Mohon tunggu...
Rendra Trisyanto Surya
Rendra Trisyanto Surya Mohon Tunggu... Dosen - I am a Lecturer, IT Auditor and Trainer

(I am a Lecturer of IT Governance and IT Management. And IT AUDITOR and Trainer in CISA, CISM, CGEIT, CRISC, COBIT, ITIL-F, PMP, IT Help Desk, Project Management, Digital Forensic, E-commerce, Digita Marketing, CBAP, and also Applied Researcher) My other activity is a "Citizen Journalist" who likes to write any interest in my around with DIARY approached style. Several items that I was writing in here using different methods for my experimental, such as "freestyle", "feeling on my certain expression," "poetry," "short stories," "prose," "travel writing," and also some about popular science related to my field. I use this weblog (Kompasiana) as my experiment laboratory in writing exercise, Personal Branding and my Personal Diary... So, hopefully..these articles will give you beneficial or inspiration and motivation for other people like my readers...! ... Rendratris2013@Gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Suatu Hari di Kota Semarang (Catatan Backpacker: Bag Pertama)

1 Maret 2015   18:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:19 6692
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di depan gedung Lawang Sewu terdapat Tugu (Pahlawan) yang dikelilingi taman yang asyik juga buat nongkrong buat  sejenak menghirup udara malam di tengah padatnya arus kendaraan. Tampak beberapa muda-mudi duduk berhimpitan di tengah gerahnya udara kota Semarang. Bercanda menikmati angin malam yang terasa sepoi-sepoi. Lokasi ini bagus juga buat dijadikan objek photo. Permainan cahaya lampu lalu lintas, gedung Lawang Sewu di latar belakang dan taman, dapat dijadikan silhoute. Sayang, saya tidak membawa Tripod dan hanya menggunakan kamera saku sederhana.

Pukul jam 20:00, kami kemudian melanjutkan perjalanan mencari becak untuk meminta diantarkan menyusuri jalan Pemuda yang tidak jauh dari Gedung Lawang Sewu mencari kafe peninggalan jaman Belanda yang kesohor, yaitu toko makanan "OEN". Setelah tawar menawar ala becak Semarang, disepakati ongkos Rp 15.000 menyusuri jalan panjang ini mencari lokasi toko “OEN” yang legendaris tersebut. Ini adalah café pertama di kota Semarang yang didirikan tahun 1938, khusus menjual aneka makanan, roti dan es krim berdasarkan resep khas Belanda tempo doeloe, yang uniknya hingga kini masih dipertahankan sama. Setelah setengah jam berbecak ria di sepanjang jalan Pemuda yang lebar dan panjang ini, akhirnya kami menemukan lokasi café OEN yang terlihat antik dan tampak seperti dibiarkan catnya menua sebagaimana aslinya di tahun 1930-an, meskipun berada di tengah gedung-gedung lain yang mentereng. Beberapa mobil pengunjung tampak  parkir, ditumpangi oleh orang-orang tua turunan Cina Semarang sedang memasuki toko dengan dituntun anak-cucunya. Aneka kue jaman Belanda itu dipajang di etalase seperti aslinya tempo doloe. Setelah puas melihat-lihat aneka kue yang beberapa di antaranya sering saya temui ketika saya kecil itu di kota Medan. Kami memesan es krim kelapa yang terkenal khas dan menjadi favorit tentara Kumpeni sewaktu di jaman kolonial. Sayup-sayup kemudian dari ruang dalam terdengar music live dengan lagu yang dinyanyikan  oleh seorang wanita berumur menyanyikan lagu-lagu slow tempo doeloe berbahasa Belanda, diiringi piano tua. (Catatan: Mengenai Toko OEN lebih detail akan ditulis dalam artikel tersendiri!)

 

 

1425183426201365717
1425183426201365717

(Keterangan Photo: Penulis berpose di depan gedung"Lawang Sewu" yang katanya angker. Silhoute bayangan dan cahaya lampu malam  memberi kesan gedung ini terkesan semakin "magis" / Photo by: Ny Farida Rendra)
-------------------------------------------------------------------

Setelah hampir satu jam kami nangkring di sini, jam 21:00 kami pulang. Ternyata busway Semarang sudah tidak tampak lagi. Jalan satu-satunya adalah naik angkot berwarna merah yang lewat di depan toko Oen, kata tukang parkir yang kami tanya. Angkot merah ini menuju ke arah kawasan Semarang Atas (Banyumanik) dan melewati Java Mall. Kami turun di depan mall ini setelah 45 menit perjalanan untuk berganti angkot. Namun, tiba-tiba mata saya melihat warung tenda di seberang jalan dengan tulisan aneka makanan pecel madiun. Pecel, terutama pecel Madiun, merupakan makanan Street Food favorit saya. Surprise! Warung tenda sederhana ini ternyata penjualnya orang Semarang amoy turunan Cina. Dia bersama ibunya dengan ramah, dan dengan logat Jawa medoknya melayani setiap pembeli. Jarang kita melihat masyarakat turunan Cina mau membuka warung tenda sederhana seperti ini. Ini uniknya dinamika masyarakat bisnis Kota Semarang. Masyarakat Cina di sini yang populasi hampir 30% dari penduduk kota, dan sangat menentukan roda perekonomiaan bisnis Semarang itu terlihat low profile. Mereka tekun berbisnis di segala lapisan, mulai dari kelas UKM hingga konglomerasi seperti Jamu Jagonya Jaya Suprana.  Niken, nama amoy ini, terlihat unik di mata saya. Karena biasanya pedagang turunan Cina berbisnis dengan menempati mal, bukan warung tenda. Maka saya bertanya iseng kepadanya: “Kenapa tidak berjualan di seberang sono?” (maksud saya di Java Mall) “Wah, mahal pak. Tidak punya duit!” kata Niken tampak aapa adanya, sambil senyum menjawab pertanyaan iseng saya.

Kelompok mayoritas lain yang membentuk masyarakat kota Semarang, adalah etnik dari turunan Arab dan Jawa. Menariknya, di sini ketiga kelompok masyarakat kota Semarang ini tampak membaur dengan baik. Asimilasi  sempurna yang terjadi sejak ratusan tahun lalu tersebut, sudah  sering kali tidak disadari lagi oleh yang bersangkutan, karena berlangsung secara alamiah dan jangka panjang. Oleh karena itu, cukup sering kita temukan orang Semarang yang bermata sipit, namun dia tidak pernah merasa merupakan turunan Cina.

 

 

14251836371677417330
14251836371677417330

(Keterangan Photo: NY Farida Rendra yang selalu menemani backpacking saya berpetualang ini, sering menjadi objek photography saya. Dia tampak kelelahan ketika tetap duduk di becak yang kami tumpangi saat tanya sana sini menelusuri jalan Pemuda mencari lokasi Toko kue OEN. Ternyata banyak orang Semarang malah tidak mengetahuinya / Photo by: Rendra Tris Surya)
----------------------------------------------------------------

 

 

Setelah menikmati makan malam di warung tenda Niken, jam 22:00 kami melanjutkan perjalanan menyambung angkot menuju ke kawasan Tembalang tempat penginapan. Supir angkot muda yang tampak ditemani teman wanitanya duduk di depan tampak tidak biasa. Kalau di Jakarta mungkin disebut “okem” (preman), karena banyak tattonya. Tapi uniknya, mereka tetap tampak sopan dan ramah terhadap penumpang di tengah malam tersebut. Ini salah satu indikator bahwa saat ini faktor keamanan dan tingkat kriminilitas di kota Semarang sudah jauh lebih beerkurang dan terkendali. Dalam setiap kesempatan, hampir tidak terlihat juga ada anak-anak muda bertato di jalanan yang menganggu aktivitas masyarakat.

Tidak sampai 30 menit, kami turun di Patung Kuda, dan meneruskan ke tempat kost ke arah dalam kampus Undip dengan menggunakan ojek yang banyak mangkal di pertigaan. Hampir kami lupa, bahwa waktu sudah menjelang tengah malam. Namun rasanya tidak tampak ada tanda-tanda gangguan kriminal di jalan. Padahal Semarang adalah kota besar metropolitan kelima di Indonesia.

Sampai di kamar kost, sebelum tidur saya coba membaca berberapa koran terbitan daerah Jawa Tengah dan Semarang yang hari ini saya beli. Koran “Jateng POS” di halaman pertamanya penuh dengan berita nasional. Bagi saya berita koran daerah tentang isu nasional tidak menarik! Yang menarik dari koran ini, yaitu di halaman dalam, membahas tentang “Restauran Berkelas Harga Kaki Lima”. Tampak bahwa warga Kota Semarang akhir-akhir ini (sebagaimana warga kota besar Indonesia lainnya), mulai gandrung dengan wisata kuliner. Mulai bermunculan berbagai aneka macam restaurant dan café menjual berbagai masakan khas Jawa Tengah.

Justru koran “Tribun Jateng” hari itu lebih menonjol konten lokalnya. Berita “Hendi Terpaksa Naik Ojek” menurut saya paling menarik. Pak Walikota Semarang ini tampak begitu merakyat ketika hari itu mobil dinasnya terjebak macet, namun agar tetap tidak telat sampai di tempat acara, beliau tidak ragu-ragu menumpang motor masyarakat yang lewat.

 

 

14251838632134016680
14251838632134016680

(Keterangan Photo: Suasana toko makanan OEN di suatu malam. Kebanyakan pengunjungnya dari kalangan masyarakat kelas Cina yang berusia lanjut, yang sedang  merindukan makanan khas tenpo doloe sambil bernostalgia bersama keluarga. / Photo by: Rendra Tris Surya)
--------------------------------------------------------------------------------

Koran “Suara Merdeka” tampaknya koran yang paling matang di Semarang dan lengkap dalam pengelolaan kegiatan jurnalistiknya ddengan layout serta kualitas kertas di atas rata-rata di sana. Apakah karena usia media ini yang sudah lebih dari 50 tahun..?

Selain halaman utamanya penuh dengan berita nasional, justru yang menurut saya menarik adalah berita lokal mengenai “Desak Penutupan Ritual Seks Gunung Kemukus”, yang akhir-akhir ini sempat menghebohkan hingga ke luar negeri. Tampaknya dunia esek-esek juga melanda masyarakat Kabupaten Semarang dan Jawa Tengah lain. Yang menarik juga dari koran ini adalah rubrik “Bupati Menjawab”. Ibu Bupati Kabupaten Semarang yang juga seorang dokter itu, secara rutin rajin menjawab pertanyaan warganya melalui koran ini. Suatu contoh kepemimpinan dan gaya komunikasi yang unik. Rubrik “Jalan-jalan” tentang Korea Selatan di harian “Suara Merdeka Minggu” juga menarik. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat kelas menengah kota Semarang juga mulai bangkit secara ekonomis sehingga memiliki kemampuan dan ketertarikan untuk memperluas acara berliburnya, tidak saja nasional namun juga ke luar negeri.

14251840041960696364
14251840041960696364

(Keterangan Photo: Di antara menu yang bermacam-macam di toko "OEN", saya tertarik memesan yang murah namun unik. Es krim Kopyor yang katanya tetap begini sejak jaman kolonial Belanda itu, menjadi makanan favorit noni-noni Belanda. Dipadu dengan kue kelapa kering khas menjadi semakin maknyus dan khas /Photo by: Rendra Tris Surya)
-----------------------------------------------------------------------------

 

Jarum jam kemudian semakin larut, yang membuat mata pun semakin berat mengantuk. Kamar kost kecil dengan kipas angin ini bagai surga kecil di tengah oase kelelahan beraktivitas seharian di kota Semarang yang panas. Saya pun kemudian tertidur lelap …

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun