Mohon tunggu...
Rendra Trisyanto Surya
Rendra Trisyanto Surya Mohon Tunggu... Dosen - I am a Lecturer, IT Auditor and Trainer

(I am a Lecturer of IT Governance and IT Management. And IT AUDITOR and Trainer in CISA, CISM, CGEIT, CRISC, COBIT, ITIL-F, PMP, IT Help Desk, Project Management, Digital Forensic, E-commerce, Digita Marketing, CBAP, and also Applied Researcher) My other activity is a "Citizen Journalist" who likes to write any interest in my around with DIARY approached style. Several items that I was writing in here using different methods for my experimental, such as "freestyle", "feeling on my certain expression," "poetry," "short stories," "prose," "travel writing," and also some about popular science related to my field. I use this weblog (Kompasiana) as my experiment laboratory in writing exercise, Personal Branding and my Personal Diary... So, hopefully..these articles will give you beneficial or inspiration and motivation for other people like my readers...! ... Rendratris2013@Gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Kontras Cihampelas Bandung: Ciwalk "Mewah" dan Kawasan "Kumuh" Mahasiswa PLESIRAN

23 Oktober 2015   17:02 Diperbarui: 25 Oktober 2015   09:17 1413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="(Penulis, dari lobi restoran Hotel Sensa di Ciwalk Bandung. Menatap jauh ke horison cakrawala di kaki langit Jembatan PASOPATI. Menerawang menuju ke masa lalu di kawasan mahasiswa PLESIRAN dan Kebon Bibit di sekitar jembatan megah tersebut / Photo: dok pribadi)"][/caption]

 

       Siapa yang tak mengenal Cihampelas di kota Bandung? Belum ke Bandung nih, kalau belum menyusuri kawasan wisata fashion ini. Begitu kira-kira kata banyak orang. Meski tidak sering: beberapa kali saya mengunjungi salah satu objek wisata terkenal di sini seperti CIWALK (Cihampelas Walk). Mengantar putri sulung remaja saya: Dhinda Ayu Amelia, yang membeli sesuatu di mall tersebut. Kami lalu ikut-ikutan nongkrong di berbagai cafee di sana, sambil menikmati suasana malam Bandung,  minum khas Taiwan Es Kacang Merah Chamta (Chamta Red Beans) kesayangan kami. Tapi, baru minggu lalu itulah saya benar-benar mengamati secara detail dan agak lama kawasan ini.  Itu pun karena menjadi trainer (pengajar) “Computer Forensic” buat karyawan dan staf suatu perusahaan perminyakan, yang menginap di Hotel Sensa di sana. 

 

Hotel Sensa Unik?

        Dari puluhan hotel berbagai bintang yang pernah saya kunjungi, Hotel Sensa yang berbintang 4 ini memang agak berbeda.  Selain berlokasi di mall Ciwalk, Hotel Sensa juga memiliki desain arsitektur yang unik. Hotel milik keluarga Lisa Subali ini, terdiri dari 124 kamar yang tarifnya mulai Rp 650.000 hingga Rp 3 juta rupiah per malam itu, didesain dengan garis-garis lengkung dan bulat lonjong, dan tidak memiliki sudut sebagaimana umumnnya suatu gedung. Sang arsitek, tampaknya ingin menyesuaikan keberadaan hotel ini dengan lingkungan sekitar, yaitu Mall Ciwalk yang sudah terlebih dahulu ada, yang didominasi  oleh garis lengkung dan bulat. Namun, di beberapa sudut terdapat pula pernik khas tradisional SUNDA yang memberi aksentuasi bahwa pemiliknya adalah orang Sunda. Lagu instrumen musik tradisional Sunda pun sayup-sayup terdengar di lobi dan koridor menuju ke setiap kamar. Tapi yang membuat lebih unik dari semua pernik-pernik ini adalah, view hotel yang menghadap ke kawasan kumuh kost-kostan mahasiswa terkenal di kota Bandung, yaitu Plesiran.

[caption caption="(Keterangan photo: Hotel-hotel di kawasan Cihampelas Bandung, memiliki view yang terbilang unik:  pemandangan kontras. Yaitu Jembatan Pasopati yang megah di satu sisi, kehidupan hotel berbintangyang mewah, dan kawasan perumahan kumuh di sisi lain. Yang di tengahnya mengalir  sungai Cikapundung seakan-akan membelah strata sosial tersebut dengan damai. Perumahan kumuh tersebut didominasi oleh kost-kostan mahasiswa yang datang dari hampir seluruh daerah di Indonesia kuliah menuntut ilmu di berbagai kampus di sekitar Taman Sari dan Cihampelas ini. / Text by: Rendra Tris dan photo by: Skyscrapercity.com)"]

[/caption]

 

         Hari Jumat itu, tampak berbagai wisatawan lokal dan dari berbagai negara seperti Singapura, Malaysia dan Arab mondar-mandir menginap di Hotel Sensa. Saya pun berpapasan dengan seorang anak muda berkulit sawo matang, yang tadinya saya kira peserta training. Ternyata dia seorang wisatawan Bakcpacker dari Singapura. “Kok, berlibur di hari kerja..?” tanya saya iseng sambil berjalan. Dia menyambut dengan ramah. “Kami dibayar kantor pak. Berlibur sebagai bonus pekerjaan. Ya, ada juga rapat dikit..” katanya sambil senyum ramah dengan menggunakan bahasa Inggris Singaporean-nya yang kental. “Anda..?” tanyanya balik. “I am an instructor for Computer Forensic Training on the second floor,” jawab saya sekenanya sambil  berlalu. “Oh..you are a Digital Investigator, aren’t you..?” tanyanya  kembali, sepertinya dia mengerti profesi ini dan  ingin tahu lebih lanjut.
***

Ya, begitulah!

       Akhir-akhir ini memang kota metropolitan ketiga terbesar di Indonesia ini, yaitu Bandung, telah menjadi salah satu tujuan favorit wisatawan. Bukan saja bagi wisatawan keluarga atau pegawai perusahaan yang melakukan kegiatan meeting/seminar/workshop. Namun  juga oleh anak-anak muda dari luar negeri, khususnya kawasan negara ASEAN. “Sedikitnya ada 52 penerbangan dari Bandung dan menuju ke Bandung setiap hari dari berbagai penjuru saat ini,” kata Lisa Subali pemilik hotel. Bahkan rute Kuala Lumpur/Johor (Malaysia) yang ke Bandung, sekarang ini sudah hampir setiap hari.

Tampaknya, aktivitas kawasan Cihampelas yang tahun 2006 terlihat sempat lesu itu, kini terllihat lebih semarak. Bukan tidak mungkin, saat nanti Indonesia masuk ke era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), maka kawasan Cihampelas ini pun berubah menjadi “Legian from Bandung”. Penuh dengan berbagai pernik kegiatan hiruk-pikuk anak-anak muda dari berbagai etnik dan bangsa yang berkolaborasi di sini, baik secara positif maupun negatif. Kemudian semakin memacetkan jalan Cihampelas yang menjadi salah satu poros jalan utama di kota Bandung. Kota Bandung pun mungkin berubah status, dari kota pelajar mahasiswa  menjadi kota wisata internasional,  dengan segala “hiruk-pikuk” kehudpan dugemnya. Cihampelas, yang pada mulanya merupakan kawasan kost-kostan mahasiswa (golden slumps) itu pun, mungkin akan berubah menjadi “enclave” masyarakay urban kaum muda. Yang jika tidak hati-hati, mempengaruhi tradisi dan budaya masyarakat Sunda di kawasan ini,  menjadi bagain dari apa yang dinamakan “Western Tourism Culture” sebagaimana sering kali kita temukan dan rasakan di Legian, Bali. Dimana hampir semua hal kemudian di halalkan dan menjadi terlihat "tidak Indonesia" lagi juga tidak apa-apa. Lalu hukum lokal pun (demi devisa), seperti enggan mencampuri kegiatan dan aktivitas anak-anak muda di Legian sana. Apapun itu yaang dilalukan mereka!

[caption caption="(Keterangan Photo: Yang menarik dari mall Cihampelas Walk/CIWALK adalah konsep ruang terbuka yang membelah mall oleh hiasan lampu-lampu malam bernuansa romantis. Membuat para pasangan melewati merasa betah berlama-lama  sambil duduk dan berjalan-jalan menikmati kuliner serta hawa dingin Bandung yang masih terasa sejuk menyelimuti  di waktu malam... / Text by: Rendra Tris dan photo: Klikhotel.com)"]

[/caption]

 

***
Hari pertama saya mengajar training di ruang Frankrut di Hotel Sensa ini, terasa seperti berjalan begitu cepat. Ketika waktu menunjukkan pukul 12:00, saya dan para peserta kemudian “Lunch Break” menuju ke restoran hotel yang berada di lantai 3. Restoran ini terletak di pinggir kolam renang. Tampak dalam keramaian restoran tersebut berbagai peserta training dari berbagai perusahaan lain ternyata sudah terlebih dahulu berkumpul sibuk memilih makanan mewah yang disediakan. Mungkin hotel Sensa menjadi salah satu hotel favorit kegiatan meeting dan training yang diadakan di Bandung. “Karena lokasinya yang dekat ke mana-mana,” kata seorang peserta training. “Jadi, pulang training, sore hingga malam hari, kami masih bisa hangout nih di Ciwalk. Menimati dinginnya kota Bandung dengan menjerumput Starbuck, tanpa harus capek-capek ke mana-mana,” jelasnya saat ngobrol.

Di kolam renang, tampak beberapa anak muda bule sedang asyik berenang dengan santai dan cuek. Tak peduli, puluhan mata memandangnya berenang berbikini. Entah mengapa, selalu restoran dan kolam berenang dirancang sedemikian rupa agar selalu berada dalam lokasi berdekatan. Mungkin, agar dapat menambah selera makan pengunjung, kali ya? (hehe2..).

Saya kemudian mengambil makanan khas hotel ini, dan memilih duduk di luar ruang restoran di sisi samping kiri gedung menghadap ke arah Jembatan Pasopati. Jembatan ini terlihat cantik dari kejauhan. Dulu katanya dibangun dengan dana ratusan milyar rupiah hadiah dari salah satu negara Arab untuk masyarakat muslim kota Bandung. Meskipun jembatan ini hampir setiap hari saya lewati dari rumah menuju ke tempat kerja. Namun, belum pernah saya memandangnya dalam waktu cukup lama dari kejauhan begini, dan di ketinggian seperti ini.

Ada nuansa lain yang kemudian saya rasakan....

Memandangnya dari kejauhan, seakan-akan melupakan kemacetan yang sebenarnya tak henti-hentinya terjadi di jalan yang menuju ke arah Dago tersebut. Sekali-kali, tampak pesawat yang hendak mendarat ke Bandara Husein, Bandung, seperti hendak  menyentuh ujung tiang tinggi jembatan tersebut. Tiba-tiba, mata saya tertuju ke pemandangan konstras sekeliling jembatan Pasopati  ini: sederetan atap-atap rumah kawasan kumuh padat penduduk, yang dikenal dengan nama PLESIRAN. Kawasan perumahan sederhana ini sangat saya kenal. Penduduknya menjalankan kehidupan demikian sederhana bersama dengan para mahasiswa yang tinggal di sana. Mereka kebanyakan mendiami tanah yang sebenarnya masih bersertifikat tanah hak milik Pemda Kota Bandung, sehingga sewaktu-waktu dapat saja di gusur. Mayoritas mata pencaharian penduduk di sini sejak puluhan tahun lalu, adalah menyediakan kamar kost-kostan murah buat mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia. Mungkin karena  berlokasi strategis dekat dengan kampus.

 

[caption caption="(Keterangan photo: Pada waktu-waktu tertentu, mall Ciwalk yang mewah ini pun bisa  berubah menjadi tempat ajang anak-anak muda dan mahasiswa Bandung dari berbagai kalangan berkumpul. Di antaranya, ketika akan  menonton konser mini grup musik favorit mereka. Atau acara gathering tertentu gaya anak Bandung/ Text By: Rendra Tris Surya dan photo: bandung.panduan.wisata.id)"]

[/caption]

 

 

Kawasan Kumuh Mahasiswa PLESIRAN

          Seiring dengan perkembangan munculnya kampus-kampus besar di sekitar Cihampelas, maka kawasan Plesiran ini kemudian terkenal dengan sebutan “Taman Sari Golden Slump”. Mencakup kawasan mulai dari Kebon Binatang, Plesiran, Kebon Bibit hingga ke Taman Sari Bawah. Meskipun daerah ini kumuh karena kepadatannya yang tinggi, dengan gang-gang kecil yang hanya bisa dilewati dengan berjalan kaki atau motor. Namun mayoritas penduduknya unik, yaitu mahasiswa dari kampus besar di Bandung seperti ITB, UNISBA dan UNPAS.

Ketika memandangi kawasan ini dari atas, yaitu  lantai 3 Hotel Sensa ini, pikiran saya kemudian menerawang ke belasan tahun silam. Tahun 1980, ketika sayamasih remaja baru saja lulus SMA, datang dari Aceh ke Bandung dan tinggal di kawasan ini. Saya menempatti salah satu sudut kecil sebuah rumah, tepatnya di gang Plesiran no 26 . Sebagaimana mahasiswa umumnya waktu itu. Tak jarang di tempat kost sempit ini kami hanya makan satu kali saja dalam sehari. Karena begitu sibuk waktu yang ada habis dengan belajar, mengerjakan tugas dan praktek di laboratorium. Jadi, sering kali tidak sempat sarapan. Tapi mungkin juga, karena kiriman wesel dari orangtua yang seringkali tidak cukup. Sekali-kali saja, jika sedang dapat job tambahan, misalnya menjadi asisten dosen, atau mendapat honor dari mengajar les matematika ke anak-anak SMP/SMA di sekitar kost-an. Barulah ada uang tambahan buat makan yang sedikit lebih enak. Biasanya dengan ceria, saya pun berbunga-buinga mendatangi kost pacar, membawa dia pergi sambil men-traktir makan ke warung-warung tenda di sekitar Jalan Taman Sari.  Kalau sudah begini, makan kerang rebus dengan sambel kacang pedasnya itu, terasa luar biasa nikmatinya.. (hehe2....)

[caption caption="(Keterangan photo: Aliran sungai Cikapundung tampak dari atas meliuk-liuk membelah melewati kawasan Kebon Binatang, PLESIRAN, Kebon Bibit hingga Taman Sari Bawah. Rumah-rumah kumuh ini, terutama bagi mahasiswa yang pernah tinggal dan kost di kawasan ini selama bertahun-tahun: pasti menyimpan banyak cerita!  Setiap pagi, biasanya terlihat ramai mahasiswa dan mahasiswi berbondong-bondong keluar dari gang-gang rumah sempit tersebut, menuju ke kampus masing-masing di sekitar Jalan TamanSari.  Pulangnya, seiring dengan dinginnya malam kota Bandung, sering tampak pula di tengah malam beberapa mahasiswa  menyusuri gang-gang sempit menyeberang sungai ini, mencari Mang tukang sate,nasi goreng atau mie rebus yang sudah terlanjur lewat. Buat mengisi  perut lapar di tengah malam di kesibukkan belajar mengerjakan tugas kuliah / Text by Rendra Tris dan photo: Anisavitri.wordpress.com)"]

[/caption]

 

Sungguh!

Tak pernah dibayangkan sebelumnya, bahwa hari ini saya duduk manis di Hotel mewah di sebelah kawasan ini. Makan di Hotel Sensa, sambil memandang ke kumuhan masa lalu saya dari ketinggian. Hotel ini pun sebenarnya dulu merupakan kawasan Golden Slump kost-kostan mahasiswa juga, yangkemudian dibeli diambil alih. Hingga kini, tampaknya suasana mahasiswa di sana masih tidak banyak berubah. Nongkrong di Ciwalk,  bagi kebanyakan mahasiswa yang kost di Plesiran tersebut, merupakan bayang-bayang. Ciwalk buat mereka, seringkali dibayangkan sebagai suatu yang tidak bisa sering-sering dilakukan karena tak terjangkau. Ciwalk menjadi semacam oase orang-orang kota, tempat rendevouz dan bersantai para anak-anak muda kaum borjuis, kata salah seorang mahasiswa baru ITB yang berasal dari salah satu pelosok desa di Pulau Jawa itu.

Dari pojok pinggir restoran Hotel Sensa, yang menghadap ke arah Selatan ke kawasan rumah padat kumuh ini, saya pun mencoba mencari-cari: di mana tempat kost saya dulu di Gang S Kandi II Kebon Bibit itu ? Sambil mengingat masa-masa sulit dulu, saat-saat dimana ayam yang dimasak oleh pembantu kami (bibi) di rumah kost itu sering harus dibagi menjadi potongan kecil. Saya juga mencari-cari (walaupun tentu saja tak terlihat). Mana kamar kost dulu yang berukuran 3x2,5 meter itu. Kamar ukuran kecil yang terpaksa diisi berdua dengan menggunakan  tempat tidur tingkat, untuk menghemat biaya. Lampu baca yang dijatah di kamar itu, hanya berkapasitas 40 watt. Yang akhirnya ikut pula menyumbang semakin tebalnya kacamata minus yang saya pergunakan, hingga hari ini.

Gang-gang kecil yang tampak samar-samar dari kejauhan tersebut, mengingatkan saya juga: bagaimana dulu motor GL Merah kesayangan yang sering mondar-mandir menyusuri gang-gang tersebut. Menjemput sang kekasih yang juga kost di kawasan ini. Dia, kalau sedang ditraktir makan di warung tenda di Jalan Tamansari, tampaknya senang bukan main. “Buat aku, yang lebih menyenangkan justru karena kamu datang menjemput,” begitu suatu kali sang pacar mencurahkan ekspresi kegembiraannya. Lalu saya memeluknya, sambil mengatakan “Kamu juga! Kehadiranmu membuat rasa bosan saya di kampus menjadi terobati.” Wah, bukan main! Suatu ekspresi dari sikap pasangan anak muda (waktu itu), yang polos dan begitu sederhana: berkencan hanya di warung nasi goreng atau kerang rebus. Spontanitas romantisme ala tempo dulu yang apa adanya, yang mungkin jarang bisa ditemui lagi dewasa ini. Hm, apa masih ada anak-anak muda sekarang yang mau berkencan di warung nasi goreng... ?

 

City Walk Mall (Ciwalk)

Hari kedua saya di Kawasan CIWALK menyusuri cafe-cafe yang ada: mulai sore hingga malam hari. Toko-toko yang menjual berbagai pernik dan kebutuhan anak muda kalangan menegah atas itu, tampak terlihat lebih mahal harganya bagi kantong kebanyakan mahasiswa, terutama mahasiswa yang kost di ujung seberang  kawasan kumuh Plesiran, Kebon Bibit dan Taman Sari Bawah tersebut. Tampak mobil-mobil keren parkir di Ciwalk, dengan wajah anak-anak muda borjuis yaang bersih berkilau dari keluarga berada.  “Lha iyalah pak! Makan dan minum disini aja minimal harus mengeluarkan Rp 100.000 per-orang,” kata seorang ABG yang diajak ngobrol. Tapi tergantung kitanya juga sih, lanjutnya dengan santai. “Kalau cuma sekedar cuci-cuci mata saja, Ciwalk ini ng mahal-mahal amat kok. Malah bisa gratis, hehe2...” katanya polos. 

Desain gedung mall CIWALK ini juga terbilang unik. Selain di dominasi bentuk lengkung dan bulat, di tengahnya terdapat jalan utama dengan konsep buat berjalan-jalan rendevouz sambil menikmati dinginnya malam di udara terbuka. Sekilas mirip dengan konsep mall walk di berbagai negara seperti Rundle Mall, Adelaide, Australia. Di kiri kanannya penuh dengan cafe dan restoran yang menyajikan berbagai menu Barat, Jepang dan Korea yang menjadi kesukaan kuliner umumnya anak-anak muda Indonesia akhir-akhir ini. “Kalau siang hingga sore hari, di depan CIWALK kadang digelar konser musik juga,” kata salah seorang satpam. 

 

Cihampelas Fashion Street

Keluar dari CIWALk saya bertemu dengan jalan raya Cihampelas yang padat, yang terkenal dengan berbagai toko fashion kebutuhan anak-anak muda. Dulunya diawali dengan beberapa toko yang menjual celana Jins. Tapi sekarang tampaknya telah berkembang memenuhi bebagai produk kebutuhan masyarakat muda kaum urban perkotaan. Bukankah, katanya Fakultas Seni Rupa ITB sebagai salah satu kiblat seni di Indonesia itu, yang juga pernah mempengaruhi ide corak desain fashion Cihampelas sehingga memiliki ciri khas yang diminati banyak anak muda Indonesia? Di jalan ini, ada juga outlet J-Co, Baso Malang Karapitan, Starbucks dan lain-lain yang melengkapi ke-hiruk-pikuk kawasan Cihampelas saat ini.

Sambil menikmati udara sejuk malam, saya melanjutkan melangkahkan kaki ke arah utara. Ketika sampai di persimpangan perpotongan  Jalan Plesiran dan Cihampelas, tampak salah satu tempat dunia dugem anak-anak Bandung yang terkenal, yaitu Studio East. Saya tertekun sejenak di depan gedung ini. Pada masa muda dulu, lebih dari 15 tahun saya mengajar di 14 Perguruan Tinggi di Bandung. Mulai dari kampus yang “abal-abalan” (karena kecil dan baru berdiri), hingga kampus berkelas internasional. Sekitar 15 tahun lalu itulah, salah satu kampus abal-abalan tersebut mengundang saya untuk menghadiri pesta perpisahan mahasiswa wisudawannya dengan membuat “Farewel Party”. Uniknya, acara itu diadakan di Studio East (tempat dugem) di depan saya ini. Rupanya, tempat ini memiliki dwi fungsi: sore hingga malam sampai jam 22:00 merupakan tempat resepsi biasa, yang bisa disewa siapa saja dan untuk acara apa saja. Namun mulai dari pukul 23:00 ke atas, suasana di gedung ini pun akan berubah total, yang  dengan cepat menjadi tempat dugem seperti dimana-mana itu. Pada awalnya saya kaget juga: kok resepsi acara formal diadakan di tempat seperti ini? Tapi, mungkin inilah  salah satu keunikkan kota Bandung...!

Jam 19:00 para undangan masuk ke dalam gedung Studio East untuk memulai acara formal. Semua tampak tertib dan rapi. Kursi-kursi tersusun rapi di ruang besar yang berada di tengah. Lalu di panggung, panitia membuka acara tersebut. Pimpinan Sekolah Tingi berpidato sebagaimana biasanya. Demikian juga perwakilan alumni yang mengenakkan kebaya itu, menyampaikan kesan-kesannya selama kuliah. Uniknya, dalam salah satu acara kampus ini, saya sempat pula diminta tampil di panggung bersama mahasiswa menyanyi lagu folk bersama vokal grup mereka. Saya masih ingat: memainkan gitar akustik membawakan lagu Leo Kristi (yg populer saat itu), yaitu “Gulagalugu Nelayan”. 

