Maka muncullah Habib bin Salim yang bicara di depan khalifah Umar bin Abdul Azis bahwa hadis yang beredar selama ini tidak lengkap. Menurut versi Habib, setelah periode para raja, akan muncul lagi khilafah ‘ala minhajin nubuwwah-dan ini mengacu kepada Umar bin Abdul Azis. Jadi nuansa politik hadis ini sangat kuat.
Repotnya, istilah khilafah ‘ala minhajin nubuwwah yang dimaksud oleh Habib (yaitu Umar bin Abdul Azis) sekarang dipahami oleh Hizbut Tahrir (dan kelompok sejenis) sebagai jaminan akan datangnya khilafah lagi di kemudian hari. Mereka pasti repot menempatkan ‘Umar bin Abdul Aziz dalam urutan di atas tadi: kenabian, khilafah ‘ala mihajin nubuwwah periode pertama (yaitu khulafa al-rasyidin), lalu para raja, dan khilafah ‘ala minhajin nubuwwah lagi. Kalau khilafah ‘ala minhajin nubuwwah periode yang kedua baru muncul di akhir jaman maka Umar bin Abdul Azis termasuk golongan para raja yang ngawur. Saya kira kita memang harus bersikap kritis terhadap hadis-hadis berbau politik. Sayangnya sikap kritis ini yang sukar ditumbuhkan di kalangan para pejuang khilafah.
3. Bukankah khilafah adalah solusi dari masalah ummat? Selama ummat Islam mengadopsi sistem kafir (demokrasi) maka ummat Islam tidak akan pernah jaya?
Di sinilah letak perbedaannya: sistem khilafah itu dianggap sempurna, sedangkan sistem lainnya (demokrasi, kapitalis, sosialis, dll) adalah buatan manusia. Kalau kita menemukan contoh “jelek” dalam sejarah Islam, maka kita buru-buru bilang, “yang salah itu manusianya, bukan sistem Islamnya!”. Tapi kalau kita melihat contoh “jelek” dalam sistem lain, kita cenderung untuk bilang, “demokrasi hanya menghasilkan kekacauan!” Jadi, yang disalahkan adalah demokrasinya. Ini namanya kita sudah menerapkan standard ganda.
Biar adil, marilah kita melihat bahwa yang disebut sistem khilafah itu sebenarnya merupakan sistem yang juga tidak sempurna, karena ia merupakan produk sejarah, dimana beraneka ragam pemikiran dan praktek telah berlangsung. Sayangnya, karena dianggap sudah “sempurna” maka sistem khilafah itu seolah-olah tidak bisa direformasi. Padahal banyak sekali yang harus direformasi.
Contoh: dalam sistem khilafah pemimpin itu tidak dibatasi periode jabatannya (tenure). Asalkan dia tidak melanggar syariah, dia bisa berkuasa seumur hidup. Dalam sistem demokrasi, hal ini tidak bisa diterima. Meskipun seorang pemimpin tidak punya cacat moral, tapi kekuasaannya dibatasi sampai periode tertentu.
Saya maklum kenapa sistem khilafah tidak membatasi jabatan khalifah. Soalnya pada tahun 1924 khilafah sudah bubar, padahal pada tahun 1933 (the 22nd Amendment) Amerika baru mulai membatasi jabatan presiden selama dua periode saja. Sayangnya, buku tentang khilafah yang ditulis setelah tahun 1933 masih saja tidak membatasi periode jabatan khalifah. Itulah sebabnya kita menyaksikan bahwa dalam sepanjang sejarah Islam, khalifah itu naik-turun karena wafat, dibunuh, atau dikudeta. Tidak ada khalifah yang turun karena masa jabatannya sudah habis. Contoh lainnya, sistem khilafah selalu mengulang-ulang mengenai konsep baiat (al-bay`ah) dan syura. Tapi sayang berhenti saja sampai di situ [soalnya sudah dianggap sempurna]. Dalam tradisi Barat, electoral systems itu diperdebatkan dan terus “disempurnakan” dalam berbagai bentuknya. Dari mulai sistem proporsional, distrik sampai gabungan keduanya.
Begitu juga dengan sistem parlemen. Dari mulai unicameral sampai bicameral system dibahas habis-habisan, dan perdebatan terus berlangsung untuk menentukan sistem mana yang lebih bisa merepresentasikan suara rakyat dan lebih bisa menjamin tegaknya mekanisme check and balance.
Tapi kalau kita mau “melihat” ke teori Barat, nanti kita dituduh terpengaruh orientalis atau terjebak pada sistem kafir. Akhirnya kita terus menerus memelihara teori yang sudah ketinggalan kereta.
4. Kalau khilafah berdiri, maka ummat islam akan bersatu. Lantas kenapa harus ditolak? Bukankah kita menginginkan persatuan ummat?
Sejumlah dalil mengenai persatuan ummat Islam dan kaitannya dengan khilafah banyak dikutip oleh “pejuang khilafah” belakangan ini: Rasulullah SAW bersabda: “Jika dibai’at dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR. Muslim)