Posisi Indonesia yang pada saat itu tidak menguntungkan dimanfaatkan oleh IMF untuk melakukan 'pemaksaan' regulasi seperti perluasan program privatisasi hingga perluasan dan penambahan modal asing yang masuk ke Indonesia. IMF sering mendapatkan kritik karena dianggap terlalu mengintervensi kedaulatan ekonomi negara, khususnya terkait dengan privatisasi dan deregulasi investasi asing. Selain itu, IMF sering menunda pencairan stand-by credit, yang menghambat Indonesia dalam proses pemulihan ekonominya. Beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi korban, salah satu diantaranya yang memiliki potensi paling besar di masa depan adalah Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) (Soesastro, Aswicahyono, & Narjoko, 2009).
IMF juga terus mengharuskan Indonesia untuk melakukan reformasi politik sebelum dapat mencairkan bantuan. Penundaan ini menyebabkan lembaga lain juga menunda penyaluran bantuan karena mereka menunggu keputusan dari IMF (Tarmidi, 1999).
Rezim Internasional yang Mengatur Isu Investasi Asing
Berbeda dengan isu perdagangan dan keuangan yang memiliki rezim internasional yang lebih terstruktur seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan lembaga-lembaga keuangan internasional, regulasi internasional mengenai investasi asing masih dalam tahap perkembangan. Upaya untuk menciptakan aturan internasional yang komprehensif sering kali terhambat oleh konflik kepentingan antara negara maju dan berkembang. Belum ada rezim global yang seragam untuk mengatur investasi asing, yang mengakibatkan ketidakpastian dan kesulitan dalam merumuskan peraturan internasional yang efektif (Stiglitz, 2002).
Ketika sengketa terjadi, maka biasanya dilakukan arbitrase investasi di bawah International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID), yang membantu menyelesaikan perselisihan antara investor dan negara. Misalnya saja kasus Pertamina melawan Karaha Bodas Company (KBC). Kasus ini bermula ketika proyek PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) Karaha Bodas dihentikan pada 1998 akibat krisis ekonomi. KBC memenangkan arbitrase internasional di Jenewa pada tahun 2000, yang memutuskan kompensasi sebesar $261 juta. Meski Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membatalkan putusan arbitrase pada tahun 2002, pengadilan internasional tetap mengakui dan menegakkan putusan tersebut (Wells, 2007).
Kesimpulan
Pengaruh IMF terhadap investasi asing di Indonesia pasca krisis ekonomi 1998 sangat signifikan dan kompleks. Program bantuan IMF, yang dilengkapi dengan serangkaian reformasi ekonomi, berhasil membantu menstabilkan makroekonomi dan memperbaiki kebijakan investasi di Indonesia. Langkah-langkah ini pada satu sisi meningkatkan daya tarik Indonesia sebagai tujuan investasi bagi investor asing, terutama dengan peningkatan transparansi dan pengurangan risiko ekonomi.
Namun, dari perspektif imperialis dan kapitalis, kebijakan IMF juga membawa konsekuensi lain yang berdampak pada kedaulatan ekonomi Indonesia. Reformasi yang didorong oleh IMF sering kali dianggap lebih menguntungkan kepentingan kapitalis global daripada kepentingan nasional, dengan membuka sektor-sektor strategis untuk investasi asing dan mengurangi kontrol pemerintah terhadap ekonomi lokal. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa ketergantungan pada IMF dapat memperlemah kedaulatan ekonomi Indonesia dan meningkatkan pengaruh kapitalis global.
Selain itu, pengelolaan investasi asing yang melibatkan berbagai aktor internasional dan domestik menunjukkan bahwa, meskipun reformasi IMF berhasil menarik investasi asing, dinamika antara negara tuan rumah, perusahaan multinasional (PMN), dan negara asal PMN tetap menjadi tantangan yang kompleks. Di tingkat global, ketiadaan rezim internasional yang komprehensif untuk mengatur investasi asing membuat regulasi investasi menjadi lebih sulit dan sering menimbulkan sengketa. Hal ini menambah tantangan bagi Indonesia dalam menjaga keseimbangan antara menarik investasi asing dan melindungi kepentingan ekonomi nasional.
Daftar Pustaka
1.Babb, S. (2001). Managing Mexico: Economists from Nationalism to Neoliberalism. Princeton University Press.
2.Haggard, S. (2000). The Political Economy of the Asian Financial Crisis. World Bank Publications.
3.IMF. (1998). Indonesia: 1998 Article IV Consultation---Staff Report. International Monetary Fund.
4.O'Brien, R., & Williams, M. (2020). Global political economy: Evolution & dynamics (6th ed.). Red Globe Press.
5.Radelet, S., & Sachs, J. (1998). The East Asian Financial Crisis: Diagnosis, Remedies, Prospects. Brookings Papers on Economic Activity.
6.Rosser, Andrew. (2002). The Politics of Economic Liberalization in Indonesia: State, Market, and Power. New York: Routledge.
7.Soesastro, H., Aswicahyono, H., & Narjoko, D. A. (2009). Economic reforms in Indonesia after the economic crisis. Institutions for economic reform in Asia (1st ed., pp. 15-33). Routledge
8.Stiglitz, J. E. (2002). Globalization and its Discontents. W.W. Norton & Company.
9.Tarmidi, L. T. (1999). Krisis Moneter Indonesia: Sebab, Dampak, Peran IMF Dan Saran. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan.
10.Tarmidi, L. T. (2021). Krisis Moneter Indonesia: Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran. Â Student Journal of International Law Vol. 1, No. 1, (Agustus, 2021), pp. 13-32.
11.UNCTAD. (2020). World Investment Report 2020: International Investment Agreements and Sustainable Development. United Nations Conference on Trade and Development.
12.Wells, Louis T., 2007. Karaha Bodas Company: Turning to Arbitration, Making Foreign Investment Safe: Property Rights and National Sovereignty. Oxford Academic.
13.Williamson, J. (1999). The Washington Consensus and Beyond. Institute for International Economics.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H