Mohon tunggu...
Renata Farah Diba Zain
Renata Farah Diba Zain Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Program Studi Kedokteran

A med school student in FIKKIA Unair

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Soekarno, Kharisma sang Proklamator

16 Oktober 2024   15:01 Diperbarui: 16 Oktober 2024   15:07 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Soekarno, presiden pertama Indonesia dan proklamator kemerdekaan, adalah sosok yang begitu monumental dalam sejarah bangsa. Di balik perannya sebagai pemimpin yang tangguh dan orator ulung, Soekarno juga memiliki kehidupan pribadi yang menarik perhatian, terutama dalam hubungannya dengan wanita. 

Banyak yang menyebut Soekarno sebagai seorang casanova, atau pengagum wanita, dan fakta sejarah menunjukkan hal ini memang benar adanya.

Kharisma Soekarno di Mata Wanita

Soekarno tidak hanya dikenal karena kepemimpinannya, tetapi juga karena pesonanya yang luar biasa. Dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams, Soekarno secara terbuka mengakui dirinya sebagai pengagum wanita. Ia memandang wanita sebagai "makhluk halus" yang harus dihormati dan dipuja.

"Saya mencintai Keindahan, dan wanita adalah keindahan itu,"

ujarnya dalam buku tersebut (Adams, 1966).

Fakta menarik tentang Soekarno adalah kemampuannya menarik perhatian wanita tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di luar negeri. Pada kunjungan diplomatiknya ke Amerika Serikat pada tahun 1956, Soekarno bertemu dengan Marilyn Monroe, bintang film terkenal Hollywood. 

Foto kebersamaan mereka menjadi perbincangan dunia pada masa itu, mencerminkan betapa Soekarno mampu memikat perhatian figur publik internasional (Soekarno in America, 1956).

Hubungan Soekarno dengan Wanita dan Fakta Sejarahnya

Sepanjang hidupnya, Soekarno menikah dengan sembilan wanita, dan setiap pernikahannya membawa cerita tersendiri. Pernikahan pertamanya terjadi pada tahun 1921 ketika ia menikahi Oetari, putri dari H.O.S. Tjokroaminoto, mentor politiknya. Namun, pernikahan ini tidak bertahan lama, karena Soekarno kemudian bertemu Inggit Garnasih saat masih muda di Bandung (Legge, 1972).

 Inggit merupakan sosok penting dalam kehidupan Soekarno, karena ia yang mendampingi Soekarno selama masa pembuangannya di Ende dan Bengkulu. Meskipun demikian, Inggit menolak untuk memberikan keturunan, dan akhirnya hubungan mereka berakhir pada tahun 1943 ketika Soekarno jatuh cinta pada Fatmawati (Sekretariat Negara RI, 2000).

Fatmawati dikenal luas sebagai wanita yang menjahit bendera Merah Putih yang dikibarkan pada Proklamasi 17 Agustus 1945. Dari pernikahannya dengan Fatmawati, Soekarno memiliki lima anak, termasuk Megawati Soekarnoputri, yang kemudian menjadi presiden kelima Indonesia (Adams, 1966). 

Namun, pernikahan Soekarno dengan Fatmawati pun tidak bertahan lama ketika ia menikahi Hartini, seorang janda dari Salatiga, pada tahun 1954. Keputusan Soekarno untuk menikahi Hartini ini sempat memicu kontroversi karena dilakukan saat ia masih terikat pernikahan dengan Fatmawati (Kahin, 1952).

Salah satu pernikahan Soekarno yang paling menarik perhatian publik adalah dengan Naoko Nemoto, seorang wanita Jepang yang kemudian diberi nama Indonesia, Ratna Sari Dewi. Pernikahan ini terjadi pada tahun 1962 ketika Naoko masih berusia 19 tahun dan Soekarno berusia 57 tahun.

 Banyak yang beranggapan bahwa pernikahan ini memiliki aspek diplomatik, mengingat hubungan Indonesia dan Jepang pada saat itu. Namun, Soekarno mengaku bahwa ia benar-benar mencintai Naoko, yang menjadi salah satu istri yang sangat setia hingga akhir hidupnya (Weiner, 2007).

Kritik dan Kontroversi Kehidupan Pribadi Soekarno

Kehidupan cinta Soekarno sering kali menjadi bahan kritik, terutama dari lawan politiknya. Selama menjabat sebagai presiden, Soekarno dikenal sering dikelilingi oleh wanita-wanita cantik dan mendapat sorotan tajam dari media, baik nasional maupun internasional. 

Namun, Soekarno menanggapi hal ini dengan santai. Baginya, cinta dan kekaguman terhadap wanita adalah bagian dari hidupnya yang tidak bisa diabaikan.

Mengapa mereka mengecam saya? Apakah mencintai wanita itu dosa?

katanya dalam beberapa wawancara (Adams, 1966).

Meski demikian, kehidupan pribadinya ini tidak jarang dimanfaatkan oleh lawan politiknya untuk mendiskreditkan kepemimpinannya. Pada akhir tahun 1950-an dan awal 1960-an, kehidupan pribadi Soekarno yang flamboyan sering kali dijadikan senjata untuk menyerang legitimasinya sebagai pemimpin negara. 

Bahkan, di tengah krisis ekonomi dan politik yang dihadapi Indonesia pada tahun 1960-an, isu tentang hubungan pribadinya kerap menjadi topik utama di media (Legge, 1972).

Soekarno dan Relevansinya dengan Indonesia Saat Ini

Sosok Soekarno sebagai pengagum wanita dan pemimpin kharismatik memiliki sangkut paut yang kuat dengan Indonesia saat ini. Gaya kepemimpinannya yang merakyat, dekat dengan rakyat kecil, dan memancarkan pesona sebagai seorang pemimpin besar, masih banyak diadopsi oleh para pemimpin setelahnya. 

Soekarno, meskipun penuh kontroversi, tetap dikenang sebagai bapak bangsa yang mampu menyatukan Indonesia di tengah keberagaman suku, agama, dan budaya (Anderson, 1972).

Di sisi lain, kehidupan pribadi Soekarno yang penuh warna mengajarkan kita bahwa seorang pemimpin besar tetaplah manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya. 

Kebhinekaan Indonesia yang selalu ditekankan oleh Soekarno dalam pidatonya tercermin dalam bagaimana ia menjalin hubungan dengan wanita-wanita dari berbagai latar belakang. Dalam konteks modern, semangat ini mengajarkan bahwa keragaman, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam masyarakat, adalah kekuatan yang harus dirayakan, bukan ditakuti (Nasution, 1995).

Kesimpulan

Soekarno adalah tokoh yang kompleks—seorang proklamator yang penuh cinta untuk negaranya, tetapi juga seorang pengagum wanita yang mempengaruhi hidupnya. Fakta-fakta sejarah menunjukkan bahwa Soekarno adalah seorang pria yang hidup dalam dua dunia: politik dan cinta.

Meskipun kontroversi sering kali mengiringi kehidupan pribadinya, kontribusi Soekarno bagi Indonesia tetap tak terbantahkan. Di mata sejarah, Soekarno bukan hanya seorang pemimpin besar, tetapi juga manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya, yang tetap meninggalkan warisan besar bagi bangsa ini.

Sumber:

1. Adam Malik, Mengabdi Republik: Serpihan Sejarah Diplomasi, 1984.

2. Ben Anderson, Java in a Time of Revolution, 1972.

3. Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, 1966.

4. George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia, 1952.

5. Jenderal AH Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas. Jilid 6: "Masa Orde Lama", 1995.

6. John D. Legge, Soekarno: A Political Biography, 1972.

7. Sekretariat Negara Republik Indonesia, "Biografi Soekarno," 2000.

8. Soekarno in America, dokumentasi pertemuan Soekarno dengan Marilyn Monroe, 1956.

9. Tim Weiner, Legacy of Ashes: The History of the CIA, 2007.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun