Kasus diabetes dari tahun ke tahun di Indonesia kian terasa meresahkan. Di masa lalu penyakit ini biasa kita lihat menghinggapi lansia dan orang-orang yang sudah renta, namun saat ini diabetes juga menyerang mereka yang berusia muda dan produktif. Benar-benar sesuatu yang perlu diberikan perhatian khusus.
Banyak yang lupa kalau faktor keturunan memegang peranan penting iya dan tidaknya seseorang mengidap diabetes. Orang-orangtua di masa lalu yang jumlahnya banyak mengidap diabetes berarti semakin banyak pula orang-orang di masa depan, dalam hal ini keturunannya, yang kemungkinan besar juga akan mengidap penyakit ini.
Akan tetapi ternyata faktor keturunan masih kalah dengan faktor asupan yang masuk ke dalam tubuh manusia serta pola gaya hidup yang mereka jalani sehari-hari.
Meskipun mendapat faktor genetik untuk lebih rentan terkena diabetes yang didapat dari orangtuanya, mereka yang rajin berolahraga, mengatur pola makan dengan baik, memilih makanan yang layak konsumsi dilihat dari segi nutrisi dan kandungannya, serta menerapkan pola gaya hidup sehat ternyata jauh dari diabetes bahkan hingga masa tuanya sekalipun. Asupan gula yang lebih sedikit ketimbang kebanyakan orang tentu juga menjadi perhatian.
Sayang pada kenyataannya bukan hal itu yang terjadi. Semakin buruknya gaya hidup anak muda di masa sekarang yang banyak bersentuhan dengan gadget, membuat mereka hanya memikirkan olahraga sebagai kegiatan sampingan di kala benar-benar tak ada hal yang menarik untuk ditonton di layar yang selalu menemani kesehariannya.
Bahayanya hal ini sudah terbentuk semenjak dini, membuat jumlah penderita penyakit diabetes di negara ini semakin bertambah saja, bahkan di usia kurang dari dua puluh tahun.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh International Diabetes Federation pada desember 2022 lalu Indonesia menempati urutan pertama negara di ASEAN dengan jumlah penderita diabetes tipe 1 terbanyak. Pandemi selama lebih kurang dua tahun dengan penerapan pola hidup di rumah yang tak sehat dan selalu bersentuhan dengan gadget amat mendukung data yang sudah dipaparkan.
Setelah memahami bahwa ada yang lebih berpengaruh ketimbang faktor genetika dalam menambah jumlah penderita diabetes, marilah kita juga membahas mengenai makanan yang dikonsumsi oleh anak-anak dan keluarga kita setiap harinya.
Makanan yang benar-benar alami dan organik sudah berkurang jumlahnya di pasar-pasar dekat dengan lingkungan tempat kita tinggal. Penggunaan pestisida semakin meningkat dari tahun ke tahun, belum lagi rekayasa genetika yang dilakukan terhadap tanaman pokok yang menjadikannya tak lagi dapat ditanam ulang setelah panen.
Bukan biaya bibit yang menjadi persoalan, karena bibit GMO (Genetically Modified Organisms) tergolong murah, namun efek samping yang ditimbulkan dari konsumsi jangka panjang terhadap makanan jenis ini yang ditengarai menimbulkan dampak yang membahayakan.
Bahaya pestisida sudah tidak diragukan lagi, beberapa penelitian sudah membuktikan bahwa para petani yang kerap bersinggungan dengan bahan kimia ini memiliki risiko lebih besar terkena penyakit diabetes mellitus tipe 2 (Saputri, E. G., & al., e, 2018).
Pestisida memiliki efek toksik apabila manusia terpapar baik melalui rute oral, perkutan atau inhalasi. Pestisida yang masuk melalui rute oral akan masuk ke dalam sistem pencernaan dan dimetabolisme menjadi asam asetat oleh mikroba usus. Asam asetat yang dihasilkan akan diserap oleh sel-sel usus dan ditranspor ke hati melalui vena periportal. Asam asetat yang diserap selanjutnya akan diubah melalui proses gluconeogenesis menjadi glukosa.
Paparan pestisida yang terjadi terus menerus menyebabkan jumlah glukosa dalam darah melebihi batas normal dan berakibat pada terjadinya penyakit diabetes melitus (Velmurugan, 2017).
Tidak hanya tumbuhan, buah, sayur mayur, bahkan susu sapi pun tercemar oleh residu antibiotik dan hormon yang digunakan untuk memacu pertumbuhan. Hal yang akhirnya diduga kuat membuat penyakit autoimun semakin marak pada anak-anak kecil dan remaja. Selain tentunya, akibat paparan dari makanan rekayasa genetika yang juga dikhawatirkan menimbulkan dampak alergi.
Sudah terbayangkan bukan bagaimana dampaknya jika makanan rekayasa genetika itu adalah beras serta sayur mayur yang kita makan sehari-hari?
Autoimun sendiri dikaitkan erat dengan diabetes tipe 1, jenis yang paling banyak menyerang anak-anak muda. Bila gaya hidup termasuk makan banyak dan merokok tidak dikurangi, ditambah pula dengan hal-hal tersebut di atas, diproyeksikan akan membuat penderita diabetes di Indonesia mencapai 30 juta orang pada tahun 2030 (sumber: Kemenkes RI).
Produk pertanian organik kembali menjadi idola dalam beberapa tahun terakhir ini. Ada peningkatan kesadaran akan pentingnya makanan organik tanpa banyak dicampuri racun kimiawi. Meskipun literasi yang tersedia hanya dalam bentuk penelitian yang memicu sekedar himbauan oleh mereka yang peduli, hal-hal di atas sangat penting sekali untuk diperhatikan masing-masing individu.
Industri makanan rekayasa genetika dan pestisida tak mungkin bisa dibendung karena nilai bisnisnya yang luar biasa besar. Uang selalu bisa mengalahkan apapun, bahkan jika itu menyangkut kesehatan anak-cucu kita di masa yang akan datang  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H