-ibu rumah tangga beserta mereka yang setia memantengi tayangan di layar monitor.
      Lalu? Bagaimana kalau mereka pada akhirnya juga hanya berakting dan mengikuti saja script yang sudah dituliskan? Bukankah para aktor dan aktris itu begitu lihai melakukannya? Apakah Anda yakin mereka tidak mengikuti script yang sudah diatur sebelumnya oleh mereka yang berpengaruh misalnya? Alih-alih memperjuangkan kepentingan rakyat di wilayah yang diwakilinya?
      Atau jangan-jangan mereka menjadikan permasalahan-permasalahan di Negeri ini menjadi bahan guyonan dan seperti sebelum-sebelumnya, akhirnya ikut terbawa arus hitam yang nampak indah dan putih bersih sebersih susu di luarnya. Entahlah, apa yang sudah dan sedang terjadi di Negeri ini, yang jelas kecenderungan untuk memilih para artis, komedian, beserta orang-orang terkenal lebih besar ketimbang memilih calon wakil-wakil yang memiliki pengalaman serta rekam jejak yang jelas.
      Mungkin karena rasa sakit hati, mungkin juga karena kepercayaan yang menurun sehingga kebanyakan dari mereka tidak ingin lagi memilih wakil-wakil rakyat dengan profil serta biografi 'berbobot'. Tak bisa dipungkiri memang, berita-berita Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme selalu menyeret para wakil rakyat yang sayangnya segera dilupakan. Coba ingat-ingat di gambar Pemilu kemarin lalu, ada yang pernah terseret namanya di pusaran hukum, tapi toh lolos-lolos saja untuk mencalonkan diri kembali. Hal itu juga yang bisa menjadi pemicu dan alasan mengapa orang-orang lebih cenderung memilih para artis dan komedian terkenal ketimbang melihat lebih jauh profil dan rekam jejak yang tak akan menghabiskan waktu seminggu lamanya.