[caption caption="(Keterangan photo: Penulis akhirnya mencoba merasakan bagaimana membawa Becak Aceh yang unik ini, berkeliling Pantai Ujong Kalak dan Tugu Teuku Umar, di bawah gerahnya udara Meulaboh / Photo: dok pribadi)"]
Udara pantai ini pun akhirnya mulai berkurang panasnya menjelang sore. Lalu saya iseng mencoba becak motor Aceh yang mengantarkan saya ini, berkeliling pantai Ujong Kala dan mengelilingi Tugu Teuku Umar. Wah, ternyata asyik juga mengendarai Becak Aceh ini! Mirip seperti membawa motor Suprafit. Hanya bedanya, terasa lebih berat dengan adanya badan becak yang harus dibawa di samping kiri, terutama jika hendak berbelok ke arah kiri. Pak Ilyas, si tukang becak tertawa-tawa lucu melihat saya bergaya sambil ‘termehek-mehek” membawa becak kesayangannya itu. Terpikir oleh saya, “Alangkah melelahkannya pekerjaan Pak Ilyas ini. Dia setiap hari membawa becak ini dengan jarak tempuh yang panjang menjalankan profesinya sebagai tukang becak degan tekun. Demi menghidupi anak isterinya di rumah”.
Akhirnya, ketika hari menjelang magrib, kami pulang. Di tengah jalan, saya ajak tukang becak tersebut mampir ke salah satu warung menikmati kopi tarik khas Aceh. “Pak, ayo ikut saya ke dalam. Kita ngopi-ngopi dulu..” kata saya ke Pak Ilyas si Tukang Becak. . Dia menampik “Tidak usah..saya menunggu di luar saja,” katanya enggan sambil terheran-heran. Rupanya tradisi di sana, tidak sopan kalau ada penumpang becaknya yang mengajak minum kopi, lalu duduk satu meja bareng.
“Sudah, ikut saja ke dalam,” kata saya dengan menariknya masuk. Di dalam saya ngobrol kesana-kemari dengannya, sambil bertanya-tanya tentang Meulaboh sepanjang yang dia pahami.
Tiba-tiba, di dinding warung kopi itu tampak lukisan menarik dari Teuku Umar yang sudah lama sekali tidak saya lihat. Di bawah photo itu tertulis angka 1854-1899. Angka ini menujukkan kelahirannya dan tahun meninggalnya Sang Johan Pahlawan ini. Tapi yang menarik buat saya, adalah tulisan yang berbunyi begini:
Beungoh singoh geutanyoe jep kupi di keude Meulaboh. Atawa ulon akan syahid.....
(Maknya kurang lebih sebagai berkut: Besok pagi setelah waktu penyerangan, kita akan merayakannya dengan minum kopi di Meulaboh. Tapi kalau saya menang melawan Belanda si penjajah itu. Atau, saya yang akan gugur di sini sebagai mati syahid....). Inilah kalimat terakhir sang Pahlawan yang selalu di kenang masyarakat Aceh hingga saat ini. Seolah-olah menjadi semacam mantra yang selalu memberi semangat (spirit) dalam setiap perjuangan apa pun yang dilakukan oleh umumnya orang Aceh. Mengambil resiko, tampaknya bukan hal yanga aneh bagi masyarakat Meulaboh. Karena Teuku Umar, Sang Johan Pahlawan "telah mengajarkan", bahwa bagi seorang pemiimpin, meretas batas antara hidup dan mati itu, hanyalah soal waktu ... Bukankah setiap perjuangan selalu ada pengorbanan? Dan Teuku Umar sepertinya telah "membaca" akhir dari perjalanannya tersebut yang dianggapnya tidak sia-sia...
[caption caption="(Keterangan photo: Wajah berwibawa Sang Johan Pahlawan: Teuku Umar, dengan Kopiah Meukotop-nya ini, yang sering disebut dengan Topi Teuku Umar, telah menjadi warisan budaya tersendiri yang menghiasi setiap Pakaian Adat Pria Aceh hingga saat ini. Wajah senyum wibawa yang sering saya lihat ketika kecil, terpampang dengan bangga di hampir semua ruang kelas anak-anak sekolah di Aceh)"]
Ya, saya pun akhirnya, besok juga akan melanjutkan perjalaan mengikuti rombongan Iskandar AB ke Banda Aceh (sebelum kembali ke Jakarta). Jadi, jika Teuku Umar menandai kemenangan perjuangannya dengan merayakannya dengan menikmati kopi. Maka saya pun, akan menandai akhir dari perjalanan saya ke kota kenangan masa remaja ini: Meulaboh, dengan menjerumput kopi.... "Kupi" Tarik Aceh yang tak kalah nikmatnya itu...!
==============================