Tak pernah diduga, bahwa pada bulan Agustus 2015 ini, akhirnya saya berkesempatan mengunjungi wilayah Sumatera bagian Timur yang terkenal dengan hiruk-pikuk kegiatan industri internasional tersebut, yaitu Kota Batam. Suara halus dari kantor adminsitrasi LSP Teknisi Akuntansi Jakarta di ujung telpon sana yang tiba-tiba menelpon, bertanya: "Pak, hari Jumat dan Sabtu 14-15 Agustus ada tugas sebagai asesor ke Batam. Siap khan pak..?”
Wah, kebetulan nih! Bukankah ini salah satu tempat yang menarik banyak orang untuk dikunjungi? Selama ini saya cuma mendengar, bagaimana Pulau Batam ini dikelola dan dikembangkan serta dibangga-banggakan oleh mantan Presiden BJ Habibie. “Kita harus mampu membuat Pulau Batam ini seperti Singapore, yang dapat memberi daya tarik tersendiri sebagai tujuan investor utama di Indonesia,” katanya pada suatu ketika.
[caption caption="Keterangan photo: Suasana RUKO di Grand Land pada suatu siang, yang banyak dijadikan sebagai tempat kost-kostan para pekerja industri BATAM. Di depan ruko ini terdapat tempat kuoiner khas berbagai daerah Indonesia dan menjadi salah satu tempat "nangkring" anak-anak muda pekerja Batam. / Photo by: Rendra Tris Surya)""][/caption]
Lalu saya menjadi semangat dan berbunga-bunga menjawab: “Siap! Tapi seperti biasa ya, akomodasi dan biaya perjalan tersebut berbentuk Kas saja. Saya akan menyiapkan sendiri penginapan dan lain-lainnya. OK?” Dan tampaknya permintaan saya yang sebenarnya sederhana itu, sebagaimana biasanya, selalu disetujui. Lho, kok tidak mau disiapkan hotel?
Maksudnya demikian, saya agak males pergi ke luar kota, apalagi sampai jauh ke luar Pulau segala , kalau semata-mata hanya memikirkan tugas. Sebagaimana kebanyakan orang lain, begitu selesai pekerjaan, lalu segera terburu-buru pulang. Buat saya hal seperti ini cuma menuai capek belaka, dengan perolehan honor kerja yang tak seberapa. Perjalanan tersebut kemudian seperti tidak memiliki “nilai tambah” yang berarti bagi saya yang juga punya hobi travelling. Oleh karena itu, setiap ada penugasan keluar kota dari berbagai pihak (sebagaimana yang saya terima selama ini). Seperti dari Kampus lain sebagai dosen luar biasa. Atau dari LSP TA sebagai Asesor, dari Perusahaan Training (Training Provider) sebagai Trainer, dari Perusahaan Konsultan sebagai Auditor Teknologi Informasi. Bahkan ketika menampilkan makalah hasil penelitan saya dalam forum ilmiah seminar nasional di kota lain. Dalam momen-momen tersebut, selalu saya manfaatkan buat kegiatan ber-Backpacker barang sejenak.
Tentu saja. agar tugas utama tidak terganggu dan tetap selalu dapat dikerjakan secara profesional, maka biasanya saya akan datang satu atau dua hari lebih awal dari jadwal penugasan tersebut. Dan akan kembali pulang ke Bandung beberapa hari setelahnya. Oleh karena itu, menjadi kebiasaan pula bagi saya untuk mencari penginapan alternatif yang lebih murah (diantaranya kost harian ini), agar bisa lebih lama tinggal tanpa harus menganggu “asap dapur” keluarga di rumah ketika asyik ber-backpacking. Lagi pula, kalau bisa lebih murah, mengapa harus yang lebih mahal..? Bukankah begitu prinsip dasar berpetualang seorang backpacker ?
Meskipun belum pernah terjadi selama ini, akan tetapi kalau seandainya panitia tidak setuju dengan kesepakatan mencari penginapan murah ini. Mungkin disebabkan peraturan akuntansi yang ketat mengenai pengeluaran biaya, yang harus dicatat dan dipertanggungjawabkan menggunakan metode “At cost”. Artinya, berapa dana yang “nyata” dikeluarkan, maka sebesar itu pula yang dipertanggungjawabkan. Misalnya, kalau saya mencari penginapan alternatif yang lebih murah di kost harian, maka hanya sebesar biaya penginapan murah itu pula yang diberikan ke saya (walaupun menjadi lebih rendah dari hak saya). Maka saya akan mengatakan begini: “Oh maaf, saya tidak bisa ditugaskan ke luar kota kali ini. Lagi ada kesibukan ini dan itu...”. (Hehe2.. gampang khan..?).
Karena menurut saya, rasanya sia-sia saja jika harus mengerjakan tugas tambahan (diluar kewajibansaya sebagai pengajar), dengan pergi ke luar kota hanya semata-mata untuk mencari honor tambahan. Bukankah di Bandung dan Jakarta saja, sudah cukup banyak pekerjaan sampingan yang bisa saya kerjakan, tanpa harus capek-capek melalui perjalanan panjang seperti ini? Jadi, mestinya wajar memang jika kemudian ber-backpacking adalah semacam bonus dari suatu penugasan ke berbagai wilayah Indonesia yang demikian luas, demikian beraneka ragam dan begitu indah ini. Terutama tentu, bagi yang menyukai Travelling.... Dan sekali lagi: tugas utama tetap harus dikerjakan terlebih dahulu dengan komitmen yang tinggi, antusias dan profesional, sebelum memulai kegiatan ber-backpacking ria ini sebagai bonus tersebut...
Kuliner Daerah dan Motor
Sebagai kota teramai ketiga di Sumatera, dan tersibuk (dengan kegiatan industri internasionalnya), kedua setelah Jakarta. Maka, tentu saja banyak kost-kostan karyawan di seputar kota Batam tumbuh subur berkembang. Setelah menelusuri melalui Internet, saya menemukan beberapa nomor telpon kost harian yang dicari. Saya memilih Maryanto, anak muda dari etnik Cina-Jawa yang sudah belasan tahun tinggal di Batam, yang biasanya lebih serius. “Saya mengelola kost-kostan bersama isteri, sebagai selingan saja kalau lagi tidak sedang sibuk menangani perusahaan di Singapura. Tiap minggu saya ke luar negeri nih..” katanya ketika bertemu. Dia tipe masyarakat Batam kelas menengah, yang cukup banyak yang memiliki bisnis tertentu di Singapura. “Karena perjalanan cuma 45 menit. Petugas imigrasi di Pelabuhan Harbour Front sana malah sampai sudah hafal dengan wajah saya,” katanya terkekeh.. Maryanto sosok anak muda yang dinamis dan senang juga kalau diajak berdiskusi, terutama soal politik lokal. “Kalau Gubernur Kepri ini orang muda, pasti Batam akan lebih dinamis dan cepat majulah,” katanya sedikit mengkritik pemimpin daerahnya. “Tidak apa-apa pemimpin tua berusia 70 tahun, asal jujur! " jawab saya. "Daripada anak muda, namun hobinya mengkorupsi uang negara sebagaimana banyak di mana-mana,” lanjut saya juga dengan semangat menyambung guyonnya. Inilah asyiknya menginap di kost harian seperti ini. Kebanyakan penghuninya adalah mahasiswa atau karyawan muda yang masih menyimpan idealisme tentang negerinya (walaupun sering terlihat dipermukaan, mereka sudah seperti "baut dalam sistem industri" yang harus patuh dan taat dalam bekerja). Diskusi seperti ini biasanya dilakukan sesaat malam-malam menjelang istirahat dalam suasana blak-blakan dan apa adanya....sambil guyon-guyonan.