Demikian, satu persatu agenda acara berlangsung sebagaimana lazimnya hingga penutupan acara menjelang pukul 22:00. Setelah acara bubar karena jarum jam menunjukkan pukul 22:00. Maka mulai tampak masuk ke ruang ini berbagai tipe orang yang “tidak biasa” dan tidak saya kenal. Ada wanita yang mengunakan rok mini berbahan kulit dengan dandanan berani. Yang pria, berpakaian jins dan jaket kulit. Ruang aula besar Studio East perlahan-lahan berubah fungsi. Ratusan kursi yang terlihat rapi di ruang tengah tadi, dipindahkan dengan cepat entah kemana. Ruang tengah itu kemudian tampak kosong. Lampu mulai perlahan-lahan menjadi terlihat remang-remang. Lalu satu persatu pengunjung yang tak dikenal itu, mulai semakin ramai berdatangan ke ruang tengah. Turun melantai bersama terdengarnya musik hingar-bingar dari sound system yang kemudian diputar dengan keras. Semua yang turun ke lantai tengah itu: bergoyang, tripping dan berdisko. Seakan-akan dunia ini hanya  milik mereka. Dan pengunjung lain yang ada di situ dianggap hanya menumpang lewat saja.

Di beberapa sudut meja, tampak orang duduk berpasangan, atau berkelompok ngobrol sambil tertawa-tawa tidak jelas. Beberapa wanita menatap ke sana kemari seperti mencari-cari. Beberapa tampak merokok dengan asyiknya, sambil menuangkan minuman... Semua kemudian menjadi terlihat serba kontras dengan acara sebelumnya. Mungkin, dalam banyak hal ekspresi anak-anak muda Bandung ini memang juga serba Kontras..??

***

Malam pun semakin larut. Mata saya mulai  semakin berat. Saya kembali ke Ciwalk dan Hotel Sensa tempat mengajar tadi. Dari lantai 3, saya menatap kembali ke Jembatan Pasopati di malam hari itu. Tampak sinar lampu kerlap kerlip menghiasi kawasan kumuh mahasiswa kost-kostan Plesiran tersebut yang sudah tersamar oleh cahay rembulan.  Tampaknya, mahasiswa di kawasan Plesiran itu seperti tak peduli juga dengan hingar bingar di Cihampelas di waktu malam. Padahal, lokasi Cihampelas dan dunia dugem Studo East itu hanya beberapa ratus meter saja dari kamar belajar mereka. Mereka juga sedang asyik dengan dunianya sendiri. Dunia perkuliahan yang tampak begitu keras. Padat dengan tugas-tugas dan waktu untuk mempersiapkan laporan praktikum buat esok hari.

Ya, semua anak-anak muda Bandung itu memang sedang sibuk!

Mereka "mengukir" kehidupannya, namun  dengan caranya masing-masing. Ada yang sibuk "membuang" waktunya dengan ber-dugem ria di Studio East. Mencari kenikmatan sesaat sambil mengusir rasa jenuh dari kehidupan rutinnya. Ada juga yang sibuk, karena serius mengukir masa depan dengan belajar tekun di kamar kost yang pengab dan semoit itu. Mereka yang di kawasan kumuh Plesiran itu: seringlali menjalankan kesibukannya dengan sepi. Tanpa iringan musik hingar bingar ala diskotik sebagaimana di Studio East itu.

 

Namun sekali-kali, dari jendela kecil kamar kost mahasiswa itu, tampak juga asap rokok mengepul ke udara menghiasi malam Kawasan Plesiran. Dari jendela kost-an salah seorang mahasiswa itu, kemudian terdengar sayup-sayup musik aliran “Slow Rock Classic” dari grup legendaris “The YES”..... Salah satu grup favorit mahasiwa ITB, yang selalu menemani mereka belajar yang diputar bila sudah tidak bisa lagi berkonsentrasi penuh mengotak-atik dan menurunkan rumus-rumus Matematika dari dosen yang seringkali memusingkan. Mereka acap kali harus terjaga hingga larut malam...! Sambil memandangi photo sang kekasih yang membisu di atas  meja belajarnya. Sementara, besok dosen killer-nya sudah harus memeriksa laporannya........

 

====================

(Hotel Sensa, Bandung, 08-09 Oktober 2015. Penulis: Rendra Tris Surya / Dosen dan Trainer, yang mantan mahasiswa Bandung)

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun