Mohon tunggu...
Rendi AudrianaRahman
Rendi AudrianaRahman Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia

Endiyana Rahman

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mewarisi Nilai Luhur Naskah "Piwulang Pitoe Isteri" di Acara Keputrian

10 Januari 2022   19:39 Diperbarui: 10 Januari 2022   19:54 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia memiliki sejarah panjang yang berdinamika dari jaman dulu hinga sekarang. Peradaban bangsa Indonesia merangkak seiring perkembangan jaman, dari sebuah suku-suku komune kecil, kerajaan-kerajaan besar, penjajahan kolonialisme belanda dan jepang, hingga merdeka pada tahun 1945. 

Sebelum masa kolonial wilayah Indonesia diduduki oleh berbagai macam kerajaan. Majapahit, Kutai sriwijaya dll. Dalam periode kerajaan, sudah lumrah bila suatu kerajaan memproduksi sebuah naskah sejarah yang merekam hal-hal apa yang terjadi pada masanya dan nilai-nilai apa yang dijunjung luhur oleh masa saat itu.  

Naskah dianggap bukan hanya sebagai teks dokumentatif, melainkan sebagai media pewarisan nilai dan identitas kuat suatu kelompok masyarakat.Hal tersebut sejalan dengan (Soebadio, 1975: hlm.8 dalam Supriadi, 2011: hlm.4) bahwa Naskah sebagai peninggalan tertulis mempunyai kedudukan yang penting dalam menyampaikan informasi yang lebih jelas dan luas tentang kehidupan manusia di masa lampau dibandingkan dengan informasi yang berasal dari peninggalan yang berupa benda-benda lain. 

Sebagai contoh umum, dasar negara indonesia yaitu pancasila diambil dari kitab soetasoma yang ditulis oleh empu tantular. Istilah pancasila yang berarti lima dasar adalah bentuk pewarisan nilai yang dijunjung dan dianggap penting oleh pewarisnya.

Dewasa ini, dengan berbagai kemudahan mendapat dan menerima informasi dari dalam atau luar wilayah indonesia, membuat keseharian masyarakat Indonesia dipenuhi oleh informasi global. Di media sosial banyak kita dapati konten hiburan, unggahan keseharian, dan hal-hal lainnya yang memenuhi informasi yang kita serap. 

Di samping hal demikian, pewarisan nilai-nilai luhung dan identitas sebagai kelompok masyarakat yang memiliki sejarah panjang sangat sulit untuk didapatkan. Khususnya masyarakat urban yang memang memiliki ciri kehidupan individualis dan realitas yang lebih kompleks dari pada masyarakat pedesaan. 

Kehidupan masyarakat urban telah terikat oleh berbagai macam hal yang kompleks, mulai dari keinginan untuk mengikuti trend masa kini, persaingan lapangan pekerjaan, tuntutan pendidikan, biaya hidup yang lebih mahal, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang harus juga mereka ikuti, semua itu bertumpuk menjadi impian, rencana, dan aktifitas sehari-hari masyarakat urban. 

Dengan demikian, sangat sulit mengintrupsi keseharian tersebut dengan hal-hal berbau sejarah dan nilai luhur dari masa yang telah mengalami banyak dinamika. 

Beberapa contoh upaya dalam mengintrupsi aktifitas tersebut adalah dengan mengadakan studi tur di pendidikan dasar, menengah dan atas ke situs nasional, museum-museum, dan perpustakaan barangkali. 

Akan tetapi, dengan psikologis masyarakat urban yang memahami bahwa melakukan sesuatu di luar aktifitas sehari-harinya, pada kurun waktu tertentu yang pendek jangkanya diartikan sebagai liburan dan arena rekreasi, aktifitas-aktifitas tersebut jadi kehilangan ruh dan tujuannya. 

Sangat jarang bisa kita alami sebuah studi tur yang memiliki atmosfir pembelajaran dan kesempatan untuk mewarisi semangat peradaban yang luhur. Maka dari itu pentingnya menggali naskah nusantara yang tersebar di berbagai belahan wilayah, mengorek isi dan konteks di dalamnya untuk mewariskan kembali isi dan konteks tersebut kepada generasi muda khususnya dan masyarakat luas umumnya.

Belakangan ini di dalam mata kuliah Tekstologi di prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, penulis diharuskan untuk menerjemahkan dan mengalihejakan sebuah naskah yang berjudul "Piwulang Pitoe Isteri". Naskah ini merupakan sebuah wawacan yang berisi 4 pupuh, isi dari naskahnya berupa nasihat petuah dan tuntunan menjadi seorang istri. 

Leluhur kita menuliskannya ke dalam bentuk pupuh penulis anggap sebagai pelengkap konteks naskah ini ditulis, sebab dengan memberikan untuaian nada yang berirama sebuah teks bisa saja tidak hanya lestari dalam bentuk cetak dan tulis tapi juga lestari dalam bentuk lisan sebagai pengetahuan umum pada keseharian masyarakat penuturnya. 

Penulis jadi membayangkan bila nilai-nilai yang terkandung di dalam teks ini bisa lebih menyebar dan diserap oleh banyak masyarakat. Khususnya masyarakat sunda yang merupakan pemilik bahasa yang ditulis dalam naskah. 

Di masa lalu mungkin, mengkreasikan ide dan nasihat menjadi sebuah pupuh adalah metode yang cocok untuk menjangkau generasi muda dan anak-anak. 

Deretan kalimat yang diberi nada biasanya lebih mudah untuk diingat dari pada rangkaian kata yang hanya tertulis atau terucap saja. Nilai-nilai diarahkan untuk diingat terlebih dahulu sebagai pupuh dan akan dengan sendirinya terwaris jika orang-orang yang hafal dengan pupuhnya melakukan pendalaman mandiri setelah daya nalarnya mulai bangkit. 

Pola tersebut mungkin sudah efektif dilakukan pada zaman dulu. Akan tetapi, pada era di mana informasi dan hiburan sangat berdesakan dalam genggaman metode pewarisan dengan pupuh ini jadi kekurangan kesempatan. 

Pasalnya, bisa kita lihat banyak sekali produk musik yang berjejal pada aplikasi-aplikasi musik dan media sosial. Sehingga, tingkat keberminatan masyarakat untuk memilih pupuh sebgai hal yang dihafal sangat kecil.

Penulis akhirnya mencari aktifitas yang mungkin sedikit terprogram, rutin, dan khusyuk pada saat yang bersamaan. Sebuah acara yang bisa jadi membangun atmosfir pembelajaraan dan kesempatan untuk mewarisi nilai luhur dalam beberapa pertemuan bersama. Dan sejauh ini acara keputrian menjadi kesempatan yang paling efektif untuk menjadi media pewarisan naskah "Piwulang Pitoe Isteri". 

Jika diingat-ingat mengapa acara keputrian selalu identik dengan pengetahuan keagamaan islam? Memang biasanya menjadi alternatif bagi kaum perempuan untuk melakukan aktifitas bersama di saat kaum pria melaksanakan solat jumat berjamaah. 

Akan tetapi, bukankah nilai semangat indonesia juga merupakan sebuah negara dan kelompok masyarakat yang bersatu dan menjaga kesatuan tersebut? Naskah ini bahkan bisa diserap oleh kaum perempuan secara umum. 

Sehingga penting bagi penulis untuk mempertimbangkan naskah "Piwulang Pitoe Isteri" sebagai bahan ajar atau materi acara keputrian yang biasanya dilaksanakan di pendidikan formal, sebab dengannya kita tidak hanya melakukan sebuah pembelajaran dan pengutan karakter perempuan, tetapi sekaligus mengenal nilai yang dianggap penting untuk diwariskan dan sejarah yang membangunnya.

Oleh Rendi Audriana Rahman

DAFTAR PUSTAKA

Supriadi, D. (2011). Kajian Filologis dalam Naskah. Bandung: Universitas Islam Bandung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun