Denpasar, Sabtu November 2011 bercuaca cerah. Teringat bisikan seorang teman seminggu sebelum ke Denpasar. “Ren, jangan lupa makan ikan bakar dan minum es kelapa muda di Pantai Jimbaran, sambil menikmati suasana matahari terbenam. Belum ke Bali namanya, kalau belum ke sana…!” katanya meyakinkan. Kalimat itu teriang kembali ketika dr Zakaria Adam (teman semasa SMA di Lhokseumawe Aceh), sedang memanaskan mobil Alphard hitam kesayangannya yang akan membawa kami ke pantai Jimbaran. Aneh juga, bahwa teman dokter spesialis kandungan yang terkenal di kota Denpasar ini, belum pernah ke Jimbaran meskipun sudah lebih dari sepuluh tahun bermukim di pulau Bali. “Ah, apa yang menarik dari kampung nelayan itu..?“ tanyanya bercanda.
***
Menuju Jimbaran
Memang benar, Jimbaran mulanya hanyalah sebuah desa nelayan miskin yang hampir terlupakan dari hiruk-pikuk dinamika kehidupan pariwisata di Bali. Meskipun jaraknya hanya sekitar 15 km saja dari kota Denpasar ibukota Propinsi. Namun kecanggihan rekayasa pariwisata Bali telah mengubah kawasan ini menjadi buah bibir. Mungkin, karena apa pun yang dibuat dan dijual di Bali akan bergema dan bergaung luas ke mana-mana, termasuk ke manca negara. Jimbaran merupakan salah satu kawasan wisata “baru” yang beruntung menjadi terkenal mendadak sejak tahun 2005, ketika Lady Diana (putri kerajaan Inggris yang menjadi tamu negara saat itu) berkunjung ke sini mencicipi ikan bakar yang memang digemarinya jika berpergian. Pada waktu itu, hanya terdapat beberapa warung ikan bakar sederhana saja di Jimbaran.
Namun saat ini, warung-warung ikan bakar sederhana Jimbaran itu sudah menjelma menjadi sederetan restoran seafood terkenal bertaraf Internasional (artinya juga makanan yang disajikan bertarif menu dalam dollar). Jika dirupiahkan, harga minimal ikan di sana Rp 100.000/kg. Bahkan ada yang sampai Rp 350.000/kg untuk jenis ikan-ikan khas tertentu, termasuk ikan Hiu bakar yang akhir-akhir ini mulai populer. Hotel-hotel berbintang juga mulai marak bermunculan di sekitar kawasan ini.
Dengan rasa penasaran, kami meluncur menerobos ke macetan lalu lintas kota Denpasar melewati daerah Renon, Tabanan lalu ke arah sisi kiri bandara Ngurah Rai menuju ke kawasan selatan pulau Bali. Setelah melewati pemandangan sawah-sawah pedesaan indah khas Bali tersebut, kami sampai di pantai Jimbaran pada pukul 16.15 sore.
Di pinggir restoran pantai tersebut terlihat perahu-perahu nelayan tradisional teronggok di sudut jauh, dan para tukang parkir restoran yang terlihat berpakaian rapi dan necis sibuk mengatur deretan mobil yang semakin sore semakin banyak berdatangan. Sejenak kami bingung memilih, restoran mana yang view-nya paling baik. Setelah memesan menu di salah satu restoran, kami duduk menunggu di meja tersisa (sebagian besarternyata sudah full-booked/dipesan untuk hari Sabtu sore itu). Kami larut dalam keramaian pengunjung yang tertib di meja masing-masing menunggu Senja. Sekali-kali terlihat pesawat dari kejauhan take-off hampir setiap 10 menit sekali dari Bandara Ngurah Rai, salah satu bandara tersibuk di Indonesia. Lokasi Jimbaran masih berada dalam satu kawasan yang merupakan bagian luar dari bandara tersebut.
Senja pun “Jatuh”
Setelah lebih dari 30 menit menunggu sambil ngobrol, tiba-tiba suasana alam pantai Jimbaran mulai berubah secara perlahan. Langit semakin ditutup oleh cahaya jingga dan kemudian menjadi agak kegelapan seiring dengan perubahan waktu yang semakin sore. Sinar matahari yang cerah pada sore itu perlahan-lahan berubah menampilkan pertunjukkan prosesi alam yang selalu menarik hati banyak orang, yaitu “SUNSET” (senja). Warna jingga ke gelapan itu kemudian mengubah suasana menjadi romantis, bahkan terkesan melo dan magis. Sejenak semua pengunjung merasa seperti "mengawang" entah sedang berada di alam mana...
Terlihat pasangan muda tergesa-gesa menuju ke bibir pantai dengan mendekati tepi laut sambil berpegangan dan berpelukan erat, entah apa yang saling dibisikkan. Angin semilir laut semakin dingin menusuk kulit. Perlahan-lahan senja itu kemudian terlihat jatuh di kaki langit horizon pantai Jimbaran. Keramaian suara obrolan dari kerumunan pengunjung tiba-tiba terhenti sejenak. Suasana kemudian sesaat menjadi senyap….! Pelayan restoran dengan cekatan menyalakan lilin-lilin di meja pengunjung sambil meletakkan menu santapan ikan bakar serta es kelapa muda yang dipesan. Pesawat dari Bandara Ngurah Rai seperti ikut merayakan prosesi alam indah ini dengan terus tak henti-hentinya tinggal landas dari kejauhan menambah aksentuasi suasana …
(Keterangan Photo: Deretan meja restoran tampak berjejer mengikuti garis pantai. Di sini para pengunjung menunggu senja sambil mengobrol dan memilih pesanan kuliner khas Jimbaran yang diinginkan / photo by: Rendra Trisyanto Surya)
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Warna jingga SENJA akhirnya mendominasi langit pantai Jimbaran. Jepretan sinar bliz kamera pengunjung kemudian terlihat marak mengabadikan momen ini. Desir-desir ombak pun terdengar sayup-sayup, mengingatkan masa kecil saya yang akrab dengan aroma laut seperti ini di Aceh. Dan suasana yang mengingatkan juga dengan deretan restoran di kawasan perbukitan Dago Pakar di Bandung (Jawa Barat), yang juga sering digunakan untuk menikmati makan malam bersama jatuhnya senja. Sekali-kali di Dago tersebut, juga terlihat pesawat-pesawat take off dari Bandara Husein Sastranegara.
Hanya perbedaannya, di Jimbaran dalam nuansa pantai, sedangkan di kawasan Dago di kota Bandung bernuansa pegunungan. Kedua-keduanya sama, yaitu "menjual" sinopsis bergantian alam sore menjadi malam yang diselingi dengan “senja jatuh di kaki langit“. Suasana yang selalu oleh banyak orang di mana pun untuk sejenak mengusir kejenuhan dari berbagai kegiatan rutinitas tinggi ketika “bersembunyi” dalam tembok gedung-gedung perkantoran berbagai kota besar, dari pagi hingga malam. Mereka kemudian tidak lagi sempat menyaksikan fenomena Alam anugerah Tuhan yang indah ini. Lalu mencarinya, membelinya di Pantai Jimbaran ketika sedang mengunjungi Bali. Atau di kawasan Dago Pakar ketika sedang mengunjungi kota Bandung.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
****
Ketika Prosesi pun Usai
Hampir setengah jam prosesi Alam ini berlangsung dengan hikmat. Ketika semua akhirnya usai, maka satu persatu pengunjung meninggalkan tempat duduk masing-masing. Pantai Jimbaran yang terkenal ini pun lalu ditinggal pengunjung bersama dengan jejak-jejak kaki di pasir putih yang berserakan. Restoran-restoran yang tadinya hiruk-pikuk itu, lalu perlahan kembali sunyi seperti semula, kembali bernuansa "kampung nelayan" sebagaimana aslinya.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sekelompok pengamen mendatangi beberapa meja pengunjung yang tersisa, menghiburnya dengan menyanyikan beberapa lagu ceria. Syair lagu “La Paloma” yang ber-irama Latin itu, sayup-sayup terdengar mengakhiri prosesi Alam SENJA di Jimbaran ini..…
Cuando sal de la habana,
ilgame dios Nadie me ha visto salir sino fu
yo Y una linda guachinanga como una flor Se vino detr¡s dem,
que si seor…
……………..
****
Ya, betapa akhirnya SENJA begitu mudah menyentuh hati banyak orang. Terlebih-lebih, jika suasana senja itu "jatuh" di kaki langit pantai Jimbaran-Bali yang terkenal. Senja yang setiap hari tak jemu-jemunya mencumbu batas horison lautan nan luas itu. Suasana yang kemudian membangkitkan romantisme tersembunyi di dalam relung-relung hati sanubari pengunjung.
Angin laut dan angin semilir dari arah pantai berhembus sepoi-sepoi menyebarkan aroma ikan khas Jimbaran bersama suara deru-deru ombak. Menjadi momen kenangan tak terlupakan bagi setiap orang yang telah mengunjunginya. Karena di sini, mentari sore Pulau Bali menjadi senja yang "jatuh" di kaki langit Pantai JIMBARAN, serta direlung hati para pengunjung…….
(Keterangan photo: Ketika SENJA itu usai mempertontonkan keindahannya, maka yang kemudian tertinggal di Pantai Jimbaran adalah perahu-perahu nelayan tradisional , yang esok subuh siap melanjutkan aktivitas rutinnya )
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
(Penulis: Rendra Trisyanto Surya, dosen dan penggemar Travelling, tinggal di Bandung. Tulisan ini pernah ditulis dan di-upload di account Kompasiana saya yang lama di www.kompasiana.com/www.Rendratrisblog.Blogspot.com, yang kemudian sekarang ditulis ulang, dimodifikasi dan dipindahkan ke Account ini, karena account yg lama tersebut sudah tidak diaktifkan kembali)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H