(Keterangan Photo-1: Penulis, sebelah kiri, berpose dengan Bung Dedik Suryantara di Jembatan Barelang, yang terlihat indah di kala sore hari dan menjelang sunset /Photo by: Farida Ariani)
-----------------------------------------------------------------------
Sudah menjadi kebiasan, setiap kali berkunjung ke suatu kota, saya mencari informasi terlebih dahulu di webblog keroyokkan “Kompasiana”. Berbagai artikel terkait, khususnya tentang suasana dan objek-objek menarik di kota tujuan, akan saya baca habis. Untuk memperluas wawasan, ada informasi tambahan juga dari Google, website Tripadvisor dan lain-lain.
Ketika membaca beberapa artikel dari Kompasiana tersebut, tiba-tiba, ada artikel tentang Batam berjudul “Dari Batam ke Singapura” yang ditulis oleh Dedik Suryantara, yang menarik perhatian saya. Di akhir artikel ada catatan menarik berbunyi: “Jika ada Kompasianer yang berminat jalan-jalan ke Batam, hubungi saya, agar kita bisa kopdar.” Jarang saya melihat artikel di kompasiana dengan ajakan terbuka seperti itu. Undangan pertemanan yang terlihat simpatik, membuat saya kemudian bersemangat mencari tahu lebih jauh, siapakah Bung Dedik Suryantara ini? Saya mencari account-nya di Facebook, asumsi saya hampir semua orang, apalagi yang suka menulis, pasti suka juga menulis komen di FB atau Twitter. Nah, ternyata benar dugaan saya! Melalui FB tersebut, saya kemudian mengontak Bung Dedik dengan mengirimnya pesan, “Saya Rendra Tris Surya, kompasianer dari Bandung. Mau berkunjung ke Batam nih untuk suatu tugas. Dan sekalian mau kopdar nih kalau memungkinkan. Mungkin sesama Kompasianer, kita bisa berbagi informasi, khususnya tentang Batam. Saya belum pernah mengunjungi kota anda ini sebelumnya,” demikian message yang saya kirimkan. Akhirnya, message saya di FB tersebut di balas, dan kami pun berkenalan. Beberapa malam sebelum keberangkatan saya ke Batam, kami berdiskusi melalui chatting. Tampak bung Dedik senang mendapat teman baru, dan berkenalan dengan orang-orang dari jauh seperti saya. Dia tampak antusias diajak ngobrol tentang Batam, kota tempat tinggalnya tersebut. Akhirnya saya lega! Yang penting, minimal ada satu orang di Batam yang saya kenal dan punya hobbi ber-backpacking. Itu sudah lebih dari cukup buat saya! Itulah awal perkenalan saya dengan kompasianer baik hati, yang bernama Dedik Suryantara ini.
Menjelang keberangkatan ke Bandara Hang Nadim, kami pun bertukar no HP melalui FB. Setelah saya tiba di penginapan, bung Dedik sore harinya segera datang menemui. Ternyata tidak perlu terlalu lama membuat “Ice Breaking”, karena sudah sering chatting sebelumnya barangkali, yang membuat semua menjadi terlihat cair. Obrolan kami mengalir begitu saja dengan lancar dalam suasana keakraban, layaknya teman lama. Mungkin juga karena profesinya seorang Guru, dan saya sebagai Dosen, yang sebenarnya mirip. Setelah basa-basi sambil memperkenalkan latar belakang pekerjaan dan kegiatan rutin masing-masing, serta tujuan ke Batam. Akhirnya dia menyatakan bersedia mengantarkan saya melihat jembatan unik yang indah, yang dikenal dengan nama “Jembatan Barelang” di hari Kamis sore hari pertama saya di Batam. Kebetulan staf di Politeknik Negeri Batam tempat tugas saya sebagai asesor, juga bersedia memberikan pinjaman motor, sambil menunjukkan keherannya. “Kok bapak tidak mau diantar pakai mobil?” tanya mereka. Saya senyum-senyum saja. Bagi saya berkelana dengan motor atau kenderaan umum itu jauh lebih mengasyikkan buat urusan backpacking. Selain lebih hemat, bebas waktu, juga lebih dapat menyatu dengan atmosfir lingkungan masyarakat lokal sekitar dimana kita berada. Saya bisa banyak berdialog dengan warga setempat yang lebih banyak ditemui, dibandingkan jika menggunakan mobil kantor yang diantar supir. Travelling dengan mobil, apalagi jika menggunakan jasa “travel guide tour”, memiliki semacam batas (ruang kaca) yang menjadi tirai antara traveler dengan lingkungan sekitarnya, sehingga perjalanan tersebut menjadi tidak alamiah karena hanya fokus ke objek wisata belaka. Bukan kepada proses saat perjalanan tersebut dilakukan.
***
Dalam perjalanan melihat jembatan Barelang yang menjadi ikon Batam itu, saya berbocengan dengan isteri (yang selalu menjadi asisten dalam ber-traveling). Dalam perjalanan hampir satu jam ini, kami selingi dengan ngobrol-ngobrol tentang Batam di beberapa tempat perhentian istirahat. Bung Dedik terlihat ramah dan sikapnya natural apa adanya. “Saya sering membaca tulisan Pak Rendra. Tapi akhir-akhir ini saya pun agak jarang menulis di kompasiana, karena kesibukan pekerjaan baru sebagai guru konseling,” katanya. Saya rupanya merupakan Kompasianer kedua yang datang ke Batam dan “kopi darat” bertemu langsung dengannya. “Bersilaturahmi dan menambah banyak teman itu, membuat hidup selalu ceria, pak!” katanya memberi alasan mengapa dia senang kopdar seperti ini.
Saat pulang, dia mengatakan, “Isteri saya mengundang makan malam ke rumah saya. Kapan Pak Rendra waktunya kosong selama di sini?” Akhirnya, Sabtu malam kami pun meluncur ke rumahnya, yang tampak sederhana namun terlihat tenang dan nyaman, berlokasi di kawasan Bukit Tempayan, Batu Aji. Bung Dedik terlihat taat dalam beribadah. Karena setiap azan mengalun dari surau di komplek perumahan di depan rumahnya itu, dia selalu mohon pamit sejenak untuk sholat. Isterinya yang mengenakkan kerudung, kemudian mempersilahkan kami mencicipi Mie Kuah ala Bangka dan pempek khas Sumatera Selatan. “Hm..asyik banget nih,” kata isteri saya yang memang penggemar masakan Palembang ini. “Kami berdua berasal dari Bangka Belitung. Sama seperti mayoritas orang Batam, merupakan pendatang. Kami sudah lebih dari 16 tahun di sini. Datang ke sini mencari pekerjaan, karena di sini banyak pabrik besar yang berkembang yang katanya berprospek bagus karena mendukung kegiatan bisnis di Singapura, yang jaraknya cuma 45 menit dengan kapal laut feri,” isterinya memulai cerita. Tapi kami sendiri belum pernah ke Singapura, jelasnya dengan polos.
(Keterangan photo: Bung Dedik bersama isterinya tampak tertawa renyah ketika menjamu saya dengan masakan pempek dan khas Bangka / Photo by: Rendra Tris Surya)
=======================================================
Tampaknya cukup banyak juga warga Batam yang belum pernah mengunjungi Singapura maupun Malaysia. “Singapura itu khan negaranya orang kaya. Satu dollar mereka saja setara dengan Rp 10.000. Lagi pula , saya kurang tertarik ke sana. Cara berpakaian mayoritas orang Singapura terlalu terbuka dan seksi buat ukuran kita penganut muslim,” katanya memberi alasan. Kami justru lebih tertarik, jika suatu saat nanti ada kesempatan, mengunjungi Malaysia saja. “Dekat juga dari Batam. Hanya satu jam dengan kapal Feri sudah sampai ke Pelabuhan Stulang di Johor,” kata Dedik yang ikut nimbrung, setelah selesai sholat di mesjid kecil di depan rumahnya.