Kamis 27 November 2014, mentari pagi cerah, meskipun beberapa awan menggantung di udara Kawasan Tembalang. Saya tak sempat sarapan, karena waktu telah melewati pukul 07.00. Tergesa-gesa, menyusuri komplek perumahan Klenteng Sari yang adem, mencari ojek yang bisa mengantar ke kampus Politeknik Negeri Semarang (Polines). Beberapa menit kemudian, terlihat simpang tiga Kampus Undip yang sibuk. Toko-toko disepanjang jalan Banjarsari mulai buka menyongsong kesibukan komunitas kampus itu. Mobil dosen dan motor para mahasiswa terlihat berseliweran memasuki gerbang kampus.
Kampus POLINES
Dari atas ojek, saya minta berhenti di warung sederhana di pinggir kanan jalan masuk tidak jauh dari gerbang kampus. “Perut ng tahan nih, kerincingan,” kata saya ke tukang ojek yang mengantar. Tampak beberapa mahasiswa sedang sarapan di warung tersebut. Ibu pemilik warung dengan ramah mempersilahkan masuk. Biasanya makanan ala Street Food seperti ini di berbagai kota Pulau Jawa yang saya kunjungi selalu menarik untuk dijajali. Siapa tahu, yang ini juga maknyus, pikir saya.
“Ini ikan apa, Bu?” tanya saya. Akhirnya, pagi itu saya menikmati sarapan dengan lauk Gulai Nangka dan Ikan Belida. Entah karena saat itu sedang lapar berat, atau karena suasananya yang berbeda. Kesan saya, masakan sederhana di warung pinggir jalan ini enak.“Berapa Bu?” “Hanya Rp 7.500 saja,” kata pemilik warung. Ah? Ng salah nih..? “Kok murah banget ya?” Oh, baru saya benar-benar menyadari, ternyata indeks biaya hidup di kota tempat tinggal saya, yaitu Jakarta dan Bandung, memang sudah “keterlaluan”. Barangkali kedua kota ini merupakan kota termahaldi Indonesia, khususnya untuk urusan kuliner!
Hm, pantes saja mahasiswa-mahasiswi di sini, meskipun sederhana penampilannya namun nyaman-nyaman saja dalam kegiatan sehari-harinya. Seperti tak merasakan kekurangan apapun, tidak sebagaimana halnya kebanyakan komunitas mahasiswa di tempat lain. Mungkin tidak terlalu berlebihan pula kalau dikatakan setelah Yohyakarta dan Solo, maka kota Semarang memang cocok menjadi tujuan belajar para calon mahasiswa dari berbagai daerah Indonesia karena biaya hidup yang relative murah tersebut.
Kampus Undip ini tampak luas, dan membuat saya agak gamang sejenak ketika melanjutkan perjalanan ketika keluar dari warung tersebut. “Dik, arah ke Kampus Polines ke mana ya?” tanya saya ke salah seorang mahasiswa di warung. “Arah kanan pak. Sekitar satu kilometer,” katanya. Saya melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sambil menikmati udara segar kampus ini. Saya berpapasan dengan beberapa mahasiswi yang tampak mengenakkan kerudung, sebagaimana telah menjadi “trend” mahasiswi Indonesia saat ini dimana-mana. Namun gaya dan dandannya terlihat apa adanya dan sederhana. Arus mode tidak terlalu masuk jauh ke dalam kehidupan kampus ini. Jarang terlihat warna-warni pakaian yang mencolok (fashionable) sebagaimana kebanyakan mahasiswi di kota besar seperti Jakarta dan Bandung. Kultur perilaku yang tampak kalem dominan dalam aktivitas keseharian mereka. Yang mungkin juga mewarnai cara pandang, bersikap dan bertindak yang cenderung tenang dan berhati-hati (konvensional).
Tiba-tiba terdengar suara motor di belakang mendekat menghampiri. Lalu dengan sopan menyapa. “Pak, ikut saya saja. Lokasi Polines masih jauh kalau jalan kaki. Kebetulan saya juga menuju ke arah sana!” Ternyata itu mahasiswa yang tadi saya temui di warung. Saya kaget dan tidak mengira bahwa keramahan mahasiswa Polines Semarang ini sampai demikiannya. Akhirnya saya naik motor bersamanya sampai ke pintu gerbang kampus Polines. “Maaf pak, saya hanya bisa mengantar sampai di sini ya. Karena ada kuliah pagi,” kata mahasiswa, yang namanya pun saya tidak tahu. Bukan main! Suatu ekspresi keramahan dan penghormatan terhadap tamu yang tampak begitu ikhlas dan spontan, yang sebenarnya sudah jarang kita temui di kampus-kampus kota besar Indonesia lainnya akhir-akhir ini.
Sambil berjalan masuk ke dalam kampus, terbayang juga bahwa selama lebih dari 30 tahun wajah rekan-rekan dosen yang bermarkas di Politeknik Negeri Semarang ini hanya teringat nama-namanya saja, karena jarang ketemu. Dan baru kali ini saya mengunjungi salah satu kampus Politeknik Negeri terbaik di Indonesia tersebut. Kegiatan selanjutnya, sebagai asesor berkumpul dan saling memperkenalkan diri yang datang dari berbagai daerah. Selesai meeting, masing-masing membawa berkas uji kompetensi peserta ke ruang masing-masing sesuai penugasan. Saya menguji sebanyak 30 orang peserta yang merupakan lulusan jurusan Akuntansi alumnus dari beberapa kampus di Semarang. Mereka lulusan D3, S1 hingga S2 dari kampus negeri maupun swasta. Dari yang masih baru lepas usia remajanya, hingga Ibu dan Bapak yang telah berumur yang tampaknya sudah menjadi pimpinan (manajer) di perusahaannya masing-masing. Saya juga tidak tahu, entah apa motivasi para pekerja senior ini mengikuti uji kompetensi Teknisi Akuntansi kali ini. “Perusahaan kami berafiliasi dengan perusahaan asing di Jerman. Jadi kami didorong oleh mereka untuk dapat segera memiliki sertifikasi kompetensi dalam bidang pekerjaan masing-masing,” kata salah seorang peserta, ketika saya ajak ngobrol.
Awalnya saya menduga, uji kompetensi Teknisi Akuntansi ini pasti hasilnya akan lebih baik bagi peserta yang lulusan S1 dan S2. Bukankah belajarnya lebih lama dengan tingkat pendidikan Akuntansi yang lebih tinggi? Ternyata, saya keliru! Setelah sampai Jumat lewat tengah malam begadang di kamar kost memeriksa berkas yang menumpuk hasil uji kompetensi dari para peserta ini. Lulusan D3 Politeknik Negeri Semarang lebih banyak yang lulus. Lima orang lulusan S2 dan belasan lulusan S1 tersebut, ternyata banyak yang tidak kompeten (tidak lulus) dalam uji unit kompetensi Akuntansi Dasar ini. “Oh, pantes! Semakin banyak saja perusahaan yang meminta persyaratan adanya sertifikasi kompetensi,” pikir saya. Ijazah Sarjana saja, ternyata sering tidak dianggap oleh dunia industri menjadi bekal yang cukup sebagai syarat bekerja. Mungkin karena orientasi yang berbeda antara memiliki Ijazah, dan Sertifikasi Nasional?
Loker Ala Stasiun Tawang
“Kapan nih kita mulai berpetualangi? “ tiba-tiba isteri saya yang dari tadi terlihat tertidur nyenyak di kamar, mengagetkan saya. Besok Sabtu sore sesi terakhir kegiatan asesor. Hari Sabtu sore para asesor dari Aceh, Jakarta dan Kupang tampak sibuk mencari omprengan mengantar mereka ke Airport Adi Sucipto dan langsung kembali pulang. Tapi saya di Sabtu sore itu mempunyai kegiatan lain. Meski cuaca agak mendung, saya santai-santai saja berjalan kaki seorang diri menyusuri jalan kecil di samping kampus Polines keluar gerbang Jl Banjarsari menuju kawasan perumahan Klenteng Sari tempat saya menginap. Di tengah jalan, isteri saya menelpon mengingatkan, “Jangan lupa pesan tiket kereta api buat hari Minggu malam untuk pulang ke Bandung!” Semula saya merasa tidak terlalu serius mengurus urusan begini. Bukankah di era Paymanet Gate yang telah menyebar hampir ke semua toko swalayan saat ini, kita dengan mudah bisa memesan segala macam tiket? lalu dengan santai saya mampir ke Indomart di Jalan Banjarsari untuk memesan tiket Kereta Api “Herina” kelas ekonomi.
Tiba-tiba kasirnya nyeletuk mengagetkan. “Wah, tiket Kelas Ekonomi habis pak, untuk yang ke Bandung! Yang ada tinggal kelas eksekutif seharga Rp 280.000. Itu pun tinggal empat tiket lagi nih…,” katanya meminta segera membuat keputusan.
Aduh, gawat! Kok bisa kehabisan ya? Khan ini di Semarang, pikir saya. Selasa saya harus kembali mengajar normal kembali di Bandung. Tidak boleh bolos terlalu lama, bisa berabe nih. “Ya, sudahlah! Pesan saja tiket eksekutif dua buah itu untuk keberangkatan hari Mingu 29 November jam 22:30,” jawab saya sedikit kecewa, karena tadinya mau menghemat ala Backpacker beneran. Memang sudah saya duga bahwa segala urusan transportasi dan akomodasi perjalanan di akhir minggu atau hari libur merah selalu merepotkan. Hal ini disebabkan karena pertambahan penduduk dan jumlah masyarakat kelas menengah Indonesia di berbagai kota besar yang semakin berkembang berikut dengan tingkat mobilitasnya yang semakin tinggi. Akhir minggu hampir pasti selalu menjadi hari yang “grusa-grusu” seperti: kehabisan hotel, tidak kebagian mobil travel atau tiket Kareta Api seperti ini, jika tidak diantisipasi jauh sebelumnya.
Hari Minggu jam 10:00 kami “chek-out” dari penginapan kost harian di Klenteng Sari. Dua ojek yang nomornya sudah saya simpan sebelumnya di Handphone, sigap menunggu dan mengantar ke lokasi Patung Kuda (keluar dari kawasan Tembalang). Berbeda dengan kota Bandung, yang setiap akhir Minggu menjadi lebih ramai dan bahkan menjadi kota macet. Di Semarang pada hari Minggu terlihat jauh lebih lenggang dan sepi. Bus “Trans Semarang” yang membawa kami ke stasiun Tawang pun hanya terisi sepertiganya.
Kami ke stasiun terlebih dahulu menitip tas dan bawaan, sebelum melanjutkan petualangan ala Backpacker selama setengah hari di kota Semarang ini. Di stasiun ini ternyata tidak ada loker resmi yang dapat menyimpan tas dan koper, sebagaimana halnya di stasiun KA Gambir Jakarta. “Wah, gawat kalau begitu! Masak kita ke mana-mana sambil membawa tas besar begini? “ gusar isteri saya. Setelahkasak-kusuk, akhirnya ada yang membisiki saya “Bapak minta ijin saja masuk ke dalam peron stasiun. Di warung-warung dalam sana ada juga yang mau menerima titipan tas/koper,” katanya memberi solusi. Benar juga! Salah satu warung makan tersebut mau menerima titipan tas/koper dengan biaya sewa Rp 20.000. Wah, lega rasanya! Setelah sarapan di warung tersebut, jam 11:00 kami memulai perjalanan dengan pertama-tama menyusuri Kota Tua yang lokasinya dekat dengan Stasiun Tawang ini. Kota Tua Semarang ini merupakan tempat kedua di Indonesia (setelah kota TUA di Jakarta), yang dapat membuat kita kembali ke masa lampau menikmati suasana "little Netherland" lama yang masih tertinggal, bersama dengan deretan peninggalan gedung-gedung tua dan antikjaman Kolonial Belanda tersebut. Bahkan shooting film “Gie” dan “Ayat-Ayat Cinta” sebagian juga dilakukan di sini menggunakan gedung-gedung tua Belanda yang bergaya Aristektur Eropa Abad XVII.
[caption id="attachment_409547" align="alignnone" width="640" caption="(Salah satu sisi kawasan Kota Tua Semarang, yang merupakan lokasi sekumpulan gedung tua peninggalan Jaman Belanda yang maish terlihat sri. Berada di kawasan ini membuat kita sejenak seperti kembali ke masa lalu. / Photo by: Rendra Tris Surya)"][/caption]
Kawasan “Kota Tua” Semarang
“Menyusuri Kota TUA ini berjalan kaki, lumayan juga. Apalagi udara Kota Semarang Bawah ini panas. Siang-siangbegini lagi,” kata isteri. Akhirnya kami sepakat naik becak yang banyak mangkal di depan stasiun, mengantar keliling-keliling kota Tua. Bukankah becak selalu berjalan dengan perlahan dan santai sehingga justru dapat menikmati Kota Tua tanpa harus kepanasan, pikir saya. Ongkos keliling sekitar 30 menit itu disepakati Rp 25.000. Perjalanan ke kota Tua pun di mulai. Yang pertama kami kunjungi adalah gedung Marabunta. Gedung kesenian jaman Belanda yang dibangun tahun 1854 itu, hingga kini tampak dibiarkan kosong. Kantor perusahaan eksportir yang kini pemilik gedung tersebut, tampaknya hanya berani menempati gedung di bagian belakang. “Kok dibiarkan kosong dan apa adanya?” tanya saya ke penjaga yang kebetulan hari itu sedang dibuka buat rombongan pengantin yang akan membuat photo pre-wedding menggunakan latar belakang gedung antik ini. Biasanya memang gedung ini selalu tertutup untuk umum. Penjaga itu hanya senyum saja, tidak menjawab apapun. Tukang becak yang mengantar kami ternyata bisa juga merangkap menjadi Informal Tour Guide. Dia bercerita, bahwa gedung itu angker. Pada malam-malam tertentu sering terdengar sayup-sayup suara musik orkestra klasik tempo doeloe mengiringi arwah penari cantik legendaris di jaman Belanda, namanya Margaretha Geertuida Zelle yang sering berdansa dengan kekasihnya Rudolf MacLeod, seorang Perwira Angkatan Darat Kumpeni. Tampaknya masyarakat setempat percaya cerita itu, dan mungkin itu sebabnya tidak ada yang berani mengutak-atik gedung tua ini hingga kini. Ketika saya berada sejenak di dalam gedung tersebut, tiba-tiba bulu kuduk saya pun terasa berdirimembayangkan cerita berbau mistik itu.
[caption id="attachment_409543" align="alignnone" width="640" caption="(Marabunta: Gedung Kesenian sisa peninggalan jaman Belanda di kota TUA Semarang, yang hingga kini tetap kosong. Karena angker?. / Photo By: Rendra Tris Surya)"]
Perjalanan becak kami lanjutkan melewati gedung Kantor Pos yang berlokasi di area yang sama. Lalu ke Gereja Blenduk yang bergaya arsitektur Neo Klasik yang dibangun tahun 1753 itu, tampak unik dan indah. Tiba-tiba dalam perjalanan becak yang pelan tapi pasti itu, mata saya melihat penjual es tebu di pinggir jalan, mengusik dahaga saya di siang hari panas terik tersebut. Es tebu salah satu minuman Street Food kegemaran saya. Lalu kami nongkrong cukup lama di sini sambil ngobrol dengan tukang Becak yang merangkap guidetersebut.Dia tampak senang ditawari Es Tebu. Tukang becak itu kemudian bercerita banyak tentang kota Semarang, Kawasan Kota Tua dan juga tentang keluarga serta anak-anaknya yang bisa kuliah justru karena kerja kerasnya sebagai tukang becak di sekitar Stasiun Tawang. Saya belajar banyak dari kegigihan sang Tukang becak ini.Tukang becak saja bisa tuh menyekolahkan anak-anaknya sampai ke Perguruan Tinggi....
Mata saya kemudian terpaku ke sebuah spanduk di seberang jalan, yang berbunyi: “PSSI Bosok, PSSI Bobrok! Save PSIS!” Seperti biasa, spanduk/baliho di sebuah kota seringkali berfungsi sebagai media ekspresi kasus-kasus aktual yang saat itu sedang menjadi perhatian masyarakat lokal setempat. Rupanya hukuman PSSI terhadap klub sepakbola kebanggan mayarakat Kota Semarang ini, yaitu PSIS yang dihukum karena kasus suap dan “main sabun” tersebut, telah melukai sampai begitu mendalamnya hati masyarakat. Sebagaimana halnya di daerah lain juga, fanatisme “bobotoh” (fanatic football fans) persepakbola memang telah menjadi elemen penting yang terkadang melebihi identitas etnik. Masyarakat akar rumput suatu kota sering mengekspresikan kekecewaannya tersebut melalui coret-coretan (vandalism) dan tulisan di baliho.
[caption id="attachment_409551" align="alignnone" width="640" caption="(Baliho tidak hanya berfungsi sebagai media pengumuman dan penyebaran informasi tertetntu buat masyarakat di suatu kota. Namun juga dapat menggambarkan unek2hati suatu masyarakat mengenai hal/kasus tertentu yang menyemarakkan dinamika suatu kota, sebagaimana sebuah baliho di kawasan "]
Setelah lebih dari 30 menit nangkring menikmati es jus tebu, saya pun berpisah dengan tukang becak yang ramah tersebut. Dan melanjutkan perjalanan dengan moda transportasi yang lain, yaitu angkutan umum berwarna kuning menuju ke Jalan Gajah Raya, untuk melihat keindahan arsitektur Masjid Agung Semarang, yang katanya salah satu masjid terbesar dan terindah di Indonesia. Saya penasaran, tetapi ternyata memang benar! Mungkin ini salah satu masjid terindah yang pernah saya lihat di Indonesia. Uniknya, gaya arsitektur masjid ini berani mengkombinasikan gaya Arsitektur Masjid Nabawi (Arab) dengan artefak arsitektur Jawa yang kemudian di kelilingi di depan oleh Kubah Benteng ala Koloseum Athena Romawi (Eropa).Seni dalam perspektif Islam (Islamic of Art) biasanya “malu-malu” berakulturasi dengan unsur luar. Dalam bidang seni, akulturasi seringkali merupakan proses kreatif penting yang dapat memunculkan karya masterpiece. Atau paling tidak memunculkan keunikkan tertentu. Di sini, saya sambil duduk beristirahat dari teriknya panas Matahari siang kota Semarang tersebut, merenung menikmati angin sopoi sambi mengapresiasi sang aristek yang berani bereskperimen dan membuat terobosan dalam seni Islam untuk menghasilkan bangunan ibadah masjid indah seperti ini. Di tengah maraknya arus purifikasi dan pemurnian maka Arsitektur Mesjid Agung Semarang ini menjadi sesuatu yang menyegarkan. Tentu saja, pemurnian itu baik, bahkan menjadi keharusan untuk menggindari sinkretisme. Namun untuk seni misalnya, mestinya boleh-boleh saja mengadopsi segala hal yang baik dari mana pun untuk menyambungkan ide, menyimbangkan, meningkatkan dan mensinergikan suatu proses kreatif. Warna Oranye sebagai contoh sederhana, barangkali tidak akan pernah ada dan terlihat indah, jika kita tidak pernah berani bereksperimenmencampurkan antara warna Kuning dan Merah. Proses Asosiatif dan Disosiatif inilah yang kemudian menjadi salah satu kunci sukses dalam hampir setiap proses kreatif Karya Seni. Kini tampaknya Mesjid Agung yang menjadi kebanggaan masyarakat Semarang ini telah membuktikannya.
[caption id="attachment_409553" align="alignnone" width="640" caption="(Ny. Farida Rendra Ariani, berpose di depan koloseum ala Romawi yang menjadi penghias pintu masuk menuju e Mesjid Agung Semarang, yang berarsitektur indah tersebut. / Photo by: Rendra Tris Surya)"]
Mungkin karena saya juga hobi photography, maka di sini saya seperti mendapatkan objek menarik untuk dijadikan objek merekam keindahan arsitektur Mesjid Agung Semarang ini dari berbagai sudut. Saat saya menjepret, sekali-kali tampak serombongan keluarga muslim, yang di antaranya mengenakkan cadar dan mengenakkan pakaian serba hitam, masuk ke dalam frame saya. Tampak semua jenis orang dalam berbagai jenjang usia dan ideologi menyukai keindahan seperti keindahan masjid ini.
Tower Al Husna yang tingginya 99 meter berdiri menjulang di samping masjid memberi aksentuasi. Namun sayang, karena antrian begitu panjang, saya tidak sempat masuk ke dalamnya. Dari atas menara itu, kita dapat melihat view kota Semarang dalam perspektif yang luas (dikenal dengan istilah: Bird View) dan menampakkan keindahan dimensinya tersendiri. Bahkan di salah satu lantai di Tower itu terdapat Museum Kerajaan Islam dan Kafe Muslim, yang dapat dikunjungi oleh siapa saja yang mau menikmati sajian dengan menatap jauh ke sudut-sudut kota Semarang. Pemandangan khas yang mengingatkan saya pada Restoran Sierra View di Dago Atas, dan Restoran Khas Hotel Preanger di Lantai Atas yang berputar perlahan menikmati keindahan kota bandung dari "langit".
Keunikan Kuil Sam Pok Kong
Setelah beristirahat di pintu keluar Mesjid Agung sambal mencicipi aneka minuman khas Street Food di sana. Perjalanan kami lanjutkan dengan becak menuju ke jalan besar untuk berganti naik angkot merah menuju ke Kuil Sam Pook Kong yang juga menjadi Landmark Kota Semarang. Kuil ini bukan sekedar tempat beribadah komunitas KhongHucu Semarang semata, namun juga merupakan monumen sejarah. Di tempat ini lah pada Abad XV, yang kala itu disebut dengan Kawasan Bukit Simongan dan kawasan Pelabuhan, merupakan salah satu tempat berlabuhnya LaksamanaZhengho beserta 62 kapal besar berisi ribuan tentaranya tersebut yang menunggu di Samudera Hindia. Zhengho bersama ratusan anak buahnya beristirahat beberapa bulan di sini dari lawatannya mengelilingi dunia membawa misi perdamaian Kaisar Cina waktu itu, yaitu Yong Le. Dari berbagai negara Islam yang dikunjunginya di dunia, Indonesia menjadi salah satu tujuan utama, di antaranya singgah di Semarang dan Cirebon. Dalam kunjungannya ini, Zhengho membawa oleh-oleh berupa Porselen, Sutra dan berbagai karya seni bernilai tinggi lain yang diserahkan ke penguasa setempat, yang kemudian mempengaruhi secara positif peradaban di Jawa Tengah saat itu, yang sebelumnya memang belum mengenal produk budaya tersebut.
[caption id="attachment_409556" align="alignnone" width="700" caption="(Ny farida Rendra Ariani, beristurahat sejenak sambil berpose di depan Kuil Sam Pook Kong, Semarang yang terkenal tersebut. / Photo by: Rendra Tris Surya)"]
Di Semarang pada Abad ke 15, masyarakat Cina Jawa di sana diajari oleh Zhengho untuk mengenal alat bajak besi. Bahkan kita mengenal jenis makanan popular Cina seperti Tahu, Tauco, Kecap, Bapao, Baso, Bapia dan lain-lain juga karena kedatangan Laksamana Zhengho dan anak buahnya ini. Zhengho juga memperkenalkan dan mengajarkan bagaimana membuat Buku dan Sistem Pertanggalan (Almanak).
Yang menarik, Laksmana Zheng Ho ini ternyata seorang Cina Muslim yang taat, sehingga dia dan rombongannya ikut pula menyebarkan Islam, terutama di kalangan etnik Tionghoa yang sebelumnya sudah bermukim di Semarang. Kuil Sam Pok Koong ini dahulunya merupakan mesjid yang bercorak arsitektur Cina, namun sekarang karena pertimbangan tertentu, berubah fungsi menjadi Kuil. Proses Islamisasi yang digagas oleh Laksamana ZhengHo iniberpengaruh pada hubungan kekerabatan antara pemeluk Islam pribumi dan pemeluk Islam lain dari etnik Tinghoa di Semarang yang terlihat bhingga kini akur dan harmonis (lihat lebih lanjut dalam buku Baha Zarkhoviche, “Laksmana Cheng Ho: Panglima Islam Penakluk Dunia”)
Suasana kelenteng terbesar di Indonesia ini di dominasi oleh warna merah cerah. Kemegahan Laksamana Zhengho tampak juga terpancar dari patung besar yang dipajang di bagian utara kuil. Uniknya, yang datang mengunjungi kuil ini tidak hanya warga turunan Cina, tapi juga masyarakat Jawa ddan sekitar Semarang, yang di antaranya banyak yang berkerudung (masyarakat Muslim). Oleh karena itu kuil besar ini sekarang menjadi salah satu objek wisata handalan kota Semarang.
Isteri saya yang suka mode dan fashion tersebut, tampak terkesima melihat ada tempat persewaan pakaian tradisional Tionghoa ala Zhengho di Kuil ini. “Yuk kita berphoto dengan pakaian tradisional seperti ni. Jarang ada lho di tempat lain!” katanya sambal menunjuk contoh photo yang dipajang. Ya, benar juga, ini unik! Akhirnya kami berdua ikut antri untuk membuat photo-photo cantik berpakaian “Adat Cina” warisan Laksamana Zhengho. Isteri saya yang kulitnya putih dan matanya agak sipit itu (karena berasal dari suku Palembang/Semeundo), memang ampak serasi dengan baju tradisional Cina berwarna merah menyala tersebut. Saya memilih warna biru yang agak kalem sebagaimana yang sering digunakan oleh panglima perang anak buah ZhengHo tempo dulu. Mungkin ini merupakan photo pakaian tradisional terbaik yang pernah kami buat. Mungkin juga karena arsitektur kuilnya yang terlihat bersih, mewah dan megah sebagai latar belakang photo-photo tersebut?
[caption id="attachment_411426" align="alignnone" width="662" caption="(Penulis boleh dong sedikit bergaya, ketika didandan mengenakkan pakaian tradisional Kekaisaran Cina tempo doloe bersama isteri di salah satu sudut Kuil Sam Pook Kong, Semarang. hehe2.... / Photo: dok pribadi)"]
Oleh-Oleh Pandanaran
Akhirnya, tanpa terasa hari pun semakin sore ketika kami meninggalkan lokasi Kuil Sam Pook Kong. Angkutan umum sudah mulai tampak jarang. Dan membuat kami harus berjalan kaki cukup jauh menyusuri pinggir jalan raya depan kuil dan jembatan menuju pemberhentian angkot merah di perempatan menuju ke pusat oleh-oleh di kawasan Pandanaran sebagai destinasi selanjutnya. Pandanaran merupakan pusat jualan makanan khas Semarang yang terkenal. Walaupun sebenarnya Lunpia dan Wingko Babat sudah mulai banyak dijual juga di berbagai supermarket berbagai kota besar Indonesia. Namun keistimewaan yang ada di sini, adalah variasi dan kelengkapannya. Ada Wingko Babat dengan aneka rasa yang dijual dengan harga jauh lebih murah. Yang menejutkan dan menjadi unik, ada juga tempat menjual oleh-oleh khas Semarang yang bisa dipesan (di-order) dari mana saja dari seluruh wilayah Indonesia (melalui Internet). Lha, kalau sudah begini, ini namanya bukan oleh-oleh khas dari Semarang lagi dong, ya? Hehe2… Ada-ada saja tuh ide penjual untuk tujuan menaikkan omsetnya...
[caption id="attachment_409560" align="alignnone" width="413" caption="(Asyik juga bila oleh-oleh khas suatu tempat bisa diorder dari mana saja di Indonesia (bahkan dari Luar negeri), melalui Internet. Sebagaimana kios makanan di Pandanaran Semarang ini. / Photo by: rendra Tris Surya)"]
Dari segi keragaman sebagai pusat oleh-oleh, tampaknya Pandanaran Semarang ini masih kalah jauh dengan pusat toko serba ada “Airlangga” atau “Krishna” di Kota Denpasar, Bali yang menjual segala macam oleh-oleh (bukan hanya makanan saja). Bahkan keragamannya masih kalah jugadengan toko serba ada “Trusmi” di Cirebon. Atau bahkan kawasan oleh-oleh di Cihampelas di kota Bandung. Di Kawasan Pandanaran ini masih didominasi oleh makanan, sehingga seharusnya lebih tepat diberi nama “Pusat Oleh-Oleh Makanan Khas Semarang”.
Malam di Simpang Lima
Tak terasa waktu berjalan terus hingga mendekati pukul 19:00 malam. Jadwal Kereta Apikami ke Bandung baru akan berangkat jam 22:30, maka kami menyempatkan diri terlebih dahulu dalam perjalanan ke stasiun buat singgah sejenak nongkrong sejenak di Simpang Lima. “Pengen tahu gimana sih suasana Simpang Lima Semarang waktu malam. Siapa tahu berbeda!” kata isteri saya. Ternyata lokasi kawasan Simpang Lima ini jauh lebih marak di waktu malam. Udaranya tidak lagi segerah di siang hari. Bahkan angin laut terasa berhembus agak kencang menyejukkan ke lapangan yang seluas lapangan sepakbola ini. Berbagai sewa sepeda dengan asesori lampu kelap kelip marak dijajakan buat hiburan anak-anak. Bapak dan Ibu yang terlihatbegitu sayang kepada anaknya, dengan ceria menemani anak-anaknya bermain sepeda tersebut sambil ikut berlari-lari kecil. Di sudut lain, tampak pentas alam “Happening Art” dari sekelompok mahasiswa yang mengekspresikan misinya, yang kali ini bertema penanggulangan AIDS, sambil menyodorkan kenclengen sumbangan kepada setiap pengunjung yang menonton aksinya. Hm, apakah ini bisa diartikan juga bahwa pergaulan remaja dan mahasiswa kota Semarang dalam taraf mengkhwatirkan, sehingga perlu dibuat acara mengingatkan mengenai bahayanya HIV/AIDS ?
[caption id="attachment_409562" align="alignnone" width="640" caption="(Jika gerah dan panas di siang hari. Maka kawasan "singpang Lima" terasa adem dan sejuk di malam hari karena angin laut yang bertiup sepoi-sepoi bersuhu rendah. Banyak masyarakat kemudian membawa keluarganya ke tempat ini bersantai sejenak, menyewa berbagai jenis kenderaan buat anak-anak bermain.. / Photo by: Rendra Tris Surya)"]
Jam 21:00, kami kembali ke stasiun Tawang. Rasa lelah mulai menjalar perlahan membuat badan agak lesu dan mata mengantuk. Kami segera masuk ke gerbong Kereta Api “Herina” yang sudah parkir di jalurnya. Hiruk pikuk suasana stasiun malam itu sudah tidak begitu kami hiraukan lagi. Mungkin karena capek, kami pun tertidur pulas di kursi empuk kelas eksekutif dengan kualitas udara AC yang memang segar dan terasa nyaman. Saya pasang earphone di kuping mendengar music kesayangan seperti biasa, agar tidak terganggu suara dari luar. Lalu sayup-sayup dari HP Phillips Stereo saya suara permainan Piano Tunggal Jaya Suparana, yang begitu apik mengubah lagu tradisional Jawa berjudul “Jenang Gulo”, menjadi musik instrumen piano Klasik Pop yang sangat menyentuh. Sentuhan tuts pianonya yang pelan (socrato) namun terukur dan terasa power dalam dentingan nada tertentu mengiringi syair berikut….
jenang gulo
kowe ojo lali
marang aku iki cah ayu
nalikane nyandang susah
sopo sing ngancani
Jaya Suprana merupakan salah seorang tokoh yang sangat dibanggakan masyarakat Kota Semarang saat ini. Dia bukan saja pengusaha “Jamu Jago” yang sukses, namun juga seorang budayawan dan musisi yang piawai. Kecintaannya terhadap budaya Jawa yang begitu besar, tercermin dari berbagai sheet patitur piano gubahannya mengenai lagu-lagu etnik Jawa yang kini menyebar ke seantero menjadi bahan pelajaran serius di berbagai Akademi Musik. Lagu kroncong sederhana “Jenang Gulo” ini misalnya, kini menjadi megah dan berjiwa. ”Saya mencintai budaya Jawa melebihi piano klasik kesayangan saya ini..,” katanya sambil tersenyum dalam suatu wawancara, sambal mengelus Grand Piano mahalnya itu.
***
Derak suara roda kereta pun perlahan mulai terdengar sayup-sayup menggesek rel, menggerakkan Kereta “Herina” berjalan menuju Bandung. Namun, goncangan kecil kereta yang hendak berangkat tersebut, tak mampu mengusik tidur lelap kami yang tampak kelelahan dari berpetualang seharian ala Backpacker kota di Semarang….…….
(TAMAT)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H