Mohon tunggu...
Rendy Artha Luvian
Rendy Artha Luvian Mohon Tunggu... Penulis - Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Menulis adalah membangun Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Manusia dan Politik yang Sesungguhnya (Sejati)

14 Januari 2024   12:21 Diperbarui: 14 Januari 2024   12:21 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kitab Kutara Manawa diilhami oleh kitab hukum yang lebih tua yang digunakan pada masa Kerajaan Singosari, yaitu Kutarasastra dan Manawasastra. Kitab-kitab di masa Singosari itu pun adalah saduran dari hukum yang pernah diterapkan pada masa kerajaan sebelumnya, yaitu Kerajaan Medang atau Mataram Kuno dan Kalingga, dimana hukum tersebut dikenal dengan nama Dharmasastra.

Makatanggwan rasagama ri sang hyang Kutara Manawa adi, manganukara prawettyacara sang pandita wyawaharawiccheda ka ring malama. Artinya, dengan berpedoman kepada isi kitab yang mulia Kutara Manawa dan lainnya, menurut teladan kebijaksanaan para pendeta dalam memutuskan pertikaian. Coba perhatikan istilah pandita di sini, dapat diartikan sebagai orang-orang yang jelas dekat dengan Tuhan secara harfiahnya.

Masalah kemudian muncul ketika dahulu saudara sebangsa kita yakni Aceh hendak berpolitik sesuai dengan aspirasi sebagian besar rakyatnya. Perang yang tidak perlu pun bergejolak, padahal pada intinya politik yang mereka lakukan hanya ingin kembali ke insting dasar seorang manusia Nusantara, menjadi Hamba Tuhan seutuhnya.

Begitulah manusia, setelah mengikuti jalan yang salah dan memperturutkan hawa nafsunya, justru politik yang dibangun dan dijalankan selama ini adalah politik yang jauh dari 'kebenaran' yang sesungguhnya. Manusia lalu mulai membuat aturan-aturan sendiri yang bertentangan dengan perintah Tuhan, bukankah itu sama saja dengan menyingkirkan Ketuhanan yang seharusnya menjadi dasar kehidupan utama berbangsa dan bernegara kita?

Ketika manusia sudah mulai membuat aturan-aturannya sendiri yang bertentangan dengan aturan Tuhan, maka sejak itulah kesewenang-wenangan terjadi. Penyelewengan dimana-mana, korupsi merajalela dan menjadi budaya di hampir seluruh lapisan masyarakat. Zina dan perlakuan sesuka hati terhadap yang lemah, termasuk tindak pelecehan terhadap wanita dan anak-anak yang semakin besar sudah menjadi berita yang tak asing lagi setiap tahunnya.

Sayangnya, di masa-masa para pembohong dan penipu acap kali berhasil memegang kuasa, rakyat juga lagi-lagi kembali salah memilih. Tahun-tahun yang dikenal dengan istilah Pemilu ini sangat krusial sebenarnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka-mereka yang terpillihlah yang nantinya dapat menentukan sistem macam apa yang akan digunakan untuk memerintah. Atau jika rakyat tidak berhati-hati, hukum-hukum dan peraturan macam mana lagi yang akan mereka gunakan untuk menindas nantinya.

Melihat dan menimbang, memilih dengan memperhatikan bibit, bebet, dan bobot tidak hanya berlaku ketika kita memilih calon istri atau suami. Demikian pula halnya dengan memilih seorang pemimpin. Track record-nya di segala bidang, kesetiaannya, siapa-siapa saja yang mengusungnya, hingga asosiasi dan hubungannya dengan para pengusaha hitam, pun halnya dengan mereka-mereka yang masih bisa digolongkan sebagai yang putih.

Terakhir, penulis ingin mengingatkan, memang istilah Kedaulatan ada di tangan rakyat tidaklah salah, namun itu hanya berlaku sesaat saja yakni di kala Pemilu. Setelahnya, kedaulatan ada di tangan mereka yang berkuasa. Tidak hanya itu pun demikian dengan kekuasaan dan pemerintahan, serta  hukum-hukum yang berlaku.

Hal paling ideal yang seharusnya terjadi adalah Kedaulatan itu ada di tangan Tuhan. Sehingga tak mengherankan jika kita memilih pemimpin-pemimpin yang gerak hidupnya dekat dengan Tuhan. Dalam hal ini tidak bisa kita melihat serampangan, tapi juga harus memperhatikan bagaimana keseharian calon pemimpin itu, serta sekali lagi bibit, bebet, dan bobotnya. Karena mereka yang akan membersamai jiwa-jiwa kita, bukan hanya raga saja. Oleh karena itu pemimpin juga mereka yang berbicara mengenai bagaimana mewujudkan keadilan dan menegakkan kebenaran, tidak melulu menyosor janji-janji palsu soal harga barang-barang murah, lahan pekerjaan, dan bantuan langsung tunai bagi yang tidak mampu.

Seperti yang tertulis di awal, sudah saatnya mengembalikan wujud sebenarnya dari politik itu sendiri, terkhusus bagi manusia-manusia Nusantara. Politik di Nusantara harusnya bisa bermetamorfosis menjadi kupu-kupu yang indah sempurna karena rakyatnya yang tak jauh dari Tuhan. Slogan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat sebenarnya saya nilai cukup egois, seolah-olah manusia itu bisa berdiri sendiri tanpa Sang Pencipta. Maka bisa kita tingkatkan menjadi dari Tuhan, untuk Manusia, oleh para Pemimpin yang Bijaksana.

Bekasi, 14 Januari 2024.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun