Ia senang sekali bisa melihatku, dulu sewaktu aku harus pindah di usia lima belas karena bekerja, kami terpencar-pencar. Tak satu pun dari kami memiliki telepon genggam sehingga komunikasi harus terputus selama hampir lima tahun lamanya.Â
Kami pun mengobrol hingga sore tadi, bercerita tentang kehidupan masing-masing selepas dari pondok yatim piatu. Aku bekerja harian di bengkel lalu pindah ke pabrik, atasan merekomendasikanku karena kerjaku yang giat dan bagus, begitu katanya.Â
Temanku pun mulai bercerita tentang kepergian satu per satu semua yang tinggal bersama kami dahulu. Beberapa juga karena harus bekerja di tempat yang jauh sepertiku, beberapa yang lain memutuskan untuk memulai usaha sendiri dengan dukungan modal dari donator, ada juga yang dilamar, sisanya bekerja serabutan. Untunglah pikirkku, tak ada yang harus tersia-siakan, mengais mencari makan di jalanan.
Kini kutatap rumah itu, jendelanya ada yang sudah tak bisa ditutup rapat lagi, di sana biasanya kami dahulu melompat keluar masuk rumah jika 'Ummi' sedang menutup pintu karena marah atau melarang kami keluar rumah.
Warna dindingnya berubah menjadi agak kecokelatan, padahal dulu sudah sering dibersihkan dan dicat berulang kali karena kami suka mencorat-coretnya dengan tinta.
Atap di atas kamar mandiri bocor sehingga air bisa masuk ketika hujan datang. Bak mandinya kadang digunakan sebagai 'kolam renang mini'. Untuk alasan itulah aku dulu suka mengajukan diri untuk menguras bak mandi sehingga bisa 'nyemplung' ke dalam bak.
Kain dan plastik penutup lantainya banyak yang bolong, tempat kami makan, minum, dan tidur bersama ketika waktunya ranjang-ranjang tempat berbagi tidur dicuci.
Rasa sedih pun muncul ketika memikirkannya. Dari situ kubulatkan tekadku untuk membayar dan memberi balasan terbaik. Inilah saatnya bagiku untuk berterima kasih atas segala yang telah kudapatkan di rumah itu.
Di rumah itulah aku belajar segala hal, di rumah itulah aku bertemu kawan-kawan yang kuanggap saudara sendiri, menjalani hari-hari dengan tegar dan penuh arti, kadang terasa susah kala harus berbagi lauk pauk dengan yang lain, tapi kami senasib sepenanggungan, pun ketika kegembiraan datang, tak lupa untuk berbagi satu sama lain.
Di rumah itulah aku tertawa dan menangis, belajar menjadi dewasa dan mandiri, lebih cepat dari lainnya, yang masih bisa hidup manja dengan ayah dan ibu. Tak pernah ada kata menyerah, yang diajarkan 'Ummi' hanya bangkit dan mandiri, pelajaran hidup yang tertanam kuat dan membentuk kepribadian kami ketika dewasa.
Orang-orang di luar sana mungkin memandang sebelah mata rumah di depan itu, hanya sebongkah tempat menyedihkan penuh rasa iba bagi mereka yang tak bisa hidup dengan kedua orangtuanya.Â