City Walk Mall (Ciwalk)
Hari kedua saya di Kawasan CIWALK menyusuri cafe-cafe yang ada: mulai sore hingga malam hari. Toko-toko yang menjual berbagai pernik dan kebutuhan anak muda kalangan menegah atas itu, tampak terlihat lebih mahal harganya bagi kantong kebanyakan mahasiswa, terutama mahasiswa yang kost di ujung seberang kawasan kumuh Plesiran, Kebon Bibit dan Taman Sari Bawah tersebut. Tampak mobil-mobil keren parkir di Ciwalk, dengan wajah anak-anak muda borjuis yaang bersih berkilau dari keluarga berada. “Lha iyalah pak! Makan dan minum disini aja minimal harus mengeluarkan Rp 100.000 per-orang,” kata seorang ABG yang diajak ngobrol. Tapi tergantung kitanya juga sih, lanjutnya dengan santai. “Kalau cuma sekedar cuci-cuci mata saja, Ciwalk ini ng mahal-mahal amat kok. Malah bisa gratis, hehe2...” katanya polos.
Desain gedung mall CIWALK ini juga terbilang unik. Selain di dominasi bentuk lengkung dan bulat, di tengahnya terdapat jalan utama dengan konsep buat berjalan-jalan rendevouz sambil menikmati dinginnya malam di udara terbuka. Sekilas mirip dengan konsep mall walk di berbagai negara seperti Rundle Mall, Adelaide, Australia. Di kiri kanannya penuh dengan cafe dan restoran yang menyajikan berbagai menu Barat, Jepang dan Korea yang menjadi kesukaan kuliner umumnya anak-anak muda Indonesia akhir-akhir ini. “Kalau siang hingga sore hari, di depan CIWALK kadang digelar konser musik juga,” kata salah seorang satpam.
Cihampelas Fashion Street
Keluar dari CIWALk saya bertemu dengan jalan raya Cihampelas yang padat, yang terkenal dengan berbagai toko fashion kebutuhan anak-anak muda. Dulunya diawali dengan beberapa toko yang menjual celana Jins. Tapi sekarang tampaknya telah berkembang memenuhi bebagai produk kebutuhan masyarakat muda kaum urban perkotaan. Bukankah, katanya Fakultas Seni Rupa ITB sebagai salah satu kiblat seni di Indonesia itu, yang juga pernah mempengaruhi ide corak desain fashion Cihampelas sehingga memiliki ciri khas yang diminati banyak anak muda Indonesia? Di jalan ini, ada juga outlet J-Co, Baso Malang Karapitan, Starbucks dan lain-lain yang melengkapi ke-hiruk-pikuk kawasan Cihampelas saat ini.
Sambil menikmati udara sejuk malam, saya melanjutkan melangkahkan kaki ke arah utara. Ketika sampai di persimpangan perpotongan Jalan Plesiran dan Cihampelas, tampak salah satu tempat dunia dugem anak-anak Bandung yang terkenal, yaitu Studio East. Saya tertekun sejenak di depan gedung ini. Pada masa muda dulu, lebih dari 15 tahun saya mengajar di 14 Perguruan Tinggi di Bandung. Mulai dari kampus yang “abal-abalan” (karena kecil dan baru berdiri), hingga kampus berkelas internasional. Sekitar 15 tahun lalu itulah, salah satu kampus abal-abalan tersebut mengundang saya untuk menghadiri pesta perpisahan mahasiswa wisudawannya dengan membuat “Farewel Party”. Uniknya, acara itu diadakan di Studio East (tempat dugem) di depan saya ini. Rupanya, tempat ini memiliki dwi fungsi: sore hingga malam sampai jam 22:00 merupakan tempat resepsi biasa, yang bisa disewa siapa saja dan untuk acara apa saja. Namun mulai dari pukul 23:00 ke atas, suasana di gedung ini pun akan berubah total, yang dengan cepat menjadi tempat dugem seperti dimana-mana itu. Pada awalnya saya kaget juga: kok resepsi acara formal diadakan di tempat seperti ini? Tapi, mungkin inilah salah satu keunikkan kota Bandung...!
Jam 19:00 para undangan masuk ke dalam gedung Studio East untuk memulai acara formal. Semua tampak tertib dan rapi. Kursi-kursi tersusun rapi di ruang besar yang berada di tengah. Lalu di panggung, panitia membuka acara tersebut. Pimpinan Sekolah Tingi berpidato sebagaimana biasanya. Demikian juga perwakilan alumni yang mengenakkan kebaya itu, menyampaikan kesan-kesannya selama kuliah. Uniknya, dalam salah satu acara kampus ini, saya sempat pula diminta tampil di panggung bersama mahasiswa menyanyi lagu folk bersama vokal grup mereka. Saya masih ingat: memainkan gitar akustik membawakan lagu Leo Kristi (yg populer saat itu), yaitu “Gulagalugu Nelayan”.
Demikian, satu persatu agenda acara berlangsung sebagaimana lazimnya hingga penutupan acara menjelang pukul 22:00. Setelah acara bubar karena jarum jam menunjukkan pukul 22:00. Maka mulai tampak masuk ke ruang ini berbagai tipe orang yang “tidak biasa” dan tidak saya kenal. Ada wanita yang mengunakan rok mini berbahan kulit dengan dandanan berani. Yang pria, berpakaian jins dan jaket kulit. Ruang aula besar Studio East perlahan-lahan berubah fungsi. Ratusan kursi yang terlihat rapi di ruang tengah tadi, dipindahkan dengan cepat entah kemana. Ruang tengah itu kemudian tampak kosong. Lampu mulai perlahan-lahan menjadi terlihat remang-remang. Lalu satu persatu pengunjung yang tak dikenal itu, mulai semakin ramai berdatangan ke ruang tengah. Turun melantai bersama terdengarnya musik hingar-bingar dari sound system yang kemudian diputar dengan keras. Semua yang turun ke lantai tengah itu: bergoyang, tripping dan berdisko. Seakan-akan dunia ini hanya milik mereka. Dan pengunjung lain yang ada di situ dianggap hanya menumpang lewat saja.
Di beberapa sudut meja, tampak orang duduk berpasangan, atau berkelompok ngobrol sambil tertawa-tawa tidak jelas. Beberapa wanita menatap ke sana kemari seperti mencari-cari. Beberapa tampak merokok dengan asyiknya, sambil menuangkan minuman... Semua kemudian menjadi terlihat serba kontras dengan acara sebelumnya. Mungkin, dalam banyak hal ekspresi anak-anak muda Bandung ini memang juga serba Kontras..??
***