Cuaca Bandara Husein Sastranegara di Bandung cerah, ketika pesawat Wing Air di hari Jumat, 24 Maret 2017 itu, lepas landas menuju Bandara Raden Inten II di Bandar Lampung, setelah sebelumnya delay hampir 3 jam. Kali ini, saya menemani istri yang pulang kampung ke Desa Muaradua, Kecamatan Pulau Panggung, Kabupaten Tanggamus, Lampung. Ini kunjungan saya yang kelima selama 30 tahun terakhir. Mungkin karena jarang mengunjungi desa ini, maka tampak di mata saya berbagai perbedaan dan perkembangan signifikan yang terjadi di sana. Lima tahun rupanya waktu yang cukup lama untuk terjadinya banyak perubahan di desa ini..
Pagi itu, saya menemanu istri berbelanja ke pasar utama yang terletak beberapa kilometer dari rumah, berlokasi di Talang Padang. Pusat belanja masyarakaat sekitar kampung yang meliputi beberapa kecamatan tersebut, juga terlihat semakin ramai dan lengkap. Mulai banyak bermunculan gerai Indomaret dan AlfaMart di berbagai sudut. Idiom-idiom yang menunjukkan kawasan desa yang dihuni oleh mayoritas masyarakat suku Semende, Lampung Selatan ini, sudah tidak lagi sepenuhnya bercorak sebuah Desa murni sebagamana yang banyak didefinisikan oleh para sosiolog. Di antara berbagai perubahan tersebut, yang kemudian menonjol dan paling menarik adalah keberadaan Danau Waduk “Batu TEGI”. Yang akhir-akhir ini mulai lebih dikenal dan menjadi salah satu objek andalan pariwisata di Kabupaten Tanggamus khsusunya dan Propinsi Lampung.
Lima belas tahun lalu, pertamakali saya mengunjungi waduk yang luasnya sekitar 3.560 hektar ini, dan merupakan bendungan terbesar di Asia Tenggara. Saat itu, masih belum terlihat kemegahannya seperti hari ini. Yang tampak menonjol adalah kesibukan para pekerja projek yang bekerja hingga malam masuk ke dalam bawah tanah, menggali dengan mesin-mesin canggih. Mereka sedang membuat terowongan besar yang menembus sungai, agar aliran dapat masuk ke kawasan waduk.
Dari kejauhan, saya melihat berbagai pipa besi besar di sana-sini yang tergantung rapi yang siap dipindahkan. Waktu itu, saya sempat merasa “miris” melihat pemandangan kerja projek seperti ini, karena terlihat begitu beresiko tinggi. Saya tidak tahu, apakah waktu itu perusahaan asing kontraktor yang menggarap pembangunan rpojek Batu tegi ini sudah menerapkan konsep K3L (Kesehatan, Keselamatan dan Keamanan Kerja serta Lingkungan), atau tidak.
Pertanyaan yang muncul dari berbagai orang awam yang datang: bagaimana jika pipa itu tiba-tiba putus dan terjatuh di tengah keramaian orang yang sedang bekerja” Akhirnya, segala kekhawatiran itu memang kemudian terjadi. Saya mendengar kabar telah terjadi korban sebanyak 13 orang pekerja. Tapi hari ini, tampaknya pengorbanan mereka tidak sia-sia. Waduk Batu Tegi ini kemudian menjadi salah satu danau buatan termegah dan bisa memberi manfaat besar buat masyarakat di sana.
Tanggal 08 Maret 2004, Waduk Batu TEGI tersebut kemudian diresmikan oleh Presiden Megawati Soekarno. Dalam pidatonya, Megawati mengharapkan agar waduk ini menjadi pemicu dalam mempercepat pembangunan kawasan pertanian di sini. Menjadi penggerak perekonomian petani khususnya dalam mengairi sawah. Sawah-sawah luas di Lampung Bagian Selatan ini, sudah sejak lama merupakan salah satu lumbung padi bagi Propinsi Lampung. Dapat mengatasi kekeringan saat memasuki musim kemarau, yang tentu menganggu sumber pendapatan utama masyarakat, yang sangat bergantung oleh keberadaan sawah dan perkebunan holtikultura.
Mungkin, berkah Danau Waduk Batu Tegi inilah yang menjadi salah satu faktor kemajuan masyarakat desa di kawasan ini. Indikator kemajuan tersebut secara sederhana dapat dilihaat dari jalan raya beraspal mulus di depan rumah mertua saya di Desa Muaradua ini. Desa yang hanya berjarak 15 menit dengan berkendaraan dari Batu Tegi ini, juga mulai ramai oleh hilir mudiknya mobil-mobil bagus keluaran terbaru. Pemandangan yang langka di era tahun 1980-an ketika saya mengunjungi desa ini untuk pertama kalinya. “Mungkin, ada sekitar 50% dari rumah-rumah penduduk di sini yang sudah punya mobil,” kata Irsan, salah seorang yang lahir dan dibesarkan di desa ini. “Bahkan rata-rata masyarakat sudah mampu memiliki paling tidak, dua motor di rumahnya dari hasil panen Kopi, Lada, Coklat, Kates dan produk pertanian Holtikultura,” jelasnya lebih lanjut.
Indikator kemajuan lain, munculnya berbagai ide dalam pengelolaan kebon buah-buahan dan sayur seperti Kates California (Pepaya) yang kini menjadi trend di sana. “Bibit asli Pepaya ini awalnya dari California USA, yang kemudian dikembangkan di Sukabumi, Jawa Barat dan kami beli untuk ditanam di sini, “ kata Irsan. Di Desa Muaradua ini, Kates merupakan komoditas yang dapat diandalkan dan semakin populer. Mungkin karena tanah dan cuacanya yang berbeda, rasa buah Kates Muaradua ini sangat manis dan alami. “Saya hampir tiap hari mencicipinya sebagai penutup makan, “ kata Farida Saimi, istri saya yang selalu merindukan suasana kampungnya kalau sedang jenuh di Bandung dan Cimahi. Tanah pertanian yang akhir-akhir ini semakin subur, bisa jadi karena kehadiran Bendungan Danau Batu TEGI.
Fasilitas Wisata Seadanya dan Listrik pun “Byar Preett”
Danau Batu Tegi berada di antara dua bukit, di ketinggian 625 meter di atas permukaan laut. Lingkungan alam dan udaranya yang dingin, namun tampak masih asri tersebut, membuat pengunjung betah berlama-lama di sini menenangkan pikiran daan beristirahat . Gerimis yang senantiasa menyambut pengunjung di musim hujan ini, membuat persewaan payung yang berwarna warni tampak menghiasi jalan aspal di atas bendungan besar tersebut.
Gunung Tanggamus yang menjadi latar belakang, menjulang tinggi dikejauhan, bercumbu dengan awan-awan putih yang membuat lokasi ini terlihat eksotik.. Bendungan yang terletak di Pekon (Desa) “Batu Tegi”, di kawasan pegunungan Kecamatan Airnaningan ini, berjarak sekitar 10 kilometer dari rumah mertua saya, rumah Bapak Saimi (82 tahun) di desa Muaradua. “Batu TEGI itu, ya dari dulu begitu-begitu saja,” katanya, yang mungkin sebagai penduduk lokal sudah bosan mengunjunginya.
Dalam hal ini, saya jadi bertanya-tanya: apa yang terjadi dengan listrik di sini? Apakah listrik super besar yang dihasilkan oleh Bendungan Batu Tegi tidak bisa menyelesaikan masalah “byar pret” ini? Atau, barangkali listrik dari waduk PLTA Batu Tegi memang dibangun bukan ditujukan untuk masyarakat sekitar. Kabarnya, energi lisrtiknya ini lebih banyak dikirim untuk konsumsi masyarakat kota besar di Propinsi Lampung yang jauh (yang lebih mampu membayar mahal), seperti di kota Bandar Lampung dan Tanjung karang, yang berjarak sekitar 85 kilometer tersebut. Kalau isu ini benar, tidak aneh memang, kalau masyarakat sekitar akhirnya seperti kekurangan garam di lautan. Atau bahkan, bagai tikus yang mati di lumbung padi.. Wah, bagaimana nih PLN?
Di sudut lain, tampak beberapa petugas Waduk Batu Tegi yang sedang bekerja keras dengan berendam sedang membersihkan enceng gondok dan kiambang di permukaan Danau. Mozaik yang menambah “eksotisme” danau buatan ini di sore hari yang sepi tersebut. Danau ini pembuatannya merupakan kolaborasi konsultan/insinyur dari dalam dan luar negeri. Ada “PRC Engineering” dari Amerika dan “Sinotech” dari Taiwan yang terlibat, dengan dukungan dana dari APBN serta pinjaman (loans) dari “Japan Bank for International Cooperation (JBIC)”.
Keberadaan projek besar asing ini juga memberi manfaat lain buat masyarakat saat sedang dibangun. Banyak anak muda desa di kawasan ini yang kemudian melamar bekerja dan diserap di sini. “Bekerja di Projek Batu Tegi harus mengikuti sistem kerja yang ketat dan profesional, layaknya perusahaan asing. Kita harus serius dan tidak bisa santai. Displin waktu menjadi penting dan dihitung sebagai bagian dari penilaian,” kata salah seorang pemuda Desa, yang mantan pekerja di Projek ini. Awalnnya dia sempat mengalami “geger budaya” juga ketika bergabung bekerja di projek ini. “Banyak target-target kerja harian yang harus dicapai,” katanya. Sebenanrnya dia tanpa didasari telah diajarkan bagaimana menjadi pekerja profesional. Mudah-mudahan saja, “alumni” Projek Batu Tegi ini bisa menularkan etos kerja keras yang displin tersebut ketika membangun desanya masing-masing.
Kisah Mistik Di Seputar Batu Tegi
Sebagaimana waduk-waduk besar, maka kawasan Danau Waduk Batu TEGI ini mulanya merupakan pemukiman dari beberapa Desa yang dihuni ratusan penduduk. Setelah urusan pembebasan tanah selesai, maka pemukiman ini perlahan-lahan direndam air dan dialihkan menjadi waduk seperti sekarang. Maka berbagai cerita mistik pun kemudian bermunculan di masyarakat sekitar. Tempat angker kuburan tua ddi desa lama, dan lokasi terjadinya kecelakaan kerja pengerjaan projek besar tersebut, kemudian menjadi bumbu tersendiri. “Bagaimana tidak terjadi korban,” kata Pak Tua, pemilik salah satu warung yang kami singgahi di lokasi Dermaga Jetty.
“Pipa besi penyalur air sungai yang beratnya berton-ton itu, menurut saksi mata yang banyak beredar di masyarakat, hanya disanggah dengan tali seadanya. Jadi banyak orang di sini percaya, bahwa mereka yang 13 orang pekerja itu tewas sebagai korban yang seperti disengaja dijadikan semacam tumbal demi keselamatan pembangunan waduk besar ini selanjutnya,” katanya. Begitulah kemudian cerita mistik yang terkadang “irrasional” tersebut berkembang dengan caranya sendiri di masyarakat. Mungkin cerita mistik ini sengaja dibuat sebagai “bumbu penyedap” bagi keberadaan suatu objek wisata, agar tampak lebih menarik dan membuat penasaran banyak orang yang mengunjungi.
“Di sini, pengunjung terbanyak justru mereka yang datang dari jauh di hari Selasa. Mereka yang datang dari berbagai daerah seperti Bengkulu, Palembang, Jambi, Padang dan lain-lain itu, biasanya menyeberang Danau Batu Tegi ini dengan perahu untuk mencari berkah air mancur yang terdapat di salah satu pulau di tengah Danau,” kata Pak Tua ini lebih lanjut
Cukup lama kami berteduh dari hujan yang deras, sambil menikmati jualan makanan ringan keripik singkong pedas khas Lampung di warungnya. Akhirnya, ketika hujan mulai mereda, kami pun melanjutkan perjalanan ke lokasi bagian lain, yaitu PLTA Site Plant. Di sana, di ketinggian 690 meter di atas jalan bendungan selebar 5 meter tersebut, mengasyikkan. Karena membuat mata pengunjung dapat memandang luas jauh ke tengah danau dan ekearah bukit/gunung yang mengelilingnya. Dari atas lokasi ini, tampak gunung-gunung dan bukit di sekitar yang seperti mau mendekat.
Di sudut danau jauh ke bawah, tampak beberapa petugas berjaket kuning yang sedang berendam membersihkan enceng gondok. Mereka kemudian menyapa dengan ramah, “Helo Bapak, terima kasih sudah mengabadikan,” katanya, dengan suara yang sayup-sayup terdengar di kejauhan ketika saya membuat beberapa photo aktivitas mereka. Di kejauhan itu juga tampak perahu yang mereka gunakan ditambat. Bagi saya yang penggemar photography, komposisi ini terlihat menarik. Di tengah cahaya yang mulai senja, dari di kejauhan tampak air danau, lalu latar belakang gunung. Dan para pekerja yang berendam i “komposisi” alam yang indah.
Tiba-tiba hujan deras kembali turun. Ketika hujan deras seperti ini, suasana Danau Batu Tegi yang sepi di sore hari tersebut menjadi mencekam. Terbayang cerita tentang buaya-buaya sungai yang masuk dari sungai, dan berdiam di Danau. Terkadang tampak oleh pengunjung kepala mereka yang mendongkak ke atas air. “Kadang tampak buaya putih juga,” ujar wanita pemilik warung tersebut menambahkan. Volume air waduk kemudian terlihat semakin bertambah tinggi hingga bisa sampai satu juta meter kubik air. Dua air sungai (way), yaitu “Way Sekampung” dan “Way Seputih” juga dengan setia terus mengairi waduk besar ini, meskipun turun hujan deras seperti ini. Potensi air waduk yang luar biasa ini sebenarnya menyimpan banyak manfaat, taapi sekaligus resiko jika tidak dikelola dengan baik.
Danau Batu Tegi saat ini telah berfungsi sebagai objek wisata, sumber suplai air minum (PDAM) buat masyarakat di kota-kota besar di Propinsi Lampung. Dan berfungsi pula sebagai sumber air yang mengairi sawah masyarakat setempat dengan membuat saluran irigasi yang melewati 5 Kabupaten sekitar. Dan, akhir-akhir ini juga Batu TEGI telah berkembang menjadi tempat konservasi hewan yang hampir punah di Sumatra, seperti Kukang dan lain-lain yang habitatnya sesuai.
Konservasi KUKANG Sumatra
Awalnya karena beberapa orang asing yang pernah mengunjungi tempat ini, kemudian tertarik menjadikan salah satu pulau di tengah Danau Batu Tegi ini sebagai tempat konservasi. Alam dan cuacanya cocok untuk tujuan kegiatan perkembangan biak hewan seperyi Kukang. Maka berkoordinasi dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), maka Batu Tegi pun saat ini juga sebagai tempat sarana konservasi melestarikan Kukang Sumatra yang hampir mengalami kepunahan. Sejak tahun 2016, Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Primata “Yayasan Inisiasi Alam Rehabitilitasi Indonesia (YIARI) ini telah berhasil melepaskan cukup banyak Kukang Sumatra (Nycticebus Coucang) ke hutan bebas habitatnya.
Kukang atau biasa disebut Sang Hewan Pemalu ini, merupakan jenis primata yang mempunyai kebiasaan unik. Satwa imut yang ukuran tubuhnya hanya sekitar 20-30 cm, akan tidur lelap mulai pagi hingga petang. Tapi ketika malam tiba, ia bangun dan beraksi mencari makan atau bermain. Karena sifatnya yang pemalu maka hewan ini sering dipelihara orang di kota-kota besar. Beberapa tahun yang lalu, saya melihat Kukang diperjualbelikan secara bebas di pelataran area masuk ke Mall BIP yang terletak Jalan Merdeka, Bandung tersebut. Sungguh kemudian menjadi KONTRAS dengan tempat konservasi di Batu tegi ini!!
Di sini, di Batu TEGI, hewan ini dipelihara dengan sangat hati-hati agar dapat dilestarikan dan dilepaskan ke habitatnya untuk mencegah kepunahan. Sementara di kota-kota besar seperti Bandung dan Jakarta, hewan pemalu ini malah dijadikan komoditas bisnis yang dicari-cari para pemburu sampai ke Pulau Sumatra.
Wah, tampaknya akan semakin banyak saja nih cerita dari Danau Bendungan Batu TEGI. Tapi, kita harus mengakhirinya sampai di sini.
Menjelang senja, mobil kami kemudian meninggalkan lokasi objek wisata yang menarik ini. Di dalam mobil saya melamun di keheningan. Memang betapa strategisnya kehadiran Bandungan Batu TEGI ini. Dan yang kemudian selalu mengusik adalah, di sana-sini enceng gondok dan kiambang seperti setengah hati diegah, dan seolah-olah dibiarkan berkembang mengotori Danau. Pantaskah objek wisata yang menarik ini, kemudian dikelola dengan cara seadanya seperti sekarang? “Quo Vadis, Bendungan Danau Batu TEGI...! “
Semoga, beberapa tahun mendatang, ketika saya datang kembali sebagai pengunjung dan “Citizen Journalist”, semuanya sudah semakin lebih baik....
=================================================================================================================================================
(Ditulis oleh: Rendra Tris Surya, dari Pekon Muaradua, Kecamatan Pulau Panggung, 31 Maret 2017. Di malam di selingi listrik yang sering “byar pret” hampir setiap hari. Dari sejak belum ada Waduk Batu Tegi 30 tahun lalu, hingga hari ini..)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H