Di sudut danau jauh ke bawah, tampak beberapa petugas berjaket kuning yang sedang berendam membersihkan enceng gondok. Mereka kemudian menyapa dengan ramah, “Helo Bapak, terima kasih sudah mengabadikan,” katanya, dengan suara yang sayup-sayup terdengar di kejauhan ketika saya membuat beberapa photo aktivitas mereka. Di kejauhan itu juga tampak perahu yang mereka gunakan ditambat. Bagi saya yang penggemar photography, komposisi ini terlihat menarik. Di tengah cahaya yang mulai senja, dari di kejauhan tampak air danau, lalu latar belakang gunung. Dan para pekerja yang berendam i “komposisi” alam yang indah.
Tiba-tiba hujan deras kembali turun. Ketika hujan deras seperti ini, suasana Danau Batu Tegi yang sepi di sore hari tersebut menjadi mencekam. Terbayang cerita tentang buaya-buaya sungai yang masuk dari sungai, dan berdiam di Danau. Terkadang tampak oleh pengunjung kepala mereka yang mendongkak ke atas air. “Kadang tampak buaya putih juga,” ujar wanita pemilik warung tersebut menambahkan. Volume air waduk kemudian terlihat semakin bertambah tinggi hingga bisa sampai satu juta meter kubik air. Dua air sungai (way), yaitu “Way Sekampung” dan “Way Seputih” juga dengan setia terus mengairi waduk besar ini, meskipun turun hujan deras seperti ini. Potensi air waduk yang luar biasa ini sebenarnya menyimpan banyak manfaat, taapi sekaligus resiko jika tidak dikelola dengan baik.
Danau Batu Tegi saat ini telah berfungsi sebagai objek wisata, sumber suplai air minum (PDAM) buat masyarakat di kota-kota besar di Propinsi Lampung. Dan berfungsi pula sebagai sumber air yang mengairi sawah masyarakat setempat dengan membuat saluran irigasi yang melewati 5 Kabupaten sekitar. Dan, akhir-akhir ini juga Batu TEGI telah berkembang menjadi tempat konservasi hewan yang hampir punah di Sumatra, seperti Kukang dan lain-lain yang habitatnya sesuai.
Konservasi KUKANG Sumatra
Awalnya karena beberapa orang asing yang pernah mengunjungi tempat ini, kemudian tertarik menjadikan salah satu pulau di tengah Danau Batu Tegi ini sebagai tempat konservasi. Alam dan cuacanya cocok untuk tujuan kegiatan perkembangan biak hewan seperyi Kukang. Maka berkoordinasi dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), maka Batu Tegi pun saat ini juga sebagai tempat sarana konservasi melestarikan Kukang Sumatra yang hampir mengalami kepunahan. Sejak tahun 2016, Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Primata “Yayasan Inisiasi Alam Rehabitilitasi Indonesia (YIARI) ini telah berhasil melepaskan cukup banyak Kukang Sumatra (Nycticebus Coucang) ke hutan bebas habitatnya.
Kukang atau biasa disebut Sang Hewan Pemalu ini, merupakan jenis primata yang mempunyai kebiasaan unik. Satwa imut yang ukuran tubuhnya hanya sekitar 20-30 cm, akan tidur lelap mulai pagi hingga petang. Tapi ketika malam tiba, ia bangun dan beraksi mencari makan atau bermain. Karena sifatnya yang pemalu maka hewan ini sering dipelihara orang di kota-kota besar. Beberapa tahun yang lalu, saya melihat Kukang diperjualbelikan secara bebas di pelataran area masuk ke Mall BIP yang terletak Jalan Merdeka, Bandung tersebut. Sungguh kemudian menjadi KONTRAS dengan tempat konservasi di Batu tegi ini!!
Di sini, di Batu TEGI, hewan ini dipelihara dengan sangat hati-hati agar dapat dilestarikan dan dilepaskan ke habitatnya untuk mencegah kepunahan. Sementara di kota-kota besar seperti Bandung dan Jakarta, hewan pemalu ini malah dijadikan komoditas bisnis yang dicari-cari para pemburu sampai ke Pulau Sumatra.
Wah, tampaknya akan semakin banyak saja nih cerita dari Danau Bendungan Batu TEGI. Tapi, kita harus mengakhirinya sampai di sini.
Menjelang senja, mobil kami kemudian meninggalkan lokasi objek wisata yang menarik ini. Di dalam mobil saya melamun di keheningan. Memang betapa strategisnya kehadiran Bandungan Batu TEGI ini. Dan yang kemudian selalu mengusik adalah, di sana-sini enceng gondok dan kiambang seperti setengah hati diegah, dan seolah-olah dibiarkan berkembang mengotori Danau. Pantaskah objek wisata yang menarik ini, kemudian dikelola dengan cara seadanya seperti sekarang? “Quo Vadis, Bendungan Danau Batu TEGI...! “