Sebelum bertarung melawan Ahok di Pilkada 2017, para lawan Ahok harus menyadari beberapa hal ini. Pertama, secara popularitas, sosok Ahok nyaris tiada banding. Ini membuat elektabilitas Ahok cukup tinggi. Kedua, sebagian besar masyarakat Jakarta justru cenderung menyukai gaya kepemimpinan Ahok yang keras dan tanpa tedeng aling-aling.
Ketiga, masyarakat pemilih Jakarta bukan masyarakat homogen, tetapi heterogen. Seluruh suku, agama, ras, berkumpul di wilayah ini. Keempat, Ahok adalah calon petahana yang otomatis punya lebih banyak kesempatan mencuri perhatian masyarakat melalui program-program yang telah, maupun yang akan dilakukan untuk Jakarta.
Empat hal tersebut adalah Fakta yang tidak boleh tidak diterima oleh calon lawan Ahok. Bahkan harus. Hindari sikap jumawa atau besar kepala bahwa Ahok mudah dikalahkan. Plis, jangan tiru sikap Sok Jago Ahmad Dhani yang akhirnya terbukti cuma masuk keranjang sampah.
Juga hindari menyerang frontal atau membully menggunakan isu SARA. Misal, menyebut Ahok Kafir, Cina, dll. Ingat, masyarakat Indonesia  (baca: Jakarta) adalah  masyarakat yg mudah memberikan simpati kepada siapapun, baik tokoh, artis, pejabat, yang teraniaya. Apalagi kalau orang yang dibully itu ternyata punya kontribusi sesuatu. Sederhananya, jika ia bukan kriminal, jangan dibully seperti seorang kriminal. Yang ada, justru namanya semakin besar dan berkibar. Menghina Ahok sama saja membesarkan namanya. Percayalah.
Saat ini lawan ahok atau pihak yang anti Ahok, nyatanya cenderung hanya bermodal menghina, mengkritik, menyerang. Yang menyedihkan, bahkan ada pihak cuma bermodal teriak doang. Mereka pikir dengan takbir keras-keras, bawa-bawa agama dan Tuhan, Ahok bisa dikalahkan. Ingat, Khalid Bin Walid atau Muhammad Al Fatih menguasai konstatinopel pun menggunakan OTAK dan STRATEGI. Bukan cuma modal semangat dan pedang!
Jujur, saya muslim dan kalau boleh saya memilih, saya lebih memilih pemimpin muslim. Tapi di sisi lain, saya juga gemasdengan pihak-pihak yang kerap bawa embel-embel agama namun tanpa strategi. Dipikirnya, semua masyarakat muslim Jakarta punya pemahaman agama yang sama dalamnya dengan mereka.
Sekalinya pakai strategi, strategi kering dan tolol. Misalnya, salah satu calon lawan melakukan aksi sosial memungut sampah. Humanis sih keliatannya. Tapi kenapa harus dilakukan di Bundaran HI? Emang disana ada sampah? Kenapa tidak dilakukan di kali Manggarai? Saya membayangkan si calon turun ke kali, berkotor-kotor menyisingkan lengan baju, angkat celana, lalu disyut wartawan, dipoto jeprat-jepret. Keren.
Kenapa bukan itu yang dilakukan. Apa karena si calon lawan ini terlalu klimis untuk turun ke kali? Atau timsesnya yang kepinteran? Jika lokasi bunderan HI dipandang sebagai episentrum yang cocok untuk promosi diri, pertanyaannya, mau promosi kepada siapa? Ke orang-orang bermobil yg lalu lalang? Percayalah, mereka sudah memilih Ahok sebelum dia mungut sampah.
Lantas, bagaimana cara menjegal Ahok? Jelas memerlukan strategi. Strategi  yang cerdas dan brilian.
Pertama, lakukan profiling terhadap Ahok secara detail. Mulai dari masa kecil, remaja, hingga masa-masa awal di terjun ke politik. Siapa saja kawan dan musuh politiknya. Siapa orang-orang yang mempengaruhi kehidupannya. Apa saja karya-karyanya. Hingga apa makanan kesukaan dan hobinya. Â Ini mungkin mirip-mirp kerja intelejen. Tapi tetap sah dilakukan sepanjang tidak melanggar aturan. Anggap saja seperti sedang membuat buku biografi Ahok.
Selanjutnya, kumpulkan seluruh pernyataannya di media baik saat masih menjadi pejabat di Bangka Belitung, politisi di senayan, hingga menjadi gubernur seperti sekarang. Ingat, seluruh pernyataannya, baik yang jelek maupun bagus.
Di saat kedua hal itu dilakukan, siapkan calon lawan yang memiliki tipe setidaknya bisa bertindak tegas seperti Ahok. Sebab, sikap tegas Ahok, nyatanya memang dibutuhkan demi membangun Jakarta.
Jika tiga hal itu sudah dilakukan (profiling, mapping seluruh pernyataan gubernur petahana di media, dan menyiapkan calon) maka langkah selanjutnya adalah eksekusi.
Eksekusi pertama adalah mencari celah ‘kelemahan’ dari seorang  pribadi Ahok. Tapi ingat, kelemahan ini bukanlah peluru untuk menyerang, melainkan bahan strategis untuk menampilkan sosok alternatif yang cenderung lebih baik dari Ahok. Â
Sebaliknya, riwayat pernyataan Ahok di semua media lah yang menjadi peluru untuk ‘menembak’ dalam konteks counter pernyataan sendiri atau ‘selfcounter’. Artinya, setiap pernyataan Ahok yang keluar, dapat dicounter dengan dia pernyataan sendiri. Bukan oleh calon lawan ahok. Artinya, biarkan dia membuat dan menjawab pernyataan itu sendiri. Tanpa perlu ditambah dan dikurangi.
Calon lawan Ahok juga sebaiknya dari kalangan muda. Berkisar usia 35-50 tahun. Bagusnya malah antara 40-45 tahun. Jangan juga melulu harus seorang politisi. Embel-embel politisi faktanya sering membuat masyarakat gerah duluan oleh sebab krisis kepercayaan.
Calon lawan Ahok mestinya ditampilkan sebagai sosok alternatif yang cerdas, kreatif, dan gaul (baca:kekinian) tapi sekaligus sederhana. Bukan sosok anak muda gaul yang glamour atau dari kalangan jetset seperti Sandiaga Uno. Dia itu sosok di awang-awang. Susah dijual.
Jakarta adalah kota yang dalam sejarahnya sangat‘blending’dengan anak-anak muda. Tak terhitung berapa banyak pejuang-pejuang muda yang berkiprah di Jakarta pada tempo dulu. Keterlibatan anak muda harus jauh bisa dimanfaatkan oleh calon lawan Ahok. Menjadikan kota Jakarta sebagai kota kreatif, kota pelajar, kota berteknologi tinggi sekaligus humanis, bisa menjadi tagline dalam menggaet kontribusi anak muda. Strategi ini yang dipakai Ridwan Kamil di Bandung, dan berhasil.
Karenanya, calon lawan ahok juga harus tampil sebagai sosok yang kreatif, cerdas, energik, dan  sosok yang penuh dengan semangat muda. Percaya atau tidak, ini yang tidak dimiliki Ahok. Dan calon lawan Ahok yang pandai memanfaatkan celah ini.
Kemasan kampanye yang diusung oleh calon lawan Ahok, mesti kemasan menggelitik, tapi bukan lucu. Menggelitik dalam konteks mengulik kesadaran masyarakat pemilih untuk berbuat sesuatu bagi Jakarta. Namun, kemasan itu harus tetap meninggalkan kesan kreatif yang tebal.
Sosok calon lawan Ahok juga bisa diambil dari kalangan artis muda, atau tokoh muda yang cenderung sudah populer. Jadi tidak perlu kerja keras bagi timses untuk mengenalkan ke publik.
Misalpun yang dipilih artis, sebaiknya bukan artis penyanyi atau pemain sinetron. Dan bukan jenis artis yang ‘gini-gitu’.  Artis yang dipilih harus cerdas serta bertipikal speakers yang dekat dengan isu-isu kekinian. Salah satu contohnya : Panji Pragiwaksono.
Hal lain yang perlu dilakukan oleh partai politik adalah, bahwa praktik-praktik kotor seperti setoran atau mahar untuk calon harus dibuang jauh-jauh. Jika ini berhasil dilakukan, kelak bisa menjadi materi kampanye yg efektif.
Penggunaan medsos juga harus dioptimalkan. Membuat filler-filler video kreatif di Youtube, membuat kampanye viral berupa ajakan positif di twitter, Instagram atrau path juga harus dilakukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H