Sudah menjadi tradisi saat kita berbuka puasa ditandai dengan suara adzan magrib begitu pula waktu akhir sahur yang juga ditandai dengan adzan subuh. Namun benarkah demikian adanya yang tertulis di Al-Quran dan yang tercatat di Hadis. Mari kita lakukan kajian singkat terhadap hal ini.
“…𝐦𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐦𝐢𝐧𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐡𝐢𝐧𝐠𝐠𝐚 𝐭𝐞𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐛𝐚𝐠𝐢𝐦𝐮 𝐛𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠 𝐩𝐮𝐭𝐢𝐡 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐛𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠 𝐡𝐢𝐭𝐚𝐦, 𝐲𝐚𝐢𝐭𝐮 𝐟𝐚𝐣𝐚𝐫. 𝐊𝐞𝐦𝐮𝐝𝐢𝐚𝐧 𝐬𝐞𝐦𝐩𝐮𝐫𝐧𝐚𝐤𝐚𝐧𝐥𝐚𝐡 𝐩𝐮𝐚𝐬𝐚 𝐢𝐭𝐮 𝐬𝐚𝐦𝐩𝐚𝐢 (𝐝𝐚𝐭𝐚𝐧𝐠) 𝐦𝐚𝐥𝐚𝐦…” (𝐐𝐒: 𝐀𝐥 𝐁𝐚𝐪𝐚𝐫𝐚𝐡 𝟏𝟖𝟕).
Dari ayat di atas dapat kita ambil dua hal, pertama yakni waktu sahur adalah hingga fajar kedua. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan Ibnu Huzaimah, Rasulullah mengatakan bahwa fajar itu ada dua: pertama, fajar yang diperbolehkan makan dan tidak diperbolehkan salat (subuh); kedua, fajar yang dilarang makan (saat puasa) dan diperbolehkan salat.
Hadis lain yang diriwayatkan Hakim dan al-Baihaqi melengkapi hadis di atas yang menyebut bahwa Rasulullah membagi fajar ke dalam dua bentuk, yaitu: fajar yang keberadaannya seperti ekor serigala merupakan waktu diperbolehkannya makan dan tidak boleh salat (subuh), dan fajar yang datang menyebar di ufuk yang keberadaannya diperbolehkan salat tapi tidak boleh makan.
Menurut Sriyatin dari Muhammadiyah, secara umum fajar dibagi menjadi dua yakni fajar kazib dan fajar sadik. Fajar kazib jika dapat dilihat tampak menjulur ke atas seperti ekor srigala, yang arahnya sesuai dengan arah ekliptika dari arah timur ke barat, yang bentuknya vertikal atau atas bawah. Jika fajar kazib bentuknya vertikal, maka fajar sadik bentuknya horizontal. Semakin matahari mendekati ufuk, semakin terang fajar sadik. Jadi dalam ilmu astronomi batasan fajar sadik yang digunakan adalah jarak matahari di bawah ufuk.
Inilah maksud dari “terang bagimu benang putih (khait al-abyad) dari benang hitam (khait al-aswad)”, yaitu peralihan dari gelap malam (hitam) menunju munculnya cahaya (putih). Jadi fajar sadik itu cahaya fajar yang melintang di sepanjang ufuk sebelah timur sebagai pertanda akhir malam atau menjelang matahari terbit.
Secara tegas Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan, “Makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan. Beliau tidaklah mengumandangkan adzan hingga terbit fajar (shubuh).” (HR. Bukhari no. 1919 dan Muslim no. 1092).
Kemudian apa lanjutan ayatnya? “Sempurnakanlah puasa itu sampai datang malam…”. Apakah adzan magrib berarti sebuah pertanda kalau malam sudah tiba?
“Jika malam menjelang di sini dan siang pergi di sini, dan matahari terbenam, maka orang yang berpuasa hendaknya berbuka.” (HR. Bukhari, no. 1954, Muslim, 1100).
Dari hadits di atas sudah jelas bahwa waktu berbuka adalah terbenamnya matahari dan bergantinya waktu menjadi malam. Hal yang terjadi biasanya setelah adzan magrib, bukan tepat saat magrib tiba.
“Waktu sholat maghrib adalah selama belum hilang sinar merah ketika matahari tenggelam” (HR. Muslim No. 612).
Nah, berarti seharusnya kita menunggu sebentar hingga malam tiba kan? Karena berbeda antara waktu magrib dan waktu malam tiba. Jika kita perhatikan baik-baik waktu malam tiba beberapa lama setelah waktu magrib datang. Paling tidak saat dimana sinar matahari sebagian besar sudah hilang dan langit terlihat gelap.
Namun demikian bagaimana dengan waktu berpuasa di negeri-negeri yang mataharinya tak pernah tenggelam? Atau waktu malam yang singkat? Jika demikian maka ada kekhususan dalam hal ini yang telah dibahas oleh para ulama menyangkut penyesuaian pembagian waktu siang dan malamnya.
Penulis hanya mengambil ayat-ayat muhkamat dan hadis yang menjelaskan secara terang, apabila ada kesalahan itu datangnya dari penulis sendiri. Semoga menjadi bahan pertimbangan dalam menyempurnakan ibadah puasa Ramadhan.
Wallahu a’lam bish shawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H