Mohon tunggu...
Rendy Artha Luvian
Rendy Artha Luvian Mohon Tunggu... Penulis - Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Menulis adalah membangun Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Yang Muda yang Jadi Ca(wa)pres, Simbol Keinginan Rakyat untuk Perubahan

25 Oktober 2023   07:34 Diperbarui: 25 Oktober 2023   10:56 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pemimpin muda | Ilustrasi: freepik.com

Bung Karno pada suatu waktu pernah berkata "Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia". 

Saat Bung Karno mengatakan hal tersebut, tentu langsung terngiang di benak kita akan kekuatan dan potensi para pemuda. Para pemuda selalu berada di balik perubahan-perubahan besar di dunia, terutama di waktu-waktu revolusi harus bergerak maju merubah sistem dan tatanan lama yang salah namun tetap betah berkuasa serta enggan untuk digoyang dan digantikan.

Rakyat Indonesia sendiri sudah lama merindukan perubahan. Dalam catatan sejarah pun para mahasiswa berperan vital pada pergantian kekuasaan di masa peralihan orde lama ke orde baru dan awal era reformasi yang telah lalu. Reformasi, yang kini membawa banyak perubahan bagi kehidupan bangsa dan negara. 

Tak hanya dari sisi ekonomi yang berubah, tapi juga politik dan bahkan cara kita beragama yang lebih bebas meski sempat tergerus isu terorisme. 

Namun, kini genderang perubahan itu terasa kembali harus ditabuh. Naiknya jumlah kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme selama 10 tahun belakangan diiringi dengan semakin melemahnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sangat mendukung kondisi ini yang diperparah dengan catatan merah Kepolisian Republik Indonesia (POLRI).

Kasus polisi tembak polisi dan berbagai kasus lainnya yang melibatkan oknum-oknum di dalam tubuh organisasi pengaman utama masyarakat ini turut andil menurunkan rasa percaya rakyat kepada para pemangku kepentingan. 

Belum lagi berbagai kasus yang menjerat mereka-mereka yang berada di tataran eksekutif, yudikatif dan legislatif beserta keluarganya yang juga kadang berulah. 

Kecurigaan dan ketidakpuasan masyarakat akan semakin menambah lantang suara dentuman gendang perubahan yang harus segera dilakukan. 

Oleh karena itu event Pemilu 2024 mendatang secara tidak disadari memberikan harapan bagi rakyat Indonesia untuk mendapatkan perubahan yang mereka inginkan.  

Secara hitung-hitungan politik, alasan Prabowo mengusung Gibran sebagai cawapresnya tentu untuk alasan suara. Usia yang tak muda lagi bila dibandingkan capres yang lainnya bisa juga menjadi alasan lain mengapa Prabowo memilih putra sulung Presiden petahana saat ini untuk menjadi pasangannya pada pemilu 2024 mendatang. Pertanyaannya, apakah Prabowo benar-benar melihat Gibran sebagai simbol dari harapan rakyat akan perubahan?

Contoh paling nyata adalah Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia, Nadiem Makarim yang secara cepat, hanya dalam jangka waktu kurang lebih setahun setelah pelantikannya mengganti seluruh kurikulum pembelajaran menjadi Kurikulum Merdeka yang semula mengacu kepada kurikulum 2013. 

Meskipun menimbulkan pro dan kontra pada masa-masa awal saat kurikulum ini berlaku, percepatan perubahan itu tidak bisa dibantah. Mereka-mereka yang berusia muda yang biasanya sanggup memikul beban revolusi, yang menuntut percepatan dalam perubahan, ketika genderang itu berbunyi.

Namun, apakah prestasi Gibran selama menjabat sebagai Walikota Solo layak untuk menjadikannya sebagai Calon Wakil Presiden? 

Tentu pembaca sekalian yang berhak memutuskan dengan melihat rekam jejaknya selama menjabat di Solo. Hal yang perlu juga untuk dicermati adalah alasan Prabowo memilih Gibran, apakah karena faktor Jokowi atau faktor lain yang memang menjadi bahan pertimbangan utama. Dalam dunia politik, bahasanya sendiri yang indah di depan kadang menipu, meski tak jarang juga terbukti dengan aksi nyata.  

Lalu apa yang diharapkan masyarakat?

Sudah jelas, yang pertama tentu adalah ekonomi. Naiknya harga-harga barang sudah bisa dirasakan dari tahun ke tahun semakin mencekik. Mereka yang rajin menabung dari dulu tentu bisa merasakannya. 

Dahulu mungkin uang dua ratus ribu bisa untuk belanja seminggu, namun lama kelamaan jumlahnya terus bertambah hingga tiga kali lipat lebih banyak untuk jumlah hari dan orang yang sama. Ketergantungan akan minyak yang menjadi backingan utama mata uang Dollar memperparah hal ini, apalagi Indonesia masih mengesampingkan emas sebagai salah satu cadangan devisa utama. 

Belum lagi banyaknya dana yang digelontorkan demi proyek-proyek unicorn yang tentu lebih besar dan sayangnya diperlakukan lebih manis ketimbang yang bergerak di tatanan ekonomi kerakyatan. Beredarnya uang-uang digital yang lebih rapuh tentu akan menambah potensi inflasi di masa yang akan datang.

Namun demikian, pada kenyataannya perubahan itu harus menyeluruh untuk mengubah keadaan Bangsa dan Negara, termasuk di dalamnya adalah budaya dan pemikiran. 

Bahkan penulis beranggapan bahwa cara kita berbicara sehari-hari pun perlu diubah karena berkaitan erat dengan perilaku manusia itu sendiri seutuhnya. \\

Kata-kata cacian dan makian yang sudah dianggap wajar di kehidupan keseharian masyarakat kita pun sebenarnya mencerminkan bahwa apa yang keluar dari mulut kita adalah diri kita apa adanya. Wajar bila bangsa ini selalu dipandang sebelah mata oleh orang-orang di luar sana.

Nah, tidak aneh kan kalau kita ingin memberantas yang namanya KKN sampai ke akar-akarnya maka yang dibahas adalah perbaikan moral bangsa? Pemikiran yang salah akan menghasilkan perilaku yang salah yang pada akhirnya membentuk budaya yang salah pula. 

Di dunia politik sudah biasa untuk selalu berkata manis di depan, bahkan kita semua sudah hampir hafal hal-hal apa saja yang akan dikatakan para juru kampanye pada masa Pemilu mendatang. Jurus-jurus memeratakan dan menaikkan kesejahteraan rakyat diiringi dengan janji-janji manis harga sembako yang murah serta bahan bakar minyak (BBM) yang akan selalu stabil masih ampuh memperdaya akal pikiran rakyat.

Justru yang jarang didengar itu adalah bagaimana perbaikan moral dan etika berkehidupan berbangsa dan bernegara. Bagaimana pula membenahi sistem yang sudah ada, atau mengembalikan sesuatu yang sebenarnya sudah tepat namun dirusak oleh oknum-oknum yang pasti tak akan bertanggung jawab. Hal-hal semacam ini merupakan hal yang sangat penting, memberikan gambaran betapa dalamnya pemikiran calon pemimpin bangsa di masa yang akan datang, tidak hanya melulu mengincar segala hal yang bersifat politik praktis demi suara yang akan mengantarkannya menjadi penguasa.

Apalagi hidup di era gobalisasi seperti sekarang ini, teknologi yang masuk sejak dahulu sebenarnya jika diperhatikan dengan seksama tak hanya membawa kemudahan tetapi juga perangkap. Perangkap yang diarahkan kepada cara hidup tempat teknologi itu berasal, yang sebagian besarnya membawa nilai moral yang buruk. Akses kepada pornografi, kebebasan tanpa kendali, hingga berlaku seenaknya sendiri. 

Awalnya hanya terjadi di dunia maya, namun lama kelamaan hal tersebut akan terwujud ke dunia nyata kita sehari-hari. Nah, masalah sepele semacam ini saja tidak diperhatikan, bagaimana mau memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya? Paling hanya mentok di janji kampanye dan berakhir dengan sejumlah kadernya yang berada di balik jeruji besi.

Menaikkan standar moral kembali menjadi bangsa yang memilki etika, kuat, tangguh, dan berwibawa seharusnya menjadi hal utama yang diperbincangkan di tataran para calon Raja Nusantara. Bukankah hal-hal tersebut yang pasti akan menjadikan sebuah Bangsa meraih kejayaan di masa depan? Mari renungkan baik-baik bersama-sama, seorang pemimpin yang paling baik seharusnya memilih banyak berbicara mengenai kestabilan harga barang atau sedikit mengenai itu dan banyak menyinggung moral dan perilaku bangsanya?   

Pada dasarnya semua mengharapkan perubahan, bahkan koalisi yang paling awal mendeklarasikan diri pun mengusung tema perubahan untuk persatuan. Meskipun, sekali lagi, kita harus jeli menilai apakah itu hanya slogan dan bahasa-bahasa politik praktis atau memang berasal dari hati nurani dan cita-cita terdalam para calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan memimpin bangsa ini lima tahun ke depan.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun