Salah satu pernikahan Soekarno yang paling menarik perhatian publik adalah dengan Naoko Nemoto, seorang wanita Jepang yang kemudian diberi nama Indonesia, Ratna Sari Dewi. Pernikahan ini terjadi pada tahun 1962 ketika Naoko masih berusia 19 tahun dan Soekarno berusia 57 tahun.
 Banyak yang beranggapan bahwa pernikahan ini memiliki aspek diplomatik, mengingat hubungan Indonesia dan Jepang pada saat itu. Namun, Soekarno mengaku bahwa ia benar-benar mencintai Naoko, yang menjadi salah satu istri yang sangat setia hingga akhir hidupnya (Weiner, 2007).
Kritik dan Kontroversi Kehidupan Pribadi Soekarno
Kehidupan cinta Soekarno sering kali menjadi bahan kritik, terutama dari lawan politiknya. Selama menjabat sebagai presiden, Soekarno dikenal sering dikelilingi oleh wanita-wanita cantik dan mendapat sorotan tajam dari media, baik nasional maupun internasional.Â
Namun, Soekarno menanggapi hal ini dengan santai. Baginya, cinta dan kekaguman terhadap wanita adalah bagian dari hidupnya yang tidak bisa diabaikan.
Mengapa mereka mengecam saya? Apakah mencintai wanita itu dosa?
katanya dalam beberapa wawancara (Adams, 1966).
Meski demikian, kehidupan pribadinya ini tidak jarang dimanfaatkan oleh lawan politiknya untuk mendiskreditkan kepemimpinannya. Pada akhir tahun 1950-an dan awal 1960-an, kehidupan pribadi Soekarno yang flamboyan sering kali dijadikan senjata untuk menyerang legitimasinya sebagai pemimpin negara.Â
Bahkan, di tengah krisis ekonomi dan politik yang dihadapi Indonesia pada tahun 1960-an, isu tentang hubungan pribadinya kerap menjadi topik utama di media (Legge, 1972).
Soekarno dan Relevansinya dengan Indonesia Saat Ini
Sosok Soekarno sebagai pengagum wanita dan pemimpin kharismatik memiliki sangkut paut yang kuat dengan Indonesia saat ini. Gaya kepemimpinannya yang merakyat, dekat dengan rakyat kecil, dan memancarkan pesona sebagai seorang pemimpin besar, masih banyak diadopsi oleh para pemimpin setelahnya.Â
Soekarno, meskipun penuh kontroversi, tetap dikenang sebagai bapak bangsa yang mampu menyatukan Indonesia di tengah keberagaman suku, agama, dan budaya (Anderson, 1972).
Di sisi lain, kehidupan pribadi Soekarno yang penuh warna mengajarkan kita bahwa seorang pemimpin besar tetaplah manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya.Â
Kebhinekaan Indonesia yang selalu ditekankan oleh Soekarno dalam pidatonya tercermin dalam bagaimana ia menjalin hubungan dengan wanita-wanita dari berbagai latar belakang. Dalam konteks modern, semangat ini mengajarkan bahwa keragaman, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam masyarakat, adalah kekuatan yang harus dirayakan, bukan ditakuti (Nasution, 1995).