Mohon tunggu...
Rendi Septian
Rendi Septian Mohon Tunggu... Guru - Founder Bimbel The Simbi

Seorang pengajar yang ingin berbagi ilmu, kisah dan pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kembali

30 Juni 2022   11:56 Diperbarui: 30 Juni 2022   12:11 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Alamak, sampai kapan aku berbaring di kasur ini, lebih baik aku segera mati saja," Tuhan segeralah ambil nyawaku..." ratap Sang Preman Pasar yang dalam satu tahun terakhir hanya terbaring lemah tak berdaya di atas ranjang Markas Besarnya.

Ia memiliki anak dan istri, tetapi itu dulu ketika ia masih gagah berkuasa di pasar. Istrinya tidak tahan dengan kekerasan yang kerap ia terima dari suaminya, pun dengan anak perempuannya yang merasa malu memiliki ayah tukang pajak dan tukang pukul. Kehidupan rumah tangga Sang Preman Pasar bertahan hingga usia 25 tahun pernikahan. Dari perjalanan panjang itu mereka dianugerahi anak semata wayang yang kini berusia 19 tahun. Keduanya pergi meninggalkannya sendiri.

Tetapi kepergian istri dan anaknya bukan masalah besar baginya. Dia selalu dikelilingi oleh anak buahnya. Perintah darinya ibarat titah Tuhan yang harus dilakukan oleh anak buahnya. Jika ada yang berani menentangnya, siap-siap menerima bogem mentah darinya. Seperti kejadian beberapa hari sebelum ia jatuh sakit. Bukan main, yang ia pukul adalah dukun yang terkenal ampuh dengan jampi-jampinya.

"Dasar kau Preman Pasar sialan!" Tunggulah dalam beberapa hari Engkau akan mati membusuk di ranjangmu," ucap sang Dukun melapalkan sumpah serapahnya karena bukan hanya tempat praktik dukunnya ia obrak-abrik, tetapi juga mata sebelah kirinya hampir buta lantaran bogem Si Preman Pasar.

Ia naik pitam lantaran tersiar kabar Sang Dukun itu telah meramalkan kejatuhannya dalam menguasai pasar. Sudah hampir tiga dasawarsa, keadaan pasar menjadi tidak harmonis. Banyak terjadi pungutan liar, pencopetan, pemerasan dan pemukulan di tempat terbuka. Dianggapnya pasar itu arena mempertontonkan kekuatan dan warga pasar sebagai samsaknya. Tentu saja ia menolak mentah-mentah ramalan itu, ia berkelakar bahwa jangankan dukun, Tuhan pun takkan sanggup mengalahkannya.

Kisahnya seperti Fir'aun yang diramalkan oleh ahli nujumnya bahwa di masa yang datang, kekuasaannya akan jatuh kepada Nabi Musa As. Maka setiap ia mencium bau-bau pembangkangan dari membayar jatah preman, ia dan komplotannya tak ragu untuk bersikap kasar dan bengis. Seperti yang diterima oleh anak remaja tanggung usia 19 tahun.

Ia adalah anak penjual beras yang ke dua orang tuanya telah tiada. Yatim piatu sejak dua tahun yang lalu. Sikapnya yang keras, berbeda dengan sikap ke dua orang tuanya yang manut saja kepada Si Preman Pasar, menyebabkan ia mesti menerima kekerasan demi kekerasan.

Di samping itu ia sangat ahli dalam berdebat. Bukan hanya berdebat dengan sesama penjual dan pembeli di pasar, tetapi ia kerap berdebat dengan anak buah Si Preman. 

Ia selalu memiliki alasan dan argumen untuk menolak memberikan jatah preman. Ia memiliki alasan karena pasar ini adalah miliki Pemerintah Daerah dan kiosnya peninggalan dari orang tuanya. Jadi, tidak ada alasan untuk memberikan lagi uang-uang yang lain. Dan bagaimakah nasib Si remaja tanggung ini? Kiosnya pada suatu hari yang nahas hancur tak bersisa. Beras berserakkan di mana-mana. Dan Si Remaja Tanggung ini merintih di pojok menahan perih yang tak terkira. Dipukuli oleh sepuluh tukang pukul yang berotot kekar.

Beruntung ada anak perempuan semata-wayangnya Si Preman yang melerai dan membantu Si Remaja Tanggung itu. Itulah untuk pertama kalinya dua insan ini bertemu yang kemudian di hari-hari yang lain menjadi buah bibir warga pasar. Walaupun sebenarnya mereka adalah mahasiswa satu kampus, tempat di mana cita-cita diukir seindah mungkin.

"Engkau tidak perlu menolongku..." ucap Si Remaja Tanggung itu kepada anak perempuan yang baru saja menolongnya tadi sambil lirih menahan sakit.

"Maafkan atas perilaku ayahku, Kak," jawab perempuan tadi sambil membersihkan bercak darah yang menetes di pelilis kiri dan bibir bawah remaja itu.

"Tak mengapa, aku diajarkan oleh mendiang orang tuaku untuk tidak memiliki rasa dendam. Semoga ayahmu mendapat jalan hidayah."

            "Aamiin, terimakasih."

Sejak kejadian itu, dua insan ini selalu terlihat bersama. Bahkan tak jarang Si Perempuan tadi membantunya berjualan di pasar mencuri-curi pandang dari CCTV komplotan anak buah ayahnya. Karena Si Preman itu jarang sekali turun ke dalam pasar, kecuali jika terjadi masalah yang mau tak mau harus ia hadapi sendiri. Seperti kasus pengeroyokan pada Si Remaja Tanggung itu.

Walaupun Si Perempuan tadi sudah tidak tinggal bersama ayahnya, akan tetapi si Ayah tetap memberikan hak-haknya. Uang jajan selalu datang setiap hari melalui petugas yang diutus oleh ayahnya. Perlindungan dan pendidikannya tetap ia terima dari Ayahnya itu. Karena Si Preman Pasar tadi berkeyakinan jika anak perempuannya itulah kelak yang akan menyelamatknnya dari azab neraka sebab perbuatannya di dunia.

...

Selama sakit, ia tidak tinggal di rumahnya tetapi di markas besarnya yang tidak jauh dari pasar. Demi meluapkan rasa sakit yang sedang dideranya, ia senantiasa berteriak seperti orang sedang kesetanan. Berbagai bahasa makian ia keluarkan. Tidak ada satupun yang peduli dengan rasa sakit yang ia rasakan. Kemana kawan-kawan dalam komplotannya ?

"Kita tidak bisa menunggu Bos besar," ucap salah seorang member senior yang memang dari dahulu menunggu momen ini untuk ia naik tahta.

"Tidak bisa, kita mesti menghormati Bos Besar sepanjang hidup kita dan sepanjang Bos Besar masih hidup," jawab salah satu tokoh yang disegani dalam komplotan itu.

"Omong kosong! Lihatlah komplotan lain sedang bersiap menyerang kita, mengambil alih sumber pemasukan kita, apakah kalian mau menjadi gelandangan, Hah?!"

Lagi pula, Member Senior dengan muka yang memerah melanjutkan orasinya " Apakah kalian tidak merasa lelah dipimpin oleh Bos Besar? Setiap hari kita melakukan apa yang diperintahkannya. Tapi, apa yang kita dapat selain dari umpatan, cacian dan kata-kata kasar. Bahkan tak jarang, jika gagal dalam misi mengambil jatah, muka dan perut kita menjadi sasaran. Aku berjanji jika kalian memilih aku menjadi Bos besar, kalian akan terhindar dari hal seperti itu, camkan itu!" menutup orasinya dengan yakin.

Perundingan terlarang itu berlangsung alot. Sebagian besar mendukung rencana penggantian Bos Besar dan hanya sebagian kecil saja yang menghendaki tetap dipimpin oleh Bos Besar meskipun dalam keadaan memprihatinkan. Karena banyaknya suara untuk penggantian Bos Besar, akhirnya diambillah keputusan untuk menjadikan member senior tadi sebagai Bos Besar yang baru.

Sebenarnya, dalam peraturan tak tertulis, tidak boleh ada dua orang dengan status Bos. Salah satunya harus dilenyapkan.  Akan tetapi karena mereka ingin melihat mantan Bosnya mati mengenaskan secara perlahan, mereka membiarkannya di atas ranjangnya. Erangan dan aduh-han serta sumpah serapah yang keluar dari mulut mantan Bosnya ibarat musik pengantar tidur yang sangat syahdu. Mereka tak berharap malaikat maut segera datang mencabut nyawa mantan Bosnya.

Hal inilah yang kelak akan disyukurinya di masa depan.

...

Tidak ada yang peduli bahkan mantan istri dan anak perempuannya, kecuali Si Remaja Tanggung tadi.

"Untuk apa Engkau menemuiku? Kau senang melihat Aku sekarat di atas ranjangku, kan?" Sambutan dingin Sang mantan pada si Remaja Tanggung itu.

"Aku diperintahkan Tuhanku untuk menolong sesama manusia," jawabnya singkat.

"Apakah engkau sekarang sudah menjadi Nabi lalu mendapat ilham untuk menolongku atas dasar sesama manusia?" dengan susah payah mengucapkan kalimat panjang itu. Mungkin kalimat itu menjadi kalimat terbaik yang ia miliki selama dirinya hanya terbaring lemah.

"Aku bukanlah Nabi, karena Kanjeng Nabi Muhammadlah yang menjadi Nabi terakhir sekaligus panutanku. Bukankah Engkau tahu bahwa Nabi Muhammad tidak pernah sekalipun memiliki dendam kepada siapapun? Dan bukankah Engkau masih lebih baik daripada Fir'aun yang menganggap dirinya Tuhan? Maka mengapa Engkau tidak boleh kembali kepada Nya?"

Kalimat itulah yang membuat secercah sinar berkelibatan dalam kelamnya hatinya. Maka dicernanya dalam-dalam ucapan dari Remaja Tanggung itu. Benar juga, menurutnya dia tidak seperti Fir'aun yang menganggap dirinya Tuhan. Dengan level kesombongan seperti itu saja Tuhan masih berbaik hati dengan mengirimkan Musa sebagai utusannya agar ia kembali kepada Tuhan. Apalagi hanya kepada tukang pajak dan tukang pukul.

...

Tuhan lebih menginginkan hambanya kembali. Lima tahun setelah persitiwa itu, kehidupan Sang Mantan Preman Pasar itu berubah. Ia bangkit dari sakitnya. Perlahan otot-otot tubuhnya mengeras kembali. Aura pancaran wajahnya yang kusam, kini cerah kembali bahkan lebih bercahaya karena siraman air wudhu. 

Meski begitu, Ia tetap disegani oleh seluruh warga pasar.  Ia menjadi pemimpin pasar yang bijaksana. Tidak ada lagi pungli, tidak ada lagi kekerasan. Istri dan anak perempuan semata-wayangnya kembali pada pelukannya. 

Adapun si Remaja Tanggung tadi telah menjadi bagian dari keluarganya. Dan dari keduanya lahirlah cucu-cucu yang sangat menggemaskan dan menjadi hiburan di masa senja sebelum ia akhirnya kembali ke haribaan Ilahi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun