Mohon tunggu...
Rendy Artha Luvian
Rendy Artha Luvian Mohon Tunggu... Penulis - Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Menulis adalah membangun Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Paradoks Nilai dalam Mengukur Kemiskinan di Tengah Rencana Reduksi Kemiskinan Ekstrem di Indonesia

20 November 2023   10:48 Diperbarui: 20 November 2023   17:23 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemiskinan ekstrem, sebuah realitas kelam yang telah melanda banyak negara, menjadi fokus utama dalam pembangunan berkelanjutan. Di tengah tantangan global, Indonesia tidak terlepas dari masalah ini. 

Namun, di balik bayang-bayang kemiskinan, ada sorotan optimis tentang pertumbuhan kelas menengah yang menggairahkan, seperti yang diungkapkan oleh Bank Dunia dalam laporannya yang berjudul "Aspiring Indonesia -- Expanding the Middle Class."

Landscape Kemiskinan Ekstrem di Indonesia

Sebelum membahas tentang kelas menengah yang tumbuh, penting untuk merinci kondisi kemiskinan ekstrem di Indonesia. Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan World Bank menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan ekstrem di Indonesia pada 2022 berada pada angka 2,04% versi BPS dan 1,5% versi World Bank. (Sumber)

Meskipun angka ini menunjukkan penurunan dari tahun sebelumnya, tantangan besar tetap hadir, terutama dengan target ambisius pemerintah untuk mendekati 0 persen kemiskinan ekstrem pada tahun 2024. 

Pertumbuhan Kelas Menengah: Angin Segar di Tengah Badai Kemiskinan

Sejalan dengan upaya mengatasi kemiskinan ekstrem, Bank Dunia memberikan gambaran yang optimis tentang pertumbuhan kelas menengah di Indonesia. 

Menurut laporan tersebut, hampir separuh penduduk Indonesia, atau sekitar 114,7 juta orang, telah melangkah menuju kelas menengah pada tahun yang sama. Angka ini, yang mencapai 44% dari total populasi Indonesia pada 2016, menjadi yang terbesar dibandingkan dengan kelompok lain.

Pentingnya kelompok ini tidak hanya terletak pada dimensi ekonomi, tetapi juga dalam konteks pembangunan nasional. Bank Dunia menyatakan bahwa "kelompok masyarakat menuju kelas menengah sangat penting untuk membuka potensi pembangunan Indonesia dan mendorong Indonesia ke status negara berpenghasilan tinggi." 

Dengan demikian, pertumbuhan kelas menengah tidak hanya menjadi cerminan kemajuan ekonomi, tetapi juga merupakan pijakan untuk eksplorasi potensi pembangunan yang lebih luas. 

Dinamika Pengelompokan Masyarakat Menurut Pengeluaran

Bank Dunia memberikan pemahaman yang mendalam mengenai pengelompokan masyarakat menurut pengeluaran mereka. Dengan parameter yang jelas, kelompok-kelompok ini mencakup kelas atas, kelas menengah, menuju kelas menengah, rentan, dan miskin. 

Pengelompokan ini memberikan gambaran yang nyata tentang kompleksitas sosio-ekonomi masyarakat Indonesia. Namun demikian, pengelompokan yang dilakukan oleh Bank Dunia ini masih harus dipertanyakan keabsahannya jika dibandingkan dengan realita sesungguhnya hidup di Indonesia, yang masih dibagi lagi di berbagai provinsi, yang ada di kota maupun di desa, yang tentu memiliki perbedaan.

1. Kelas Atas

Kelas atas, yang ditandai dengan pengeluaran lebih dari Rp 6.000.000 per orang sebulan, dihuni oleh 3,1 juta orang (1,2%). Meskipun angka ini relatif kecil, kontribusi mereka dalam perekonomian dan potensi investasi mereka dapat memainkan peran kunci dalam pertumbuhan berkelanjutan.

2. Kelas Menengah

Merupakan tulang punggung utama dari pertumbuhan ini, kelas menengah, dengan pengeluaran Rp1.200.000 - Rp6.000.000 per orang sebulan, mencakup 53,6 juta orang (20,5%). Kelas menengah tidak hanya menjadi penggerak ekonomi, tetapi juga menjadi kekuatan sosial yang dapat membentuk arah pembangunan.

3. Menuju Kelas Menengah

Sebanyak 53,6 juta orang (20,5%) berada dalam kelompok menuju kelas menengah, dengan pengeluaran Rp532.000 - Rp1.200.000 per orang sebulan. Mereka merupakan kelompok yang mungkin berada di ambang perubahan signifikan menuju kelas menengah.

4. Rentan

Jumlah masyarakat rentan mencapai 61,6 juta orang (23,6%), dengan pengeluaran Rp354.000 - Rp532.000 per orang sebulan. Mereka memerlukan perlindungan dan dukungan yang lebih besar untuk dapat meraih potensinya.

5. Miskin

Meskipun terjadi penurunan, 28 juta orang (10,7%) masih terjebak dalam kemiskinan. Mereka memerlukan pendekatan holistik yang mencakup kebijakan dan program pemberdayaan yang berkelanjutan. 

Pertautan dengan Penurunan Kemiskinan Ekstrem

Melihat data dan dinamika tersebut, terdapat pertautan yang kuat antara pertumbuhan kelas menengah dan penurunan tingkat kemiskinan ekstrem. 

Dalam dua dekade terakhir hingga 2014, sebanyak 115 juta orang yang sebelumnya miskin atau rentan miskin berhasil melangkah keluar dari jurang kemiskinan dan menuju kelas menengah. Berikut adalah beberapa strategi untuk menurunkan kemiskinan ekstrem di Indonesia:

  • Meningkatkan Kualitas Pendidikan

Pendidikan adalah kunci untuk membuka pintu menuju kelas menengah dan mengurangi kemiskinan ekstrem. Program pendidikan yang berkualitas dan inklusif perlu diimplementasikan untuk memastikan bahwa setiap individu memiliki akses yang setara dan berkualitas ke pendidikan.

  • Layanan Kesehatan Universal

Memberikan layanan kesehatan yang universal dan terjangkau adalah langkah krusial. Ini tidak hanya akan melindungi warga dari guncangan kesehatan yang mungkin, tetapi juga memastikan bahwa akses ke layanan kesehatan tidak menjadi beban ekonomi.

  • Reformasi Kebijakan Pajak

Kebijakan dan administrasi pajak yang adil dan inklusif dapat meningkatkan pengumpulan pendapatan dari kelas menengah. Reformasi pajak yang mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif perlu menjadi agenda utama.

  • Pemberdayaan Layanan Lokal

Penguatan layanan lokal, termasuk pendidikan, kesehatan, air, dan sanitasi, adalah langkah strategis. Ini akan memberikan dampak positif terhadap kualitas hidup masyarakat di tingkat lokal.

Dalam perjalanan mencapai target mendekati 0 persen kemiskinan ekstrem pada tahun 2024, pertumbuhan kelas menengah di Indonesia menjadi elemen kritis. Dengan memberdayakan masyarakat melalui pendidikan berkualitas, layanan kesehatan universal, reformasi kebijakan pajak, dan pemberdayaan layanan lokal, Indonesia dapat menciptakan momentum positif menuju penurunan kemiskinan ekstrem.

Pentingnya memahami dinamika masyarakat dalam segala lapisannya, dari kelas atas hingga miskin, menjadi kunci untuk merancang kebijakan yang holistik dan inklusif. Hanya dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat, pemerintah dapat merangkul potensi penuh Indonesia dan membangun masa depan yang cerah dan berkeadilan.

Pengeluaran, Harga Hidup, dan Inflasi: Ketidakpastian dalam Menilai Kemiskinan

Dalam mengukur kemiskinan, sering kali kita terjebak dalam paradoks nilai. Sementara pemerintah dan lembaga internasional mungkin merayakan penurunan tingkat kemiskinan berdasarkan mata uang kertas, pandangan lain muncul ketika kita mengukurnya dengan standar nilai emas. 

Pada pandangan ini, paradoks terungkap: seiring naiknya harga emas, tingkat kemiskinan seolah bertambah.

Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan tren kenaikan harga emas secara signifikan. Bagi sebagian orang, ini mungkin dilihat sebagai indikator kesehatan ekonomi, pertanda stabilitas pasar keuangan global. 

Namun, bagi sebagian lain, khususnya mereka yang berada di lapisan masyarakat dengan penghasilan terbatas, kenaikan harga emas bisa dianggap sebagai ancaman tersembunyi.

Mata uang kertas, meskipun sering dianggap sebagai penanda nilai ekonomi suatu negara, ternyata tidak selalu memberikan gambaran yang akurat. Standar emas, yang melibatkan nilai emas sebagai dasar nilai uang, menciptakan perspektif berbeda. 

Dengan nilai emas yang terus meningkat, bahkan pertumbuhan ekonomi yang positif dalam mata uang kertas bisa tampak kurang memberikan keuntungan riil bagi mereka yang bergantung pada nilai emas.

Kenaikan harga emas bisa menjadi tantangan ekstra bagi tingkat kemiskinan, terutama di negara-negara di mana emas memiliki peran kultural dan ekonomi yang besar. 

Masyarakat yang mengandalkan emas sebagai cadangan nilai atau sebagai bentuk investasi merasakan dampak langsung dari kenaikan harga emas. Sebaliknya, penghasilan mereka dalam mata uang kertas cenderung tidak berkembang seiring dengan kenaikan harga emas.

Satu pertanyaan kritis lagi adalah sejauh mana variabilitas dalam pengeluaran mencerminkan kesejahteraan sebenarnya masyarakat. Apakah pengeluaran harian atau bulanan secara akurat mencerminkan akses mereka terhadap pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum lainnya? Pertanyaan ini membuka diskusi tentang relevansi pengeluaran sebagai indikator tunggal untuk menilai kesejahteraan masyarakat.

Terlebih lagi, kenaikan harga hidup dan inflasi dapat memengaruhi nilai pengeluaran secara signifikan. Oleh karena itu pengeluaran tidak mungkin tetap konstan, memberikan gambaran yang kurang akurat tentang perubahan kesejahteraan masyarakat. 

Pertanyaan muncul tentang seberapa sering standar ini harus disesuaikan untuk mempertahankan ketepatan dan keakuratan. Apalagi semakin luasnya cakupan dinamika sosial seseorang akan mempengaruhi perubahan gaya hidup yang juga akan ikut menentukan kebutuhan dasarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun