Gunung Tanggamus yang menjadi latar belakang, menjulang tinggi dikejauhan, bercumbu dengan awan-awan putih yang membuat lokasi ini terlihat eksotik.. Bendungan yang terletak di Pekon (Desa) “Batu Tegi”, di kawasan pegunungan Kecamatan Airnaningan ini, berjarak sekitar 10 kilometer dari rumah mertua saya, rumah Bapak Saimi (82 tahun) di desa Muaradua. “Batu TEGI itu, ya dari dulu begitu-begitu saja,” katanya, yang mungkin sebagai penduduk lokal sudah bosan mengunjunginya.
Dalam hal ini, saya jadi bertanya-tanya: apa yang terjadi dengan listrik di sini? Apakah listrik super besar yang dihasilkan oleh Bendungan Batu Tegi tidak bisa menyelesaikan masalah “byar pret” ini? Atau, barangkali listrik dari waduk PLTA Batu Tegi memang dibangun bukan ditujukan untuk masyarakat sekitar. Kabarnya, energi lisrtiknya ini lebih banyak dikirim untuk konsumsi masyarakat kota besar di Propinsi Lampung yang jauh (yang lebih mampu membayar mahal), seperti di kota Bandar Lampung dan Tanjung karang, yang berjarak sekitar 85 kilometer tersebut. Kalau isu ini benar, tidak aneh memang, kalau masyarakat sekitar akhirnya seperti kekurangan garam di lautan. Atau bahkan, bagai tikus yang mati di lumbung padi.. Wah, bagaimana nih PLN?
Di sudut lain, tampak beberapa petugas Waduk Batu Tegi yang sedang bekerja keras dengan berendam sedang membersihkan enceng gondok dan kiambang di permukaan Danau. Mozaik yang menambah “eksotisme” danau buatan ini di sore hari yang sepi tersebut. Danau ini pembuatannya merupakan kolaborasi konsultan/insinyur dari dalam dan luar negeri. Ada “PRC Engineering” dari Amerika dan “Sinotech” dari Taiwan yang terlibat, dengan dukungan dana dari APBN serta pinjaman (loans) dari “Japan Bank for International Cooperation (JBIC)”.
Keberadaan projek besar asing ini juga memberi manfaat lain buat masyarakat saat sedang dibangun. Banyak anak muda desa di kawasan ini yang kemudian melamar bekerja dan diserap di sini. “Bekerja di Projek Batu Tegi harus mengikuti sistem kerja yang ketat dan profesional, layaknya perusahaan asing. Kita harus serius dan tidak bisa santai. Displin waktu menjadi penting dan dihitung sebagai bagian dari penilaian,” kata salah seorang pemuda Desa, yang mantan pekerja di Projek ini. Awalnnya dia sempat mengalami “geger budaya” juga ketika bergabung bekerja di projek ini. “Banyak target-target kerja harian yang harus dicapai,” katanya. Sebenanrnya dia tanpa didasari telah diajarkan bagaimana menjadi pekerja profesional. Mudah-mudahan saja, “alumni” Projek Batu Tegi ini bisa menularkan etos kerja keras yang displin tersebut ketika membangun desanya masing-masing.
Kisah Mistik Di Seputar Batu Tegi
Sebagaimana waduk-waduk besar, maka kawasan Danau Waduk Batu TEGI ini mulanya merupakan pemukiman dari beberapa Desa yang dihuni ratusan penduduk. Setelah urusan pembebasan tanah selesai, maka pemukiman ini perlahan-lahan direndam air dan dialihkan menjadi waduk seperti sekarang. Maka berbagai cerita mistik pun kemudian bermunculan di masyarakat sekitar. Tempat angker kuburan tua ddi desa lama, dan lokasi terjadinya kecelakaan kerja pengerjaan projek besar tersebut, kemudian menjadi bumbu tersendiri. “Bagaimana tidak terjadi korban,” kata Pak Tua, pemilik salah satu warung yang kami singgahi di lokasi Dermaga Jetty.
“Pipa besi penyalur air sungai yang beratnya berton-ton itu, menurut saksi mata yang banyak beredar di masyarakat, hanya disanggah dengan tali seadanya. Jadi banyak orang di sini percaya, bahwa mereka yang 13 orang pekerja itu tewas sebagai korban yang seperti disengaja dijadikan semacam tumbal demi keselamatan pembangunan waduk besar ini selanjutnya,” katanya. Begitulah kemudian cerita mistik yang terkadang “irrasional” tersebut berkembang dengan caranya sendiri di masyarakat. Mungkin cerita mistik ini sengaja dibuat sebagai “bumbu penyedap” bagi keberadaan suatu objek wisata, agar tampak lebih menarik dan membuat penasaran banyak orang yang mengunjungi.
“Di sini, pengunjung terbanyak justru mereka yang datang dari jauh di hari Selasa. Mereka yang datang dari berbagai daerah seperti Bengkulu, Palembang, Jambi, Padang dan lain-lain itu, biasanya menyeberang Danau Batu Tegi ini dengan perahu untuk mencari berkah air mancur yang terdapat di salah satu pulau di tengah Danau,” kata Pak Tua ini lebih lanjut
Cukup lama kami berteduh dari hujan yang deras, sambil menikmati jualan makanan ringan keripik singkong pedas khas Lampung di warungnya. Akhirnya, ketika hujan mulai mereda, kami pun melanjutkan perjalanan ke lokasi bagian lain, yaitu PLTA Site Plant. Di sana, di ketinggian 690 meter di atas jalan bendungan selebar 5 meter tersebut, mengasyikkan. Karena membuat mata pengunjung dapat memandang luas jauh ke tengah danau dan ekearah bukit/gunung yang mengelilingnya. Dari atas lokasi ini, tampak gunung-gunung dan bukit di sekitar yang seperti mau mendekat.