Sejarah Hari Korban Penghilangan Paksa Internasional
Dalam setiap lembaran kalender, terdapat tanggal yang membawa ingatan kolektif akan peristiwa penting dalam sejarah dunia. Hari ini, tanggal 30 Agustus, tidak hanya sekadar tanggal dalam kalender. Ia merupakan suara yang berbicara bagi ribuan suara yang telah dicabut dan meronta dalam gelapnya penghilangan paksa. Hari ini, kita merenungkan Hari Korban Penghilangan Paksa Internasional, suatu pengingat keras akan ketidakadilan yang terjadi di berbagai belahan dunia.
Kita harus bersyukur atas keberadaan organisasi non-pemerintah yang dengan tegas berdiri melawan ketidakadilan ini. Pada tahun 1981, sebuah cahaya harapan berawal dari Kosta Rika dengan lahirnya Latin American Federation of Associations for Relatives of Detained-Disappeared (F.E.D.E.F.A.M.). Organisasi ini bukan sekadar simbol perlawanan terhadap pemenjaraan rahasia, penghilangan paksa, dan penculikan di Amerika Latin; ia adalah pencerah yang menerangi kegelapan di mana suara-suara yang hilang berusaha menggema.
Pentingnya Hari Korban Penghilangan Paksa Internasional tidak dapat diabaikan. Peristiwa penghilangan paksa, sebuah tindakan yang merenggut hak asasi manusia paling mendasar, masih berlangsung di berbagai penjuru dunia. F.E.D.E.F.A.M. dengan tekun berjuang untuk menghentikan malapetaka ini, mengingatkan kita bahwa di balik setiap statistik terdapat nyawa yang tercabut. Mereka mengharapkan bahwa mata semua orang akan terbuka, menyadari bahwa ribuan korban hilang tenggelam dalam kelamnya ketidakpastian.
Namun, kenyataannya lebih menghantarkan kita pada keprihatinan. Baru pada tahun 2010, Perserikatan Bangsa-Bangsa mulai secara serius mengangkat isu ini ke permukaan. Ribuan nyawa yang hilang, dipermainkan oleh konflik bersenjata dan rezim tirani di lebih dari 85 negara, mendapatkan sorotan yang pantas. Pada tahun 2011, langkah yang lebih konkret diambil dengan mengakui tanggal 30 Agustus sebagai Hari Internasional Korban Penghilangan Paksa. Langkah ini tidak sekadar mengenang, tetapi juga mengingatkan kita tentang Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa.
Dalam dunia yang semakin terkoneksi, di mana informasi dapat menyebar begitu cepatnya, kita memiliki tanggung jawab kolektif untuk menghentikan ketidakadilan ini. Tindakan penghilangan paksa bukanlah sekadar tindakan kekerasan terhadap individu, tetapi juga serangan terhadap kemanusiaan dan martabat. Setiap upaya yang dilakukan untuk menghentikan perbuatan ini, baik dari pemerintah, organisasi non-pemerintah, atau individu, adalah langkah ke arah perdamaian dan keadilan.
Kisah-Kisah yang Tak Boleh Dilupakan
Dunia ini penuh dengan kisah-kisah yang tak jarang membuat bulu kuduk merinding. Bukan cerita fiksi yang datang dari lembaran novel atau layar kaca, tetapi kisah nyata yang menyoroti kelamnya penghilangan paksa. Hari ini, kita akan menyusuri lorong-lorong suram di beberapa wilayah dunia yang telah menjadi saksi bisu peristiwa mengerikan ini.
Suriah, nama negara yang tak bisa disebut tanpa mendengar gemuruh konflik dan penderitaan. Lebih dari 82.000 nyawa telah menjadi taruhan dalam permainan penghilangan paksa sejak 2011. Angka ini, yang lebih besar dari kapasitas stadion penuh, seolah tak memberikan efek apa pun pada kenyataan di lapangan. Bukan hanya pemerintah yang menjadi aktor di balik layar gelap ini, tetapi kelompok oposisi bersenjata juga tak luput dari tuduhan serupa.
Meski jutaan mata terpaku pada panggung konflik Suriah, ribuan nyawa yang hilang terasa seakan tenggelam dalam hiruk-pikuk berita. Dalam kepungan keraguan, keluarga-keluarga yang ditinggalkan berusaha merobek tirai kelam untuk menemukan jejak orang-orang tercinta. Satu-satunya konfirmasi datang dari pemerintah Suriah, yang menyatakan bahwa setidaknya 161 nyawa telah padam secara tragis sejak awal baku tembak.