Kelangkaan Air Bersih Meluas
Air adalah sumber kehidupan, namun saat ini kita berhadapan dengan krisis air yang semakin mengkhawatirkan. Data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat bahwa sekitar 2,2 miliar orang di dunia masih kekurangan air minum yang aman. Sementara itu, 4,2 miliar orang tidak memiliki akses ke fasilitas sanitasi yang aman, dan 3 miliar lainnya tidak memiliki fasilitas cuci tangan dasar.Â
Di Indonesia, laporan Bappenas menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah di Pulau Jawa dan Bali menghadapi kelangkaan air yang kritis. Proyeksi untuk tahun 2045 juga tidak menjanjikan, dengan Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan diperkirakan akan mengalami kelangkaan air.
Saat kita membahas krisis air ini, kita juga harus mempertimbangkan dampaknya pada wilayah perkotaan di masa depan. Kota-kota adalah pusat pertumbuhan penduduk, aktivitas industri, dan kegiatan ekonomi. Namun, dengan populasi yang terus bertambah, kebutuhan akan air bersih di perkotaan pun semakin meningkat.Â
Kelangkaan air di masa depan dapat mengancam ketersediaan air minum yang aman bagi penduduk perkotaan. Ini dapat mengakibatkan peningkatan harga air, membatasi akses masyarakat kota terhadap sumber air yang layak, dan berpotensi menciptakan konflik atas sumber daya air yang semakin berkurang.
Penyebab krisis air mencakup kerusakan hutan, pengambilan air tanah yang berlebihan, pencemaran sumber air, dan perubahan iklim. Semua faktor ini memberikan tekanan ekstra pada ketersediaan air di perkotaan.
Terdapat keterkaitan yang kuat antara peningkatan suhu yang memanas, krisis air, dan polusi udara yang semakin buruk. Ketika suhu global terus meningkat akibat perubahan iklim, hal ini berdampak pada berbagai aspek lingkungan dan kualitas hidup manusia.
Pertama, suhu yang semakin tinggi berkontribusi pada peningkatan kekeringan. Ini terjadi karena suhu yang tinggi meningkatkan penguapan air dari permukaan tanah dan sumber air, mengurangi ketersediaan air tanah. Akibatnya, sumber air seperti sungai dan danau dapat mengalami penurunan debit air, yang pada gilirannya mengarah pada kelangkaan air bersih.
Kedua, suhu yang tinggi juga memperparah polusi udara, karena udara akan semakin kering. Kelembaban udara yang tinggi, meskipun terdengar paradoks, sebenarnya memperparah kondisi.Â
Pada musim kemarau yang lembab, polutan sulit untuk berpindah secara vertikal ke atas. Sebagai akibatnya, polutan terjebak di lapisan udara yang lebih rendah, mendekati permukaan bumi. Ini menjadikan konsentrasi polutan semakin tinggi dan menyebabkan kualitas udara semakin memburuk. Apalagi tidak adanya hujan yang turun untuk membasuh bumi akan semakin menambah runyam.
Terakhir, peningkatan suhu yang memanas juga dapat mengurangi kualitas air bersih. Suhu yang lebih tinggi dapat memicu perubahan dalam ekosistem air, seperti meningkatnya suhu permukaan laut, yang berdampak pada kehidupan laut dan kualitas air laut. Hal ini juga dapat menyebabkan gangguan pada siklus air, yang pada akhirnya mengurangi ketersediaan air bersih untuk konsumsi manusia dan pertanian.