Mohon tunggu...
Rendra Trisyanto Surya
Rendra Trisyanto Surya Mohon Tunggu... Dosen - I am a Lecturer, IT Auditor and Trainer

(I am a Lecturer of IT Governance and IT Management. And IT AUDITOR and Trainer in CISA, CISM, CGEIT, CRISC, COBIT, ITIL-F, PMP, IT Help Desk, Project Management, Digital Forensic, E-commerce, Digita Marketing, CBAP, and also Applied Researcher) My other activity is a "Citizen Journalist" who likes to write any interest in my around with DIARY approached style. Several items that I was writing in here using different methods for my experimental, such as "freestyle", "feeling on my certain expression," "poetry," "short stories," "prose," "travel writing," and also some about popular science related to my field. I use this weblog (Kompasiana) as my experiment laboratory in writing exercise, Personal Branding and my Personal Diary... So, hopefully..these articles will give you beneficial or inspiration and motivation for other people like my readers...! ... Rendratris2013@Gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Menikmati Keindahan Danau Waduk Batu Tegi dan Cerita Mistiknya

4 April 2017   13:03 Diperbarui: 5 April 2017   23:30 1621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Keterangan gambar: berpose di salah satu sudut Bendungan Utama di suatu sore yang mulai gelap / Photo By: Farida Rendra)

Cuaca Bandara Husein Sastranegara di Bandung cerah, ketika pesawat Wing Air di hari Jumat, 24 Maret 2017 itu, lepas landas menuju Bandara Raden Inten II di Bandar Lampung, setelah sebelumnya delay hampir 3 jam. Kali ini, saya  menemani istri yang pulang kampung ke Desa Muaradua, Kecamatan Pulau Panggung, Kabupaten Tanggamus, Lampung. Ini kunjungan saya yang kelima selama 30 tahun terakhir. Mungkin karena jarang mengunjungi desa ini, maka tampak  di mata saya berbagai perbedaan dan perkembangan signifikan yang terjadi di sana. Lima tahun rupanya waktu yang cukup lama untuk terjadinya banyak perubahan di desa ini..

(Keterangan Photo: Lokasi Danau Waduk Batu TEGI di perbatasan Kecamatan Pulau Panggung, Kecamatan Tekad dan Kecamatan Airnaningan. Dari Bandar lampung (Tanjung Karang) sekitar 3 jam perjalanan arah ke kota Agung / Sumber peta: duniapariwisataanIndonesia.blogspot.co.id)
(Keterangan Photo: Lokasi Danau Waduk Batu TEGI di perbatasan Kecamatan Pulau Panggung, Kecamatan Tekad dan Kecamatan Airnaningan. Dari Bandar lampung (Tanjung Karang) sekitar 3 jam perjalanan arah ke kota Agung / Sumber peta: duniapariwisataanIndonesia.blogspot.co.id)
Hampir setiap pagi saya duduk-duduk di beranda depan rumah mertua mengamai hilir-mudik berbagai orang di jalan utama desa ini. Tampak anak-anak yang dahulu hanya berani bermain di halaman, kini menginjak remaja. Bahkan beberapa di antaranya telah menjadi Ibu pula dengan beberapa anak yangs elalu membuntutinya. Sebagian remaja baru dewasa inbi, kemudian tampak “berkejaran” dengan waktu dengan motor-motor yang dikenderainya dengan kencang, memakai seragam sekolah yang tampak lebih berwarna-warni. Lalulintas jalan raya satu-satunya di Kampung Muaradua itu pun, kini semakin terlihat lebih dinamis.

Pagi itu, saya menemanu istri berbelanja ke pasar utama yang terletak beberapa kilometer dari rumah, berlokasi di Talang Padang. Pusat belanja masyarakaat sekitar kampung yang meliputi beberapa kecamatan tersebut, juga terlihat semakin ramai dan lengkap. Mulai banyak bermunculan gerai Indomaret dan AlfaMart  di berbagai sudut. Idiom-idiom yang menunjukkan kawasan desa yang dihuni oleh mayoritas masyarakat suku Semende, Lampung Selatan ini, sudah tidak lagi sepenuhnya bercorak sebuah Desa murni sebagamana yang banyak didefinisikan oleh para sosiolog. Di antara berbagai perubahan tersebut, yang kemudian menonjol dan paling menarik adalah keberadaan Danau Waduk “Batu TEGI”.  Yang akhir-akhir ini mulai lebih dikenal dan menjadi salah satu objek andalan pariwisata di Kabupaten Tanggamus khsusunya dan Propinsi Lampung.    

Lima belas tahun lalu, pertamakali saya mengunjungi waduk yang luasnya sekitar  3.560 hektar ini, dan  merupakan bendungan terbesar di Asia Tenggara. Saat itu, masih belum terlihat kemegahannya seperti hari ini. Yang tampak menonjol adalah kesibukan para pekerja projek yang bekerja hingga malam masuk ke  dalam bawah tanah, menggali  dengan mesin-mesin canggih. Mereka sedang membuat  terowongan besar yang menembus sungai, agar aliran dapat masuk ke kawasan waduk. 

Dari kejauhan, saya melihat berbagai pipa besi besar di sana-sini yang tergantung rapi yang siap dipindahkan. Waktu itu, saya sempat merasa “miris” melihat pemandangan kerja projek seperti ini, karena  terlihat begitu beresiko tinggi.  Saya tidak tahu, apakah waktu itu perusahaan asing kontraktor yang menggarap pembangunan rpojek Batu tegi ini sudah menerapkan konsep K3L (Kesehatan, Keselamatan dan Keamanan Kerja serta Lingkungan), atau tidak.

Pertanyaan yang muncul dari berbagai orang awam yang datang: bagaimana jika pipa itu tiba-tiba putus dan terjatuh di tengah keramaian orang yang sedang bekerja” Akhirnya, segala kekhawatiran itu memang kemudian terjadi. Saya mendengar   kabar telah terjadi korban sebanyak 13 orang pekerja. Tapi hari ini, tampaknya pengorbanan mereka tidak sia-sia. Waduk Batu Tegi ini kemudian menjadi salah satu danau buatan termegah dan bisa memberi manfaat besar buat masyarakat di sana.  

Tanggal 08 Maret 2004, Waduk Batu TEGI tersebut kemudian diresmikan oleh Presiden Megawati Soekarno. Dalam pidatonya, Megawati mengharapkan agar waduk ini  menjadi pemicu dalam mempercepat pembangunan kawasan pertanian di sini. Menjadi penggerak  perekonomian petani khususnya dalam mengairi sawah. Sawah-sawah luas di Lampung Bagian Selatan ini, sudah sejak lama merupakan salah satu lumbung padi bagi Propinsi Lampung. Dapat mengatasi kekeringan saat memasuki musim kemarau, yang tentu menganggu sumber pendapatan utama masyarakat,  yang sangat  bergantung oleh keberadaan sawah dan perkebunan holtikultura.

Mungkin, berkah Danau Waduk Batu Tegi inilah yang menjadi salah satu faktor kemajuan masyarakat desa di kawasan ini. Indikator kemajuan tersebut secara sederhana dapat dilihaat dari  jalan raya beraspal mulus di depan rumah mertua saya di Desa Muaradua ini. Desa yang hanya berjarak 15 menit dengan berkendaraan dari Batu Tegi ini, juga mulai ramai oleh hilir mudiknya mobil-mobil bagus keluaran terbaru. Pemandangan  yang langka di era tahun 1980-an ketika saya mengunjungi desa ini untuk pertama kalinya. “Mungkin, ada sekitar 50% dari rumah-rumah penduduk di sini yang sudah punya mobil,” kata Irsan, salah seorang yang lahir dan dibesarkan di desa ini. “Bahkan rata-rata masyarakat  sudah mampu memiliki paling tidak, dua motor di rumahnya dari hasil panen Kopi, Lada, Coklat, Kates dan produk pertanian Holtikultura,” jelasnya lebih lanjut.

Indikator kemajuan lain, munculnya berbagai ide dalam pengelolaan kebon  buah-buahan dan sayur seperti Kates California (Pepaya) yang kini menjadi trend di sana. “Bibit asli Pepaya ini awalnya dari  California USA, yang kemudian dikembangkan di Sukabumi, Jawa Barat dan kami beli untuk ditanam di sini, “ kata Irsan. Di Desa Muaradua ini, Kates merupakan komoditas yang dapat diandalkan dan semakin populer. Mungkin karena tanah dan cuacanya yang berbeda, rasa buah Kates Muaradua ini sangat manis dan alami. “Saya hampir tiap hari mencicipinya sebagai penutup makan, “ kata Farida Saimi, istri saya yang selalu merindukan suasana kampungnya kalau sedang jenuh di Bandung dan Cimahi. Tanah pertanian yang akhir-akhir ini semakin subur,  bisa jadi karena kehadiran Bendungan Danau Batu TEGI.  

Fasilitas Wisata Seadanya dan Listrik pun “Byar Preett”

Danau Batu Tegi berada di antara dua bukit, di ketinggian 625 meter di atas permukaan laut. Lingkungan alam dan udaranya yang  dingin, namun tampak masih asri tersebut, membuat pengunjung betah berlama-lama di sini menenangkan pikiran daan beristirahat . Gerimis yang senantiasa menyambut pengunjung di musim hujan ini, membuat persewaan payung yang berwarna warni tampak menghiasi jalan aspal di atas bendungan besar tersebut. 

Gunung Tanggamus yang menjadi  latar belakang, menjulang tinggi dikejauhan, bercumbu dengan awan-awan putih yang membuat lokasi ini terlihat eksotik.. Bendungan  yang terletak di Pekon (Desa) “Batu Tegi”, di kawasan pegunungan Kecamatan Airnaningan ini, berjarak sekitar 10 kilometer dari rumah mertua saya, rumah Bapak Saimi (82 tahun) di desa Muaradua.  “Batu TEGI itu, ya dari dulu begitu-begitu saja,” katanya, yang mungkin sebagai penduduk lokal sudah bosan mengunjunginya.

(Berpose bersama Istri di atas bendungan, di ketinggian hampir 700 meter di kawasan pegunungan yang berudara sejuk. Di bagian bawah tampak mesin generator pembangkit listrik PLTA / photo by: dok pribadi)
(Berpose bersama Istri di atas bendungan, di ketinggian hampir 700 meter di kawasan pegunungan yang berudara sejuk. Di bagian bawah tampak mesin generator pembangkit listrik PLTA / photo by: dok pribadi)
Sore itu, bendungan yang mampu menghasilkan 125 GigaWatt listrik memenuhi kebutuhan masyarakat di lima Kabupaten di bagiaan selatan Lampung, tampak semakin eksotik. Siluhet bayangan bukit yang mengapit membuat suasana cerah namun agak remang. Berbagai photo silhuete menjadi unik. Uniknya juga, hasil listrik yang besar itu, sepertinya  tidak benar-benar dinikmati oleh masyarakat sekitar. “Di sini, hampir tiap hari listrik padam (“byar pret”), walaupun lamanya cuma beberapa menit, ” kata salah seorang penghuni rumah yang saja ajak ngobrol. Bahkan selama saya menginap hampir seminggu di sini, listrik yang padam “byar pret” itu, bisa  sampai dua kali dalam sehari. Walaupun ini mungkin terlihat sepele oleh sebagian orang (karena khan Cuma sebentar). Namun, dalam jangka panjang dapat menyebabkan rusaknya perangkat elektronik rumah tangga seperti Kulkas, Mesin Cuci, TV dan lain-lain.

Dalam hal ini, saya jadi bertanya-tanya:  apa yang terjadi dengan listrik di sini? Apakah listrik super besar yang dihasilkan oleh Bendungan Batu Tegi tidak bisa menyelesaikan masalah “byar pret” ini? Atau, barangkali listrik dari waduk PLTA Batu Tegi memang dibangun bukan ditujukan untuk masyarakat sekitar. Kabarnya, energi lisrtiknya ini lebih banyak dikirim untuk konsumsi masyarakat kota besar di Propinsi Lampung yang jauh (yang lebih mampu membayar mahal), seperti di kota  Bandar Lampung dan Tanjung karang, yang berjarak sekitar 85 kilometer tersebut. Kalau isu ini benar, tidak aneh memang, kalau masyarakat sekitar akhirnya seperti kekurangan garam di lautan. Atau bahkan, bagai tikus yang mati di lumbung padi.. Wah, bagaimana nih PLN?  

(Pemandangan Danau Waduk Batu TEGI dari sisi timur. Tampak tembok waduk yang menahan air bervolume hampir 1 juta m3 untuk menggerakkan generator listrik di bawahnya. Di puncak waduk tersebut terdapat jalan aspal buat pengunjung selebar 5 meter / photo: surgakita.com)
(Pemandangan Danau Waduk Batu TEGI dari sisi timur. Tampak tembok waduk yang menahan air bervolume hampir 1 juta m3 untuk menggerakkan generator listrik di bawahnya. Di puncak waduk tersebut terdapat jalan aspal buat pengunjung selebar 5 meter / photo: surgakita.com)
Ya...seperti biasa, saya tidak sempat menganalisis lebih jauh permasalahan “Byar Pret” listrik ini. Karena tujuan saya ke sini hanya untuk menikmati Bendungan Batu Tegi sebagai suatu objek wisata. Lalu, tiba-tiba mata menuju ke beberapa remaja yang asyik ber-selfie ria daripada menikmati keindahan pemandangan Batu Tegi.  Mereka datang, berphoto sejenak dan segera bergegas pulang meninggalkan lokasi.  Fenomena yang tampaknya terjadi di mana-mana di Indonesia, di era HP yang telah dilengkapi dengan fitur photo 360. Objek wisata dewasa ini (bagi kebanyakan remaja), hanya berfungsi sebagai latar belakang untuk  membuat photo belaka.   

Di sudut lain, tampak beberapa petugas Waduk Batu Tegi yang sedang bekerja keras dengan berendam sedang membersihkan enceng gondok dan kiambang di permukaan Danau. Mozaik yang menambah “eksotisme” danau buatan ini di sore hari yang sepi tersebut. Danau  ini pembuatannya merupakan kolaborasi konsultan/insinyur dari  dalam dan luar negeri. Ada “PRC Engineering” dari Amerika dan “Sinotech” dari Taiwan yang terlibat, dengan dukungan dana dari APBN serta pinjaman (loans) dari “Japan Bank for International Cooperation (JBIC)”.

Keberadaan projek besar asing ini juga memberi manfaat lain buat masyarakat saat sedang dibangun.  Banyak anak muda desa di kawasan ini yang kemudian melamar bekerja dan diserap di sini. “Bekerja di Projek Batu Tegi harus mengikuti sistem kerja yang ketat dan profesional, layaknya perusahaan asing. Kita harus serius dan tidak bisa santai. Displin waktu menjadi penting dan dihitung sebagai bagian dari penilaian,” kata salah seorang pemuda Desa, yang mantan pekerja di Projek  ini. Awalnnya dia sempat mengalami “geger budaya” juga ketika bergabung bekerja di projek ini. “Banyak target-target kerja harian yang harus dicapai,” katanya. Sebenanrnya dia tanpa didasari telah diajarkan bagaimana menjadi pekerja profesional. Mudah-mudahan saja, “alumni” Projek Batu Tegi ini bisa menularkan etos kerja keras yang displin tersebut ketika  membangun  desanya masing-masing. 

Kisah Mistik Di Seputar Batu Tegi

Sebagaimana waduk-waduk besar, maka kawasan Danau Waduk Batu TEGI ini mulanya merupakan pemukiman dari beberapa Desa yang dihuni ratusan penduduk. Setelah urusan pembebasan tanah selesai, maka pemukiman ini perlahan-lahan direndam air dan dialihkan menjadi waduk seperti sekarang.  Maka berbagai cerita mistik pun kemudian bermunculan di masyarakat sekitar.  Tempat angker kuburan tua ddi desa lama, dan lokasi terjadinya kecelakaan kerja pengerjaan projek besar tersebut,  kemudian menjadi bumbu tersendiri. “Bagaimana tidak terjadi korban,” kata Pak Tua, pemilik salah satu warung yang kami singgahi di lokasi Dermaga Jetty. 

Pipa besi penyalur air sungai yang beratnya berton-ton itu, menurut saksi mata yang banyak beredar di masyarakat, hanya disanggah dengan tali seadanya. Jadi banyak orang di sini percaya,  bahwa mereka yang 13 orang pekerja itu tewas sebagai korban yang seperti disengaja dijadikan semacam tumbal demi keselamatan pembangunan waduk besar ini selanjutnya,” katanya. Begitulah kemudian cerita mistik yang terkadang  “irrasional” tersebut berkembang dengan caranya sendiri di masyarakat. Mungkin cerita mistik ini sengaja dibuat sebagai  “bumbu  penyedap” bagi keberadaan suatu objek wisata, agar tampak lebih menarik dan membuat penasaran banyak orang yang mengunjungi.     

Di sini, pengunjung terbanyak justru mereka yang datang dari jauh di hari Selasa.  Mereka yang datang dari berbagai daerah seperti Bengkulu, Palembang, Jambi, Padang dan lain-lain itu, biasanya menyeberang Danau Batu Tegi ini dengan perahu untuk mencari berkah air mancur yang terdapat di salah satu pulau di tengah Danau,” kata  Pak Tua ini lebih lanjut  

Cukup lama kami berteduh dari hujan yang deras, sambil menikmati jualan makanan ringan keripik singkong pedas khas Lampung di warungnya. Akhirnya, ketika hujan  mulai mereda, kami pun melanjutkan perjalanan ke lokasi bagian lain, yaitu PLTA Site Plant. Di sana, di ketinggian 690 meter di atas  jalan bendungan selebar 5 meter tersebut, mengasyikkan. Karena membuat mata pengunjung dapat memandang luas jauh ke tengah danau dan ekearah bukit/gunung yang mengelilingnya. Dari atas lokasi ini, tampak gunung-gunung dan bukit di sekitar yang seperti mau mendekat.

Di sudut danau jauh ke bawah, tampak beberapa petugas berjaket kuning yang sedang berendam membersihkan enceng gondok. Mereka kemudian menyapa dengan ramah,  “Helo Bapak, terima kasih sudah mengabadikan,” katanya, dengan suara yang sayup-sayup terdengar di kejauhan ketika saya membuat beberapa photo aktivitas mereka. Di kejauhan itu juga tampak perahu yang mereka gunakan ditambat. Bagi saya yang  penggemar photography, komposisi ini terlihat menarik. Di tengah cahaya yang mulai senja, dari di kejauhan tampak air  danau, lalu latar belakang gunung. Dan para pekerja yang berendam i “komposisi” alam yang indah.   

(salahs atu sudut pemandangan indah Danau waduk Batu TEGI / Photo: tribun-lampung.com)
(salahs atu sudut pemandangan indah Danau waduk Batu TEGI / Photo: tribun-lampung.com)
Setelah puas menikmati danau buatan ini di tengah udaranya yang  semakin terasa dingin. Lalu, kami keluar menuju pintu gerbang dan beristirahat duduk-duduk “nangkring”  menikmati kopi Robusta Lampung, sambil ngobrol di beberapa warung yang terdapat di dekat tempat parkir tersebut. “Di sini ada juga orang Bule dari Australia. Mereka sedang membuat perkebunan Lada di kaki bukit itu, ” kata ibu muda yang orang asli Lampung, pemilik warung Pop Mie sambil menunjuk ke arah bukit. “Suami saya salah seorang pegawai yang bekerja di sini,” katanya lebih lanjut memperkenalkan diri.

Tiba-tiba hujan deras kembali turun. Ketika hujan deras seperti ini, suasana  Danau Batu Tegi yang sepi di sore hari tersebut menjadi mencekam. Terbayang cerita tentang buaya-buaya sungai yang masuk dari sungai, dan berdiam di Danau. Terkadang tampak oleh pengunjung kepala mereka yang mendongkak ke atas air. “Kadang tampak buaya putih juga,” ujar wanita pemilik warung tersebut menambahkan. Volume air waduk kemudian terlihat semakin bertambah tinggi hingga bisa sampai satu juta meter kubik air. Dua air sungai (way), yaitu “Way Sekampung” dan “Way Seputih” juga dengan setia terus mengairi waduk besar ini, meskipun turun hujan deras seperti ini. Potensi air waduk yang luar biasa ini sebenarnya menyimpan banyak manfaat, taapi sekaligus resiko jika tidak dikelola dengan  baik.  

Danau Batu Tegi saat ini telah berfungsi sebagai objek wisata, sumber suplai air minum (PDAM) buat masyarakat di kota-kota besar di Propinsi Lampung. Dan berfungsi pula sebagai sumber air yang mengairi sawah masyarakat setempat dengan membuat saluran irigasi yang melewati 5 Kabupaten sekitar. Dan, akhir-akhir ini juga Batu TEGI telah berkembang menjadi tempat konservasi hewan yang hampir punah di Sumatra, seperti Kukang dan lain-lain yang habitatnya sesuai.   

Konservasi KUKANG Sumatra

Awalnya karena beberapa orang asing yang pernah mengunjungi tempat ini, kemudian tertarik menjadikan salah satu pulau di tengah Danau Batu Tegi ini sebagai tempat konservasi. Alam dan cuacanya cocok untuk tujuan kegiatan perkembangan biak hewan seperyi Kukang. Maka berkoordinasi dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH),   maka Batu Tegi pun saat ini juga sebagai tempat sarana konservasi melestarikan Kukang Sumatra yang hampir mengalami kepunahan. Sejak tahun 2016, Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Primata “Yayasan Inisiasi Alam Rehabitilitasi Indonesia (YIARI) ini telah berhasil melepaskan cukup banyak Kukang Sumatra (Nycticebus Coucang)  ke  hutan bebas habitatnya.   

Kukang atau biasa disebut Sang Hewan Pemalu ini, merupakan jenis primata yang mempunyai kebiasaan unik. Satwa imut yang ukuran tubuhnya hanya sekitar 20-30 cm, akan tidur lelap mulai pagi hingga petang. Tapi ketika malam tiba, ia bangun dan beraksi mencari makan atau bermain. Karena sifatnya yang pemalu  maka hewan ini sering dipelihara orang di kota-kota besar.  Beberapa tahun yang lalu, saya melihat Kukang diperjualbelikan secara bebas di pelataran area masuk ke Mall BIP yang terletak Jalan Merdeka, Bandung tersebut. Sungguh kemudian menjadi KONTRAS dengan tempat konservasi di Batu tegi ini!! 

Di sini, di Batu TEGI,  hewan ini dipelihara dengan sangat hati-hati agar dapat  dilestarikan dan dilepaskan ke habitatnya untuk mencegah kepunahan. Sementara di kota-kota besar seperti Bandung dan Jakarta, hewan pemalu ini malah dijadikan komoditas bisnis yang dicari-cari para pemburu sampai ke Pulau Sumatra.

Wah, tampaknya akan semakin banyak saja nih cerita dari Danau Bendungan Batu TEGI. Tapi, kita harus mengakhirinya sampai di sini.

(My wife in action.... Di lokasi Dermaga Jetty di tengah hujan gerimis. Pengunjung yang mau menyeberang menuju pulau di tengah harus melewati enceng gondok yang tampak tumbuh subur di sini / Photo by: Rendra Tris Surya)
(My wife in action.... Di lokasi Dermaga Jetty di tengah hujan gerimis. Pengunjung yang mau menyeberang menuju pulau di tengah harus melewati enceng gondok yang tampak tumbuh subur di sini / Photo by: Rendra Tris Surya)
***

Menjelang senja, mobil kami kemudian meninggalkan lokasi objek wisata yang menarik ini. Di dalam mobil saya melamun di keheningan. Memang betapa strategisnya kehadiran Bandungan Batu TEGI ini. Dan yang kemudian selalu mengusik adalah, di sana-sini enceng gondok dan kiambang seperti setengah hati diegah, dan seolah-olah dibiarkan berkembang mengotori Danau. Pantaskah objek wisata yang menarik ini, kemudian dikelola dengan cara seadanya seperti sekarang?  “Quo Vadis, Bendungan Danau Batu TEGI...! “

Semoga, beberapa tahun mendatang, ketika saya datang kembali sebagai pengunjung dan “Citizen Journalist”,  semuanya sudah semakin lebih baik....

=================================================================================================================================================

(Ditulis oleh:  Rendra Tris Surya, dari Pekon Muaradua, Kecamatan Pulau Panggung, 31 Maret 2017. Di malam di  selingi listrik yang sering “byar pret” hampir  setiap hari. Dari  sejak belum ada Waduk Batu Tegi 30 tahun lalu, hingga hari ini..)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun