Aku bertanya kepada rekan-rekanku saat mahasiswa dahulu, apa itu ideologi? Mereka bilang ya macam-macam, ada Pancasila, ada Komunisme, ada Demokrasi, ada Liberalisme, Monarkisme, ada Fasisme, dan banyak sekali macam-macam lainnya. Lalu kulanjutkan pertanyaanku, lalu apa ideologi kalian? Kali ini banyak yang memilih menjawab dengan aman. Kata mereka 'ya Pancasila lah, kan kita hidup di negara Indonesia'. Meskipun banyak juga yang menjawab 'bebas dong, kan kita santai bre, ga usah muluk-muluk, ideologi mah cuma bakal bikin pusing dan nyusahin hidup loe doang'. Dari kesemua jawaban itu ada jawaban terakhir yang disepakati, yakni 'yang penting hidup loe baik-baik aja, bahagia, toh rejeki gak akan ke mana juga kok, asal bisa makan sama tidur enak terus dapet duit banyak mah ideologi udah gak begitu penting lagi'.
      Saya hanya mengangguk-angguk saja mendengarnya, jawaban yang meluncur begitu saja dari para mahasiswa yang masih bebas untuk melakukan sesuatu, berbuat sekehendak hatinya, tanpa mempertimbangkan banyak hal. Meskipun di sisi yang lain mereka juga merupakan manusia yang kritis akan kehidupan berbangsa dan bernegara. Begitulah kebanyakan mahasiswa, di saat-saat yang genting dan sensitif baru bergerak maju ke depan, sedikit lebih cepat dibandingkan dengan masyarakat biasa.
      Berbeda halnya jika pertanyaan di atas saya tanyakan ke rekan-rekan kantor yang bekerja sebagai Abdi Negara. Rata-rata dari mereka pasti menjawab 'so pasti Pancasila bro, gak mungkin yang lain laa' atau 'NKRI harga mati' meskipun mereka juga tak benar-benar mengerti apa maksudnya. Tapi jawaban-jawaban itu adalah jawaban yang saya tanyakan kembali kepada mereka yang dahulu pernah menjadi mahasiswa. Kini, jawaban itu telah berubah, entah karena mereka ikut-ikutan tren, takut didengar pejabat dan penguasa, atau hanya sekedar mencari aman saja. Tak bisa dibantah memang jawaban-jawaban itu memang paling cocok pada situasi dimana mereka bekerja saat ini.
      Lalu pernahkah ada yang bertanya apa ideologi yang sedang kuikuti? Apakah aku hanya mengikuti orang-orang kebanyakan? Atau aku mengikuti sebuah konsep yang telah diajarkan sebelumnya lewat bangku sekolah, di rumah, atau di lingkungan tempat aku tinggal? Atau dari buku yang memberikanku pencerahan sehingga aku menjalani keseharianku seperti sekarang ini? Bangun pagi memikirkan tagihan, siang memikirkan penghematan, dan mau tidur pun tak bisa lupa akan hutang.
      Apakah yang kulakukan dalam keseharianku benar-benar berasal dari pikiran dan hatiku sendiri atau ia banyak dipengaruhi oleh keadaan di luar diriku? Yang akhirnya hanya akan memperbudakku, menjadikan aku tak lagi menjadi manusia merdeka. Selalu bergantung kepada hal-hal yang tak penting, pikiranku bahkan tak bisa bebas berkelana, memikirkan bagaimana aku seharusnya.
     Â
      Rata-rata dari manusia memang diperbudak oleh kebutuhannya sendiri, yang sayangnya sangat bergantung kepada gaya hidup. Gaya hidup di era modern ini terlalu banyak menuntut manusianya, jika, hanya jika pikiran dan hatinya terjebak di buruknya ilusi hidup di era modern. Alat komunikasi misalnya, menjadi sesuatu yang wajib, bahkan dengan merk tertentu yang harus menjadi miliknya. Beberapa yang menjadi korban bahkan menjual sesuatu yang berharga yang menjadi miliknya hanya demi 'gaya hidup' itu tadi. Bahkan yang terparah, manusia-manusia yang gagal berpikir itu menjual ginjalnya sendiri sehingga menyisakan hidupnya penuh penderitaan hanya demi memenuhi 'gaya hidup'. Nah, ideologi apa lalu yang dianutnya?
      Kebanyakan orang sebenarnya tak jauh berbeda kisahnya dengan mereka yang mengorbankan berbagai hal demi apa yang mereka inginkan dan harapkan. Namun yang perlu dicermati adalah berapa nilai yang akan mereka dapatkan dengan mengorbankan sesuatu yang sebenarnya tak ternilai harganya? Buat apa coba kalau harus cuci darah setiap hari hanya demi mendapatkan i-phone jenis terbaru? Mungkin mereka malah harus menjualnya demi membayar kebutuhan akan kesehatannya yang terus memburuk dari hari ke hari.
      Kedua, batasan sampai mana mereka akan berkorban juga akan berbeda-beda. Seseorang mungkin akan dengan cepat menjual organ tubuhnya sendiri, tapi di lain tempat ada pula yang tanpa ragu menumbalkan orang lain termasuk keluarganya sendiri. Rata-rata dari mereka melakukannya sekalgi lagi hanya demi 'gaya hidup' yang selalu menuntut tersedianya harta yang berlimpah. Boleh dibilang mereka belum selevel para elite pemerintah dunia, yang mengorbankan orang-orang tak bersalah untuk menguasai dunia.
      Ideologi apa kalau begitu yang dianut orang-orang itu? Yang bisa segera melihat dengan jelas tentu langsung menjawab Hawa Nafsu. Karena hawa nafsu menjadi yang paling mereka agung-agungkan sedangkan hawa nafsu tersebut keadaannya sedang tertipu. Tertipu oleh keadaan di sekitarnya, oleh uang mainan, oleh keindahan sementara, tertipu oleh 'gaya hidup' yang menjadi tren dan sesuatu yang wajar atau bahkan mungkin dinilai menurut pandangan sosial 'wah' jika dipenuhi.
      Hal di atas juga menunjukkan lemahnya ideologi yang mendasarkan kepada kebanyakan orang seperti demokrasi misalnya. Demokrasi pasti berjalan seiring dengan liberalisasi, sayangnya mekanisme filter di dalamnya tidak begitu tegas, apalagi jika demokrasi itu bukan berasal dari akar budaya sendiri tapi mengambil contoh dari luar. Hasilnya? Keterbukaan yang kebablasan, bahkan pakaian para perempuan pun turut dilucuti satu persatu. Tapi itu bukan sesuatu yang bisa dicegah ketika ideologi demokrasi menjadi jalan hidup, karena apa? Karena kebanyakan dari laki-laki yang menganutnya akan membiarkan saja hal itu terjadi, dan seperti ide dasarnya, suara yang banyak akan dapat mempengaruhi suatu hal. Begitulah, bahaya sekali jika sesuatu yang jahat sudah banyak jumlahnya, akan berpengaruh pada keberadaan atau manifestasi kejahatan itu sendiri yang menjadi legal karena mendapat dukungan besar. Suara-suara setan, ketika menjadi banyak di alam demokrasi, akan menjadi momok menakutkan yang bisa mempengaruhi kehidupan orang banyak lainnya. Â
      Ideologi itu berasal dari hati, apa-apa yang kita lakukan setiap hari dari hasil pemikiran kita sendiri. Tak peduli itu mencontoh atau memang hasil kebijaksanaan, yang jelas itu harus dari hati. Ketika kita mengikuti 'gaya hidup' yang berlebihan dan berkata bahwa ideologi yang kita anut adalah Agama yang kita anut tentu itu adalah sebuah kebohongan. Agama tidak pernah mengajarkan kepada manusia untuk terlalu mengikuti hawa nafsunya, semua harus didapatkan dengan cara yang baik dan benar serta tentunya tidak melampaui batas. Buat apa ada perintah untuk menyisihkan sebagian yang kita peroleh untuk mereka yang tidak mampu kalau begitu?
      Demokrasi sejatinya digunakan untuk menguasai. Pasca perang dunia, dunia terbagi menjadi dunia pertama yakni pemenang perang dunia yang mengusung ideologi ini. Lalu dunia kedua yang mengusung ideologi yang menjadi saingan yakni komunisme. Pertarungan kedua ideologi ini ditujukan untuk menguasai dunia ketiga, yakni negara-negara yang dijajah, yang netral, maupun yang non-blok, termasuk diantaranya adalah negeri Nusantara. Bahayanya, ideologi itu hanya diterapkan untuk menguasai dan mengatur masyarakat dan manusia-manusia biasa saja, tidak bagi para elit-elit yang berada di puncak pimpinan tertinggi pemerintah dunia.
      Para elite itu, yang berada di puncak kekuasaan dunia, sebagian besarnya memiliki ideologi satanisme. Mereka mengagungkan Iblis dan anak keturunannya, entah dengan nama apapun, Illuminati, Freemason, Skull & Bones, Zionisme atau yang lainnya. Demokrasi dan Komunisme hanyalah alat yang digunakan untuk menipu dan mengusai. Â
       Sekali lagi ideologi itu dari hati. Jadi kita bisa melihat dari kesehariannya. Tidak hanya di kata-kata, namun untuk apa sebagian besar waktunya? Bagaimana ia mendapatkan uang? Apa pekerjaannya? Siapa teman-temannya? Dan yang paling terpenting bagaimana ibadahnya? Para pejabat yang menjadi koruptor itu sebenarnya berbohong ketika menjawab ideologi mereka adalah Pancasila. Sama halnya dengan perampok yang brutal dan serakah, pembegal misalnya, para koruptor ini menempatkan hawa nafsunya akan harta dan kekayaan menjadi yang pertama. Ideologinya sama dengan kebanyakan orang di masa modern, yakni uang, ideologi sederhana yang menipu, karena pada dasarnya uang bisa dibuat dan dimanipulasi. Bahkan uang-uang tipuan sekarang lebih canggih lagi, tinggal mengetikkan angka di layar monitor maka uang-uang itu akan bisa membayar hal-hal nyata di kehidupan ini. Tidak adakah yang bertanya, uang apa yang kita gunakan semenjak dahulu kala, yang dijamin oleh Tuhan?
      Ideologi berasal dari hati. Lihatlah keseharianmu, dari mana uangmu kau peroleh, apa saja kegiatanmu sehari-hari? Siapa teman-temanmu? Lalu bagaimana ibadahmu? Hal-hal itulah yang menentukan gambarannya kemudian, yakni ideologi yang nampak dari dirimu. Tapi bisa jadi itu bukan dari keinginanmu sendiri, maka tanyakan pada dirimu sendiri, tanyakan pada pikiranmu, lalu tanyakan pada hatimu, apa yang kau mantapkan setelah kau berpikir. Itulah ideologi itu sesungguhnya, sesuatu yang menjadi penggerak dan pedoman, serta cita-cita hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H