Manusia tak pernah bisa lepas dari apa yang dinamakan dengan Politik. Politik sudah menjadi bagian dari keberadaan manusia itu sendiri di muka bumi. Ketika Tuhan Pencipta langit dan bumi berkata hendak menciptakan sebuah makhluk bernama manusia yang akan menjadi duta Tuhan di muka bumi, sejak saat itu pula politik menjadi bagian dari diri seorang manusia ciptaan Tuhan, bahkan sebelum ia diciptakan.
Lalu apa yang dimaksud dengan politik? Politik berarti adalah memerintah, mengatur, pun mengontrol atau dan sangat berhubungan erat dengan satu kata, yakni memimpin atau menjadi pemimpin di muka bumi. Oleh karena itu seluruh kegiata politik selalu terhubung baik langsung maupun tidak langsung terhadap kekuasaan. Ketika malaikat pada akhirnya diperintahkan bersujud kepada manusia saat ia diamanahkan untuk menjadi 'Khalifah', itu berarti secara politik manusia menduduki tempat khusus yang diberikan Tuhan bagi mereka. Dalam istilah yang lebih baik, manusia saat itu mendapatkan amanah yang luar biasa besar dari Pencipta langit dan bumi untuk memerintah, mengatur, mengontrol, dan menjadi seorang pemimpin di muka bumi.
Ada makhluk yang enggan untuk bersujud kala itu, yang diabadikan di kitab suci sebagai Iblis, yang berasal dari golongan jin. Manusia lah yang akhirnya memegang amanah untuk memimpin dunia. Tapi ada pertanyaan penting yang diajukan oleh yang tak mau bersujud kala itu, "engapa Engkau hendak menjadikan di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?"
Pertanyaan yang sungguh sangat mengena. Manusia, sudahkah menunaikan amanah Tuhan di muka bumi ini atau justru malah berbuat kerusakan?
Politik baik di dunia secara umum dan di Indonesia secara khusus selalu diasosiasikan ke kelompok-kelompok yang berkaitan erat dengan kekuasaan. Bisa berupa partai-partai yang masuk ke dalam parlemen, organisasi-organisasi masyarakat yang ada di belakangnya, maupun mereka-mereka yang berkuasa di pemerintahan. Sayangnya, politik tidak terdefinisikan sesuai dengan apa yang seharusnya menjadi inti dari kegiatan politik itu sendiri. Apa itu? Hal tersebut dinamakan dengan 'kebenaran'. Itulah bagian sejati dan sesungguhnya dari politik, memerintah dan mengatur di atas dasar 'kebenaran'.
Lalu apa itu 'kebenaran'? Bila standarnya kemanusiaan, maka pendapat manusia yang satu dan yang lain tentu berbeda, tapi jika standarnya sudah baku, maka 'kebenaran' itu ada di dalam dada masig-masing dari kita, tersimpan di lubuk hati yang terdalam. 'Kebenaran itu berasal dari Tuhan yang menciptakan manusia.
Sebaliknya, politik saat ini selalu dinilai sebagai sesuatu yang kotor dan penuh dengan tipuan. Politik juga selalu diasosiasikan dengan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, penuh dengan intrik, retorika, dan selalu bergumul dengan kemunafikan manusia, korupsi, kolusi, nepotisme, yang ikut melibatkan tahta dan wanita di dalamnya. Hal yang ditanyakan saat penciptaan manusia itu sendiri, apakah akhirnya manusia itu menjalankan amanah atau justru merusak?
Politik biasanya juga mendapat kesan buruk yang membuat orang-orang yang hidup bersama dengan kebenaran menjauhinya. Orang-orang yang taat dengan agamanya, baik itu nasrani, Islam, Hindu, maupun Buddha cenderung untuk menjauhi politik karena prakteknya yang kotor dan dibumbui dengan berbagai pelanggaran terhadap aturan hidup yang diturunkan Tuhan.
Loh, bukankah inti dari politik itu sendiri adalah memerintah dan memimpin dengan kebenaran? Lalu mengapa orang-orang yang taat hidupnya bersama kebenaran itu sendiri menjauhinya? Hal itu utamanya terjadi setelah sekulerisme merajalela di muka bumi. Peradaban yang berasal dari barat tak hanya membawa teknologi yang mencengangkan namun juga racun yang bernama sekulerisme.
Manusia-manusia di Byzantium zaman dahulu menerapkan hukum Tuhan kepada rakyatnya, begitu pula Raja-raja di Nusantara kala Sriwijaya dan Majapahit berkuasa. Kitab Kutara Manawa adalah salah bukti bahwa nenek moyang kita dahulu patuh dan taat kepada aturan Tuhan.
Kitab Kutara Manawa diilhami oleh kitab hukum yang lebih tua yang digunakan pada masa Kerajaan Singosari, yaitu Kutarasastra dan Manawasastra. Kitab-kitab di masa Singosari itu pun adalah saduran dari hukum yang pernah diterapkan pada masa kerajaan sebelumnya, yaitu Kerajaan Medang atau Mataram Kuno dan Kalingga, dimana hukum tersebut dikenal dengan nama Dharmasastra.
Makatanggwan rasagama ri sang hyang Kutara Manawa adi, manganukara prawettyacara sang pandita wyawaharawiccheda ka ring malama. Artinya, dengan berpedoman kepada isi kitab yang mulia Kutara Manawa dan lainnya, menurut teladan kebijaksanaan para pendeta dalam memutuskan pertikaian. Coba perhatikan istilah pandita di sini, dapat diartikan sebagai orang-orang yang jelas dekat dengan Tuhan secara harfiahnya.
Masalah kemudian muncul ketika dahulu saudara sebangsa kita yakni Aceh hendak berpolitik sesuai dengan aspirasi sebagian besar rakyatnya. Perang yang tidak perlu pun bergejolak, padahal pada intinya politik yang mereka lakukan hanya ingin kembali ke insting dasar seorang manusia Nusantara, menjadi Hamba Tuhan seutuhnya.
Begitulah manusia, setelah mengikuti jalan yang salah dan memperturutkan hawa nafsunya, justru politik yang dibangun dan dijalankan selama ini adalah politik yang jauh dari 'kebenaran' yang sesungguhnya. Manusia lalu mulai membuat aturan-aturan sendiri yang bertentangan dengan perintah Tuhan, bukankah itu sama saja dengan menyingkirkan Ketuhanan yang seharusnya menjadi dasar kehidupan utama berbangsa dan bernegara kita?
Ketika manusia sudah mulai membuat aturan-aturannya sendiri yang bertentangan dengan aturan Tuhan, maka sejak itulah kesewenang-wenangan terjadi. Penyelewengan dimana-mana, korupsi merajalela dan menjadi budaya di hampir seluruh lapisan masyarakat. Zina dan perlakuan sesuka hati terhadap yang lemah, termasuk tindak pelecehan terhadap wanita dan anak-anak yang semakin besar sudah menjadi berita yang tak asing lagi setiap tahunnya.
Sayangnya, di masa-masa para pembohong dan penipu acap kali berhasil memegang kuasa, rakyat juga lagi-lagi kembali salah memilih. Tahun-tahun yang dikenal dengan istilah Pemilu ini sangat krusial sebenarnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka-mereka yang terpillihlah yang nantinya dapat menentukan sistem macam apa yang akan digunakan untuk memerintah. Atau jika rakyat tidak berhati-hati, hukum-hukum dan peraturan macam mana lagi yang akan mereka gunakan untuk menindas nantinya.
Melihat dan menimbang, memilih dengan memperhatikan bibit, bebet, dan bobot tidak hanya berlaku ketika kita memilih calon istri atau suami. Demikian pula halnya dengan memilih seorang pemimpin. Track record-nya di segala bidang, kesetiaannya, siapa-siapa saja yang mengusungnya, hingga asosiasi dan hubungannya dengan para pengusaha hitam, pun halnya dengan mereka-mereka yang masih bisa digolongkan sebagai yang putih.
Terakhir, penulis ingin mengingatkan, memang istilah Kedaulatan ada di tangan rakyat tidaklah salah, namun itu hanya berlaku sesaat saja yakni di kala Pemilu. Setelahnya, kedaulatan ada di tangan mereka yang berkuasa. Tidak hanya itu pun demikian dengan kekuasaan dan pemerintahan, serta  hukum-hukum yang berlaku.
Hal paling ideal yang seharusnya terjadi adalah Kedaulatan itu ada di tangan Tuhan. Sehingga tak mengherankan jika kita memilih pemimpin-pemimpin yang gerak hidupnya dekat dengan Tuhan. Dalam hal ini tidak bisa kita melihat serampangan, tapi juga harus memperhatikan bagaimana keseharian calon pemimpin itu, serta sekali lagi bibit, bebet, dan bobotnya. Karena mereka yang akan membersamai jiwa-jiwa kita, bukan hanya raga saja. Oleh karena itu pemimpin juga mereka yang berbicara mengenai bagaimana mewujudkan keadilan dan menegakkan kebenaran, tidak melulu menyosor janji-janji palsu soal harga barang-barang murah, lahan pekerjaan, dan bantuan langsung tunai bagi yang tidak mampu.
Seperti yang tertulis di awal, sudah saatnya mengembalikan wujud sebenarnya dari politik itu sendiri, terkhusus bagi manusia-manusia Nusantara. Politik di Nusantara harusnya bisa bermetamorfosis menjadi kupu-kupu yang indah sempurna karena rakyatnya yang tak jauh dari Tuhan. Slogan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat sebenarnya saya nilai cukup egois, seolah-olah manusia itu bisa berdiri sendiri tanpa Sang Pencipta. Maka bisa kita tingkatkan menjadi dari Tuhan, untuk Manusia, oleh para Pemimpin yang Bijaksana.
Bekasi, 14 Januari 2024.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H