Tak heran jika korban jiwa begitu banyak berjatuhan, angka di bagian awal tulisan tadi belum ditambah dengan mereka yang terluka atau hilang karena terjebak diantara reruntuhan bangunan.
Pada dasarnya memang lempeng tektonik itu terus bergerak dengan lambat dimana gerakannya bergantung pada konveksi material di dalam mantel bumi. Gerakan lempeng tektonik ini bisa saling berlawanan atau menabrak sehingga melepaskan energi yang besar ke permukaan.
Daerah perbatasan lempeng-lempeng tektonik merupakan tempat-tempat yang memiliki kondisi tektonik yang aktif, yang menyebabkan gempa bumi, gunung berapi dan pembentukan dataran tinggi.Â
Turki dalam hal ini mirip sekali dengan Indonesia, gunung-gunung berapi yang aktif di sana serta pertemuan tiga lempeng tektonik menjadikan wilayah negara ini mengalami gempa rutin beberapa kali setiap tahunnya. Hal yang juga terjadi di negeri kita, dimana gempa-gempa kecil hingga sedang acap terjadi tiap tahunnya.
Namun demikian kekuatan gempa mencapai 7,8 skala richter seperti senin lalu sudah tidak terjadi di Turki setidaknya selama delapan puluh tahun terakhir.
Pada 26 Desember 1939 adalah waktu terakhir kali Turki merasakan dampak dari bencana dahsyat ini. Menurut catatan sejarah 33.000 orang dilaporkan meninggal kala itu, menyebabkan kerusakan ekstrem di Dataran Erzincan dan Lembah Sungai Kelkit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H