Sejak Desember 2012, ada satu profesi baru bertambah, yaitu menjadi Asesor yang kemudian mengantar saya mengunjungi kota Semarang di Jawa Tengah selama beberapa hari. Di tengah tugas tersebut, saya manfaatkan ber-backpacking di Kota Lunpia dan Wingko babat ini. Jadi, profesi saya di kartu nama kini menjadi agak panjang: Dosen, Peneliti Terapan (Applied Researcher), Auditor TI, Trainer Sertifikasi (mengajar persiapan ujian sertifikasi internasional di bidang IT Management), IT Compliant Consultant, Travelling Writer and Asesor. Mudah-mudahan, profesi-profesi tersebut akan mengantar saya melalang buana lebih jauh lagi sehingga bisa menulis artikel seperti ini lebih banyak lagi. Khusus asesor uji kompetensi Teknisi Akuntansi ini: entah mengapa, sejak dua tahun sejak memperoleh sertifikasi sebagai penguji nasional ini, belum juga ditugaskan.
Hingga kemudian, suara halus staf administrasi LSP TA - BNSP di ujung telpon sana akhirnya menyapa, “Pak Rendra, siap ditugaskan sebagai asesor uji kompetensi ke TUK Polines di Kota Semarang, Jumat dan Sabtu 28-29 November 2014 lusa? Tapi, jangan kaget ya. Honornya tidak besar lho! (hehe2.), hanya Rp 2,7 juta mencakup semua ongkos perjalanan, penginapan, honor dan lain-lain. Mudah-mudahan bersedia ya pak..?”
Saya senang mendapat tugas kali ini. Dan tentu saja, saya bersedia. Karena bukankah sudah menjadi komitmen sejak dua tahun lalu ketika mengikuti pelatihan asesor lima hari yang melelahkan itu, untuk selalu siap ditugaskan ke mana saja? Profesi asesor ini memang bagi saya bukan semata-mata dimotivasi oleh uang. Profesi ini saya ambil karena saya senang melakukan pekerjaan apa pun yang belum pernah saya lakukan. Terlebih-lebih, jika pekerjaan tersebut memungkinkan saya ke kota yang belum pernah dikunjungi, dan dengan frame waktu yang “santai”, tidak “grusa-grusu”. Di sini kemudian, biasanya di sela-sela waktu tugas itu saya menyalurkan hobi “berpetualang” ala backpacker ke objek wisata unik di tempat tujuan baru tersebut. Bisa satu hari sebelum hari H penugasan, atau sehari setelahnya. Bukankah seorang traveler presenter terkenal dari National Geographic TV Channel, yaitu Diego Bunuel selalu mengatakan diakhir setiap acaranya: “bahwa selalu ada hal-hal yang menarik dari setiap perjalanan, sesederhana apa pun perjalanan yang anda lakukan itu? So, enjoy it!”
***
“Mau ke Semarang? Wah, asyik bisa makan Lunpia dan Wingko. Ikut dong..?” isteri saya yang selalu menjadi "asisten" hampir di setiap saya “berpetualang”, akhirnya ingin pula bergabung. “Ok, boleh! Tapi janji, harus siap ‘merih’ nih karena dengan perjalanan ala Backpacker yang murah meriah dan terkadang kurang nyaman,” jawab saya. Akhirnya seperti biasa, saya menyiapkan itinerary dan mencari informasi di google terlebih dahulu. Maklum, sudah lebih dari 35 tahun saya tidak pernah ke Semarang lagi.
Dalam persiapan ini, saya memutuskan berangkat ke tempat tugas tersebut satu hari lebih awal dari jadwal yang ditentukan. Maksudnya agar tugas tersebut tidak terganggu oleh kegiatan traveling ini. Untuk menghemat, maka tiket kereta api eksekutif yang saya terima tersebut, saya ubah menjadi tiket kelas ekonomi agar menjadi dua tiket. Akhirnya jam 21:30, hari Rabu malam kami berangkat ke Semarang menggunakan Kereta Api “Herina”, satu-satunya kereta api yang ada dari Bandung ke Semarang. Surprise! Ternyata prosedur pembatalan dan perubahan tiket KA sekarang ini mudah banget. Sudah lama juga saya tidak ke stasiun Bandung, yang ternyata wajahnya berubah banyak. Tampaknya tak kalah dengan stasiun KA di luar negeri. Kini tampak bersih, tertib dan petugas yang melayani terlihat lebih ramah. Calo-calo tiket tak tampak lagi berkeliaran seperti dulu. Benar kata banyak media, bahwa PT KAI di bawah kepemimpinan Ignasius Jonan (yang sekarang Menteri Perhubungan), telah berhasil mengubah penampilan fisik stasiun sebagai sentra pelayanan (hospitality?). Meskipun tiket kelas ekonomi kini ternyata lebih mahal, yaitu Rp 170.000 per tiket dan menggunakan satu kursi penjang untuk tiga orang. Namun gerbong ini bertambah fasilitasnya: dilengkapi dengan AC yang lebih nyaman dan peringatan “Dilarang Merokok”. Sehingga jauh dari kesan kumuh sebagaimana kelas Ekonomi di era sebelumnya. Kebetulan kami berangkat di hari kerja, sehingga bangku panjang tersebut praktis hanya diisi oleh satu orang saja (banyak yang kosong), karena penumpang sepi. Kursi berwarna hijau itu pun menjadi tempat yang santai dan lumayan nyaman buat tidur selonjoran di sepanjang perjalanan selama 7,5 jam tersebut menempuh jarak 450 Km.
Banyak hal yang bisa dilakukan dalam waktu panjang itu. Saya mulai membaca-baca kembali print out hasil googling. Diantaranya mencari penginapan kost harian yang mulai tumbuh di hampir semua kota besar di Indonesia saat ini. Kost harian yang ekslusif biasanya lebih murah dari tarif hotel, namun tetap nyaman dan aman.
Faktor penginapan (selain biaya transport), biasanya merupakan biaya terbesar dalam setiap perjalanan seorang Backpacker. Jatah menginap saya di hotel bintang tiga, yang Rp 500.000 untuk penugasan dua malam itu, kemudian saya ubah menjadi Rp 125.000 per malam untuk berdua dengan isteri, menginap di kost harian putri yang no telponnya saya temui di google. Suara ramah di ujung telpon sana merespon ketika kami telpon. “Oh mencari kamar? Ada, kita tunggu ya di Jl Klenteng sari, Tembalang, Semarang Atas. Iya, betul! Lokasi kost-kostan kami memang dekat dengan kampus UNDIP dan Politeknik Negeri Semarang,” sahut Ibu Sisca, suara yang ramah itu menjelaskan. Saya sengaja memilih kost-kostan putri, karena pasti lokasinya lebih tenang, tertib, tidak banyak suara orang tertawa keras dan ngobrol-ngobrol begadang hingga larut malam, sebagaimana kost-kostan putra umumnya. Uniknya, aturan di Semarang untuk kost-kostan putri memang hanya untuk wanita. Namun, kalau pria mau nginap boleh, asal membawa isteri.
***
Karena mata terasa belum terasa mengantuk, lalu di atas Kereta Api malam yang melaju dengan kencang itu, saya mulai membaca-baca informasi tentang kota Semarang lebih detail. Kota ini berpenduduk 2,5 juta jiwa, terdiri dari dua wilayah utama, yaitu Kota Bawah dan Kota Atas. Kota Bawah lebih merupakan pusat kota dan bisnis yang dekat dengan laut, sehingga udaranya terasa lebih gerah dan sering terkena banjir rob. Sebaliknya, Kota Atas berada di perbukitan yang berudara lebih sejuk. Terbayang kemudian karakter masyarakat pesisir yang garang, keras, ceplas-ceplos, jarang senyum dan tidak ramah. Akan tetapi, setelah tiba di sana, ternyata gambaran stereotype tersebut keliru! Orang Semarang sangat ramah. Keramahan orang Semarang boleh disetarakan dengan keramahan masyarakat Solo dan Yogyakarta. Sepertinya ada warisan budaya dan nilai yang sama yang membuat masyarakat pesisir ini berbeda. Apakah karena sama-sama berada di kawasan Jawa Tengah dengan kultur Jawa kental yang dipengaruhi oleh Budaya Mataram?
Pukul 5:45 pagi kereta Herina akhirnya masuk ke stasiun Tawang. Cuaca cerah dan terang, namun stasiun itu tampak sepi. Stasiun terbesar di Jawa Tengah ini terlihat tertata rapi, bersih dan tertib. Arsitektur peningalan Belanda yang menjadi gedung utama stasiun tampak terawat. Saya sempat membuat beberapa photo dengan latar belakang gedung berarsitektur ART DECO peninggalan Belanda ini, dengan menggunakan nuansa warna sepia. Kami kemudian keluar stasiun, ketika kemudian seorang supir taksi berkumis tebal dengan senyum ramah dan terlihat sopan menawarkan jasa taksinya. Sebenarnya kalau kami sedikit mau bersabar bisa lebih murah dengan naik “Semarang Bus Transit” yang punya halte di depan ujung kanan stasiun ini. Bus ini mulai beroperasi mulai pukul 08:00 pagi. Artinya dengan menunggu satu jam saja akan dapat menghemat banyak. Tiket Bus kota hanya Rp 3.500 dan bisa kemana saja seantero kota Semarang. Tapi karena ketidak tahuan mengenai hal ini, kami pun naik taksi dengan melewat jalan tol (biar cepat), karena dikira jauh jaraknya menuju ke Kecamatan Tembalang tujuan kami ini. Untuk taksi yang cuma 15 menit perjalanan, mengeluarkan ongkos lumayan, yaitu Rp 70.000. Apakah argo taksi kota Semarang juga banyak yang menggunakan argo kuda, ya..?Hehe2...
(Suasana di Stasiun KA Tawang, Semarang pada jam 5:45 pagi. Beberapa penumpang tampak menunggu di peron sebelum keluar / Photo by: Rendra Tris Surya)
Jalan tol yang kami lalui terlihat sederhana. Tidak semulus jalan tol Jakarta sih... Namun cukup efektif buat masyarakat Semarang, kata sang supir taksi, buat mengatasi kemacetan kota yang juga kerap terjadi pada jam-jam sibuk. “Penyakit” untuk kemacetan ini yang sudah merata di seluruh ibukota propinsi di Indonesia, memang adanya jalan tol seperti ini. Fenomena kemacetan di kota-kota besar Indonesia ini inidikator suksesnya proses pembangunan yang lebih banyak kemudian dinikmati oleh masyarakat kelas menengah yang rata-rata memiliki mobil pribadi tersebut?
Sebagaimana biasanya, di sepanjang jalan tol ini juga supir taksi (sebagai local people), saya minta bercerita banyak tentang kota Semarang, termasuk jalur-jalur yang kelak akan kami lalui dengan angkutan umum esok hari ketika ber-backpacking. Dia pun dengan ramah menjawab berbagai pertanyaan saya. Penduduk lokal selalu menjadi informan yang efektif dalam perjalanan yang kita lalui agar tetap menjadi terarah dan efisien.
Akhirnya kami sampai di tempat kost-kostan mahasiswi di Tembalang, dan beristirahat santai hingga pukul 10:00 pagi. Kamar penginapan kami (sebagaimana kost-kostan), tentu saja berukuran kecil namun bersih. Dilengkapi dengan dua kasur besar dan kipas angin, serta kamar mandi dalam. Namun kamar sederhana ini terasa begitu nyaman untuk beristirahat. Di dukung pula dengan suasana lingkungan kost yang sepi dan hening. Ternyata untuk dapat tidur nyenyak itu tidak perlu harus berada di kamar hotel yang mahal, bukan? Tarif kamar kost yang murah namun nyaman ini, membuat saya tidak perlu berpikir harus cepat-cepat pulang ke Bandung. Santai ah… Kamarnya khan murah ini? Hehe2…
(Keterangan Photo: Vandalisme, ternyata terjadi di mana-mana. Papan rute bus kota di halte depan Patung Kuda Tembalang penuh dengan goresan dan coret-coretan yang mengekspresikan eksistensi dari sebagian remaja kota Semarang. Informasi penting menjadi terganggu memang dengan coretan begini. Namun secara sosial menarik juga untuk diamati, mengapa mereka menulis hal-hal yang termasuk ranah pribadi begini di ruang publik seperti ini? / Photo by: Rendra Tris Surya)
-------------------------------------------------------------------------
Setelah "balas dendam" tidur karena begadang di sepanjang perjalanan malam sebelumnya di kereta, maka Kamis 27 November 2014 pukul 13:00 petualang hari pertama di kota Semarang pun kami mulai. Saya buka kembali informasi dari Google untuk mencari apa saja objek wisata yang layak didatangi di kawasan kota Semarang. Di Internet ada website (blog) yang menyodorkan sebanyak 20 objek. Wah, banyak amat, ya..?! Namun setelah saya teliti ternyata banyak yang tidak memenuhi persyaratan saya. Diantaranya objek-objek tersebut: tidak indah atau unik! Pantai Marina misalnya, apa istimewanya? Bukankah pantai di mana-mana sama saja? Buat saya pantai-pantai yang unik itu, seperti Sanur (Bali), Senggigi (Lombok) atau Waikiki (Hawaii) yang punya ciri khas dengan kontur tertentu yang tiada duanya.
Akhirnya, objek-objek wisata itu saya susutkan menjadi 10 objek saja. Lalu setelah mendiskusikan dengan isteri berdasarkan jarak jangkauan dan waktu yang dimiliki. Maka akhirnya tinggal tujuh objek saja yang akan kami prioritaskan untuk dikunjungi selama dua hari ber-backpacing di Kota Semarang ini, yaitu: Gedung Lawang Sewu, Simpang Lima, Toko Makanan Tempo Dulu ”OEN”, Mesjid Agung, Kuil Sam Pok Kong, Pusat Oleh-oleh Pandanaran dan Kota Lama (Kota Tua). Tempat-tempat ini saya nilai memiliki kekhasannya tersendiri yang berbeda dari tempat lain (unik), sehingga memang layak dikunjungi!
Kami pun kemudian berjalan kaki kurang lebih satu kilometer keluar dari tempat kost menuju simpang tiga UNDIP (karena tidak ada angkot di area perumahan ke sini), sambil melihat-lihat situasi, kami mencari sarapan pagi dengan makanan khas Semarang seperti Mie Jawa dan makanan-makanan yang biasa ditemukan di Steet Food. Selesai sarapan (atau makan siang ini ya?). Dan bertanya bertanya sana-sini, kami kemudian naik angkot warna kuning menuju ke arah Patung Kuda (Patung Pangeran Dipenogoro), yang kemudian disambung dengan menaiki “Busway” menuju ke kawasan Kota Bawah, yaitu ke Simpang Lima. Di sepanjang jalan yang dilalui, tampak kontur kawasan kota Semarang Atas yang khas, berbukit-bukit. Dilihat dari bangunannya, kawasan ini tampaknya lebih banyak dihuni oleh pejabat dan kalangan elite masyarakat Semarang. Pemukiman masyarakat elit ini mungkin meneruskan era perumahan para meneer Belanda tempo doeloe yang memang menyukai lokasi perbukitan, karena banyak pohon dan berudara sejuk. Yang menarik bagi saya adalah view halaman belakang dari rumah dinas Pangdam Kodam Diponegoro. Dari belakang halamannya terlihat jelas view yang cukup indah dan membuat betah. Menampilkan dari kejauhan kota Semarang Bawah yang terkadamg bercampur dengan awan tipis menggantung, yang kemudian menciptakan view unik tersendiri. Mungkin dulu bangunan ini bekas kediaman residen jaman Belanda.
(Keterangan Photo: Patung Kuda/Patung Pangeran Dipenegoro yang menjadi ikon Universitas Diponegoro/UNDIP itu, menjadi penanda kawasan kampus Tembalang, Semarang yang terkenal itu. Di sini Politeknik Negeri Semarang/POLINES menjadi bagian dari kawasan kampus tersebut / Photo by: Rendra Tris Surya)
------------------------------------------------------------------------------
Ketika jam menunjukkan pukul 13:30 siang, kami sampai di kawasan Simpang Lima, yang merupakan kawasan pusat bisnis dan lokasi paling sibuk di Kota Semarang. Ada semboyan yang mengatakan “belum ke Semarang nih, kalau belum ke Simpang Lima Alun-alun!”. Tapi setelah kurang lebih 30 menit kami nongkrong-nongkrong di sini sambil ngobrol dengan tukang becak dan penduduk lokal, rasanya lokasi ini tidak ada yang istimewa. Ada lapangan sebesar lapangan sepakbola di tengah keramaian padat lalulintas kota. Lalu beberapa mall besar, yang tampaknya sama saja sebagaimana di kota-kota besar lain di Indonesia. Bahkan Hotel Ciputra yang megah di sudut kawasan, biasa-biasa saja sebagai objek wisata, sebagaimana halnya sebuah hotel bintang lima. Mesjid Raya di sudut lain juga tampak terlalu biasa untuk dijadikan sebagai landmark dan objek wisata. Ramai lalu lintas yang mengitari bundaran dari berbagai arah itu, juga tidak istimewa. Isteri saya tampak terlihat sedikit putus asa. “Lho kok begini saja kawasan yang katanya harus dilihat itu?” celetuknya.
Maka kami pun melanjutkan perjalanan dengan naik taksi yang banyak parkir di kawasan ini, untuk diantarkan ke gedung Tua “Lawang Sewu” sebagai destinasi selanjutnya. Karena kami sempat bingung, mau naik angkot yang mana untuk menuju ke objek wisata tersebut. Ternyata hanya sekitar 15 menit saja perjalanan dari Simpang Lima dengan ongkos taksi sebesar Rp 15.000. “Nah, ini baru objek wisata yang unik!” kata saya dalam hati saat tiba di Gedung Lawang Sewu tersebut. Seni arsitektur gedung yang dahulunya merupakan kantor pusat kereta api se Jawa di era kolonial Belanda ini, sangat khas dan indah. Saya rasa, ini gedung kedua peninggalan Belanda di Indonesia yang tercantik yang pernah saya lihat (catatan: setelah Gedung Sate di Bandung). Di sini hampir selama dua jam saya mondar mandir menikmati keindahan arsitektur gedung ini yang tampak terawat dengan baik. Sambil membuat puluhan photo, yang hingga tak terasa telah lewat magrib, yang membuat gedung angker ini semakin terasa mistik dengan munculnya cahaya lampu-lampu temaram. Banyak orang takut karena mendengar kisah angker Gedung Lawang Sewu ini, terutama terowong bawah tanahnya. Saya sempat masuk ke berbagai ruang seorang diri, dan berdiri juga bulu kuduk ketika membayangkan noni-noni dan meener Belanda di jaman dahulu sering mengadakan pesta dansa-dansi di sini. (catatan: Aristektur Gedung “Tawang Sewu” akan saya tulis lebih detail dalam artikel tersendiri!)
(Keterangan Photo: Salah satu sudut di kawasan Simpang Lima kota Semarang di siang hari. Mal besar dan hotel berbintang meengelilingi kawasan sentra bisnis dan perkantoran ini. Lapangan luas di tengah menjadi semacam oase bagi masyarakat yang ingin beristirahat sejenak dari gerahnya udara kota Semarang / Photo by: Rendra Tris Surya)
-----------------------------------------------------------------------------------
Di depan gedung Lawang Sewu terdapat Tugu (Pahlawan) yang dikelilingi taman yang asyik juga buat nongkrong buat sejenak menghirup udara malam di tengah padatnya arus kendaraan. Tampak beberapa muda-mudi duduk berhimpitan di tengah gerahnya udara kota Semarang. Bercanda menikmati angin malam yang terasa sepoi-sepoi. Lokasi ini bagus juga buat dijadikan objek photo. Permainan cahaya lampu lalu lintas, gedung Lawang Sewu di latar belakang dan taman, dapat dijadikan silhoute. Sayang, saya tidak membawa Tripod dan hanya menggunakan kamera saku sederhana.
Pukul jam 20:00, kami kemudian melanjutkan perjalanan mencari becak untuk meminta diantarkan menyusuri jalan Pemuda yang tidak jauh dari Gedung Lawang Sewu mencari kafe peninggalan jaman Belanda yang kesohor, yaitu toko makanan "OEN". Setelah tawar menawar ala becak Semarang, disepakati ongkos Rp 15.000 menyusuri jalan panjang ini mencari lokasi toko “OEN” yang legendaris tersebut. Ini adalah café pertama di kota Semarang yang didirikan tahun 1938, khusus menjual aneka makanan, roti dan es krim berdasarkan resep khas Belanda tempo doeloe, yang uniknya hingga kini masih dipertahankan sama. Setelah setengah jam berbecak ria di sepanjang jalan Pemuda yang lebar dan panjang ini, akhirnya kami menemukan lokasi café OEN yang terlihat antik dan tampak seperti dibiarkan catnya menua sebagaimana aslinya di tahun 1930-an, meskipun berada di tengah gedung-gedung lain yang mentereng. Beberapa mobil pengunjung tampak parkir, ditumpangi oleh orang-orang tua turunan Cina Semarang sedang memasuki toko dengan dituntun anak-cucunya. Aneka kue jaman Belanda itu dipajang di etalase seperti aslinya tempo doloe. Setelah puas melihat-lihat aneka kue yang beberapa di antaranya sering saya temui ketika saya kecil itu di kota Medan. Kami memesan es krim kelapa yang terkenal khas dan menjadi favorit tentara Kumpeni sewaktu di jaman kolonial. Sayup-sayup kemudian dari ruang dalam terdengar music live dengan lagu yang dinyanyikan oleh seorang wanita berumur menyanyikan lagu-lagu slow tempo doeloe berbahasa Belanda, diiringi piano tua. (Catatan: Mengenai Toko OEN lebih detail akan ditulis dalam artikel tersendiri!)
(Keterangan Photo: Penulis berpose di depan gedung"Lawang Sewu" yang katanya angker. Silhoute bayangan dan cahaya lampu malam memberi kesan gedung ini terkesan semakin "magis" / Photo by: Ny Farida Rendra)
-------------------------------------------------------------------
Setelah hampir satu jam kami nangkring di sini, jam 21:00 kami pulang. Ternyata busway Semarang sudah tidak tampak lagi. Jalan satu-satunya adalah naik angkot berwarna merah yang lewat di depan toko Oen, kata tukang parkir yang kami tanya. Angkot merah ini menuju ke arah kawasan Semarang Atas (Banyumanik) dan melewati Java Mall. Kami turun di depan mall ini setelah 45 menit perjalanan untuk berganti angkot. Namun, tiba-tiba mata saya melihat warung tenda di seberang jalan dengan tulisan aneka makanan pecel madiun. Pecel, terutama pecel Madiun, merupakan makanan Street Food favorit saya. Surprise! Warung tenda sederhana ini ternyata penjualnya orang Semarang amoy turunan Cina. Dia bersama ibunya dengan ramah, dan dengan logat Jawa medoknya melayani setiap pembeli. Jarang kita melihat masyarakat turunan Cina mau membuka warung tenda sederhana seperti ini. Ini uniknya dinamika masyarakat bisnis Kota Semarang. Masyarakat Cina di sini yang populasi hampir 30% dari penduduk kota, dan sangat menentukan roda perekonomiaan bisnis Semarang itu terlihat low profile. Mereka tekun berbisnis di segala lapisan, mulai dari kelas UKM hingga konglomerasi seperti Jamu Jagonya Jaya Suprana. Niken, nama amoy ini, terlihat unik di mata saya. Karena biasanya pedagang turunan Cina berbisnis dengan menempati mal, bukan warung tenda. Maka saya bertanya iseng kepadanya: “Kenapa tidak berjualan di seberang sono?” (maksud saya di Java Mall) “Wah, mahal pak. Tidak punya duit!” kata Niken tampak aapa adanya, sambil senyum menjawab pertanyaan iseng saya.
Kelompok mayoritas lain yang membentuk masyarakat kota Semarang, adalah etnik dari turunan Arab dan Jawa. Menariknya, di sini ketiga kelompok masyarakat kota Semarang ini tampak membaur dengan baik. Asimilasi sempurna yang terjadi sejak ratusan tahun lalu tersebut, sudah sering kali tidak disadari lagi oleh yang bersangkutan, karena berlangsung secara alamiah dan jangka panjang. Oleh karena itu, cukup sering kita temukan orang Semarang yang bermata sipit, namun dia tidak pernah merasa merupakan turunan Cina.
(Keterangan Photo: NY Farida Rendra yang selalu menemani backpacking saya berpetualang ini, sering menjadi objek photography saya. Dia tampak kelelahan ketika tetap duduk di becak yang kami tumpangi saat tanya sana sini menelusuri jalan Pemuda mencari lokasi Toko kue OEN. Ternyata banyak orang Semarang malah tidak mengetahuinya / Photo by: Rendra Tris Surya)
----------------------------------------------------------------
Setelah menikmati makan malam di warung tenda Niken, jam 22:00 kami melanjutkan perjalanan menyambung angkot menuju ke kawasan Tembalang tempat penginapan. Supir angkot muda yang tampak ditemani teman wanitanya duduk di depan tampak tidak biasa. Kalau di Jakarta mungkin disebut “okem” (preman), karena banyak tattonya. Tapi uniknya, mereka tetap tampak sopan dan ramah terhadap penumpang di tengah malam tersebut. Ini salah satu indikator bahwa saat ini faktor keamanan dan tingkat kriminilitas di kota Semarang sudah jauh lebih beerkurang dan terkendali. Dalam setiap kesempatan, hampir tidak terlihat juga ada anak-anak muda bertato di jalanan yang menganggu aktivitas masyarakat.
Tidak sampai 30 menit, kami turun di Patung Kuda, dan meneruskan ke tempat kost ke arah dalam kampus Undip dengan menggunakan ojek yang banyak mangkal di pertigaan. Hampir kami lupa, bahwa waktu sudah menjelang tengah malam. Namun rasanya tidak tampak ada tanda-tanda gangguan kriminal di jalan. Padahal Semarang adalah kota besar metropolitan kelima di Indonesia.
Sampai di kamar kost, sebelum tidur saya coba membaca berberapa koran terbitan daerah Jawa Tengah dan Semarang yang hari ini saya beli. Koran “Jateng POS” di halaman pertamanya penuh dengan berita nasional. Bagi saya berita koran daerah tentang isu nasional tidak menarik! Yang menarik dari koran ini, yaitu di halaman dalam, membahas tentang “Restauran Berkelas Harga Kaki Lima”. Tampak bahwa warga Kota Semarang akhir-akhir ini (sebagaimana warga kota besar Indonesia lainnya), mulai gandrung dengan wisata kuliner. Mulai bermunculan berbagai aneka macam restaurant dan café menjual berbagai masakan khas Jawa Tengah.
Justru koran “Tribun Jateng” hari itu lebih menonjol konten lokalnya. Berita “Hendi Terpaksa Naik Ojek” menurut saya paling menarik. Pak Walikota Semarang ini tampak begitu merakyat ketika hari itu mobil dinasnya terjebak macet, namun agar tetap tidak telat sampai di tempat acara, beliau tidak ragu-ragu menumpang motor masyarakat yang lewat.
(Keterangan Photo: Suasana toko makanan OEN di suatu malam. Kebanyakan pengunjungnya dari kalangan masyarakat kelas Cina yang berusia lanjut, yang sedang merindukan makanan khas tenpo doloe sambil bernostalgia bersama keluarga. / Photo by: Rendra Tris Surya)
--------------------------------------------------------------------------------
Koran “Suara Merdeka” tampaknya koran yang paling matang di Semarang dan lengkap dalam pengelolaan kegiatan jurnalistiknya ddengan layout serta kualitas kertas di atas rata-rata di sana. Apakah karena usia media ini yang sudah lebih dari 50 tahun..?
Selain halaman utamanya penuh dengan berita nasional, justru yang menurut saya menarik adalah berita lokal mengenai “Desak Penutupan Ritual Seks Gunung Kemukus”, yang akhir-akhir ini sempat menghebohkan hingga ke luar negeri. Tampaknya dunia esek-esek juga melanda masyarakat Kabupaten Semarang dan Jawa Tengah lain. Yang menarik juga dari koran ini adalah rubrik “Bupati Menjawab”. Ibu Bupati Kabupaten Semarang yang juga seorang dokter itu, secara rutin rajin menjawab pertanyaan warganya melalui koran ini. Suatu contoh kepemimpinan dan gaya komunikasi yang unik. Rubrik “Jalan-jalan” tentang Korea Selatan di harian “Suara Merdeka Minggu” juga menarik. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat kelas menengah kota Semarang juga mulai bangkit secara ekonomis sehingga memiliki kemampuan dan ketertarikan untuk memperluas acara berliburnya, tidak saja nasional namun juga ke luar negeri.
(Keterangan Photo: Di antara menu yang bermacam-macam di toko "OEN", saya tertarik memesan yang murah namun unik. Es krim Kopyor yang katanya tetap begini sejak jaman kolonial Belanda itu, menjadi makanan favorit noni-noni Belanda. Dipadu dengan kue kelapa kering khas menjadi semakin maknyus dan khas /Photo by: Rendra Tris Surya)
-----------------------------------------------------------------------------
Jarum jam kemudian semakin larut, yang membuat mata pun semakin berat mengantuk. Kamar kost kecil dengan kipas angin ini bagai surga kecil di tengah oase kelelahan beraktivitas seharian di kota Semarang yang panas. Saya pun kemudian tertidur lelap …
(Keterangan photo: Niken, gadis turunan Cina yang bersama Ibunya membuka warung tenda sederhana di depan Java Mall di kota Semarang. Mereka tampak ramah melayani pembeli pecel Madiun dan Ayam goreng jualannya walaupun menjelang tengah malam dan tutup/ Photo by: Rendra Tris Surya)
----------------------------------------------------------------------
(BERSAMBUNG)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H