Premum Remedium adalah asas hukum yang menyatakan bahwa suatu hukum khususnya pidana haruslah menjadi pilihan utama dalam penegakan hukum. Asas ini pula menekankan pada pentingnya efek jera bagi pelaku sebagaimana yang dimaksud dengan teori pemdinaan absolut. Primum Remedium juga dapat diterapkan dalam berbagai kasus berat seperti pidana pencucian uang, korupsi kolusi dan nepotisme, pembunuhan berencana, dan terorisme. Asas hukum ini juga berkaitan dengan penegakan hukum pidana yaitu ultimum remedium yang berarti hukum pidana sebagai langkah terakhir dalam penegakan hukum. Asas ini juga membuat pendekatan yang lebih humanis dengan mengutamakan penyelesaian perkara melalui jalur kekeluargaan terlebih dahulu.
      Restoratif justice merupakan salah satu prinsip penegakan hukum dlaam penyelesaian perkara yang dapat dijadikan instrumen pemulihan dan sudah dilaksanakan oleh mahkamah agung dalam bentuk pemberlakuan kebijakan , namun tata pelaksaannya dalam sistem peradlan pidana indonesia belum dilakukan secara optimal. Restorative justice juga bertujuan sebagai alternatif penyelesaian perkara tindak pidana yang dalam mekanisme nya tata cara peradilan pidana, berfokus pada pemidaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku dan korban,serta pihak terkait. Namun didalam UU 15 Tahun 2020 Kejaksaan Agung Didalam pasal 5 dinyatakan syarat syarat diterapkan Restorative Justice, yaitu :
(1) Perkara tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutannya berdasarkan Keadilan Restoratif dalam hal terpenuhi syarat sebagai berikut:
a. tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana;
b. tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; dan
c. tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari -6 tindak pidana tidak lebih dari Rp2.500.000,00(dua juta lima ratus ribu rupiah).
(2) Untuk tindak pidana terkait harta benda, dalam hal terdapat kriteria atau keadaan yang bersifat kasuistik yang menurut pertimbangan Penuntut Umum dengan persetujuan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri dapat dihentikan penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dilakukan dengan tetap memperhatikan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disertai dengan salah satu huruf b atau huruf c.
(3) Untuk tindak pidana yang dilakukan terhadap orang, tubuh, nyawa, dan kemerdekaan orang ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dikecualikan.
(4) Dalam hal tindak pidana dilakukan karena kelalaian, ketentuan pada ayat (1) huruf b dan huruf c dapat dikecualikan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak berlaku dalam hal terdapat kriteria/keadaan yang bersifat kasuistik yang menurut pertimbangan Penuntut Umum dengan persetujuan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri tidak dapat dihentikan penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif.
(6) Selain memenuhi syarat dan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dilakukan dengan memenuhi syarat: