Kami kemudian menginap di Hotel TIARA, yang berlokasi di Jalan Teuku Umar yang merupakan satu dari dua hotel terbaik yang ada. Ketika memasuki hotel melati 3, yang bertarif antara Rp 250.00 sampai Rp 450.00 itu, mengingatkan saya sewaktu menjadi anggota Pramuka Penggalang. Hotel ini dulu tahun 1977 merupakan Kantor Kwarda Pramuka Kabupaten Aceh Barat. Jadi, di sini lah, lebih dari satu bulan kami hampir tiap sore hingga malam, latihan pramuka di halamannya yang luas. Meskipun kini, bekas-bekas pohon rindang dan rumput ilalang yang sangat cocok untuk latihan berkemah itu, sudah tak terlihat lagi.
Â
***
Setelah beristirahat seharian, keesokannya saya jalan-jalan di sekitar hotel melihat-lihat situasi sambil bernostalgia. Saya kemudian menuju ke satu-satunya toko souvenir yang menjual pernik khas Aceh di Meulaboh, yang berlokasi persis di depan hotel. Lalu, tampak sebuah becak khas Aceh, yaitu motor Suprapit yang dimodifikasi dan digabung dengan gerbang becak di sampingnya itu, parkir di depan hotel. Inilah Becak Aceh, sebagaimana sering kita temui tampak mondar-mandir di semua daerah di Propinsi Aceh. Setelah tawar menawar harga, akhirnya disepakati mengantar saya berkeliling kota Meulaboh bernostalgia.
“ Tapi jangan lupa, perjalanan terakhir kita nanti mampir ke Pantai Ujong Kala. Saya mau melihat Tugu Teuku Umar, “ kata saya mengingatan Pak Ilyas, si tukang becak yang lugu dan baik hati tersebut.
   Setelah puas berkeliling kota yang sebenarnya termasuk kategori kota kecil ini. Menjelang sore, kami akhirnya sampai ke lokasi salah satu objek wisata di sini, yaitu Pantai Ujong Kala. Lokasi Kota Meulaboh yang langsung berhadapan dengan Samudera Hindia, membuat pantai ini enak dipandang. Angin sepoi yang semakin kencang berhembus, membuat orang betah berlama-lama di sini. Pasir putih alaminya mengingatkan saya pantai-pantai di BALI. Hanya di sini tidak terlihat hiruk pikuk banyak turis asing. Pantai Ujong Kalak seperti "bernyanyi sendiri" bersama suara deburan ombaknya dan angin sepoi laut yang menderu dengan kencang dari laut bebas Samudera Hindia yang menjadi improvisasinya.
Saya kemudian berjalan menuju ke Tugu Teuku Umar yang berada di sekitar kawasan itu. Di sana saya berdiri tertegun cukup lama!
Di sinilah tanggal 11 Februari 1899, Pahlawan Nasional dari Aceh ini, tersungkur sambil memegang dadanya yang terkoyak peluru emas Belanda, yang telah mengintainya sejak lama. Umar tewas karena disiasati oleh warga lokal yang menjadi pengkhianat. Posisi tempat tewasnya Teuku Umar inilah tempat Tugu ini berdiri. Tugu ini sebenarnya sudah bergeser ke arah pinggir pantai, karena lokasi yang sebenarnya ditenggelamkan oleh kedahsyatan Tsunami Aceh tahun 2004 lalu ke dalam laut.
Saya lalu membayangkan masa-masa kecil Teuku Umar. Menurut sejarah Aceh, Teuku Umar termasuk anak yang aktif dan "bandel" (yang selalu bertindak 'out of the box' di masanya). Dia seringkali tidak mau tunduk kepada kemauan siapapun. Ia suka berkelahi mempertahankan pendiriannya dan sering berkelana ke hutan dengan membawa kelewang, yang panjangnya hampir setinggi badan kecilnya itu. Namun kecerdasan, kepercayaan diri dan keberaniannya ini, yang menyebabkan Umar selalu menjadi pemimpin di lingkungannya.
Hingga pemerintah Belanda pun tertarik untuk melatihnya berperang, dan mengangkatnya menjadi Penglima Besar Gubernemen untuk wilayah Meulaboh dan sekitarnya saat itu. Namun, jabatannnya ini hanya sebentar dia nikmati, karena kemudian dipecat! Umar diberhentikan, karena dengan berani, nekat dan cerdik mengambil kesempatan membawa 800 pucuk senjata Belanda serta ribuan pelurunya untuk dibagikan ke para pejuang Aceh yang sedang "sekarat" melawan Belanda saat itu.