Mohon tunggu...
Inovasi Pilihan

Dietary Fiber Digunakan untuk Produk Minuman Mengandung Susu

6 Januari 2019   13:22 Diperbarui: 6 Januari 2019   18:07 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: http://www.putratani.com

Susu merupakan salah satu produk yang penting dalam pemenuhan nutrisi terutama pada anak-anak. Mayoritas konsumsi susu pada anak-anak adalah susu yang sudah termodifikasi atau dikenal sebagai susu formula.

Berdasarkan studi Sigma Research pada tahun 2017, sebanyak 69,1% ibu di Indonesia memilih susu formula sebagai pengganti ASI setelah usia menyusui selama 19 - 24 bulan. Hal ini tentunya berhubungan erat dengan fungsi susu formula sebagai salah satu penunjang pertumbuhan dan kondisi kesehatan anak.

Selain itu, banyak produk susu lainnya mau pun produk pangan yang mengandung susu tersebar secara luas di masyarakat. Hal tersebut menjadi penguat bahwa produk minuman mengandung susu atau susu itu sendiri efektif sebagai pembawa zat-zat penting yang dibutuhkan oleh tubuh, sehingga sering dilakukan fortifikasi atau dengan kata lain menambahkan zat-zat yang baik bagi tubuh ke dalam produk minuman mengandung susu.

Salah satu komponen penting yang kerap ditambahkan dalam produk susu terutama susu formula adalah dietary fiber atau serat pangan. Serat pangan merupakan golongan karbohidrat yang tidak dapat dicerna oleh tubuh, khususnya di usus halus yang meliputi selulosa, hemiselulosa, pektin, lignin, oligisakarida, mau pun beta-glukan (Lattimer et al. 2010).

Serat pangan dapat diklasifikasikan berdasarkan kelarutannya dalam air, yaitu soluble dietary fiber (SDF) dan insoluble dietary fiber (IDF). SDF merupakan serat pangan yang larut dalam air, sedangkan IDF tidak larut dalam air.

Keduanya memiliki fungsi yang baik dalam tubuh, namun salah satu pembeda dari keduanya adalah bahwa IDF tidak berperan dalam fermentasi yang terjadi di dalam usus besar, mampu menambah bobot feses, serta mencegah konstipasi, sedangkan SDF merupakan komponen yang dapat terlibat dalam proses fermentasi dalam usus besar (Dhingra et al. 2012).

Dengan kata lain, SDF mampu menstimulasi tumbuhnya bakteri baik pada usus besar dan hal tersebut baik bagi kesehatan (Nuraida et al. 2011).

Implementasi keberadaan serat pangan dalam produk susu erat kaitannya dengan SDF. Dalam hal ini, sebagaimana fungsi dari SDF yang baik dalam menstimulasi tumbuhnya bakteri baik dalam usus besar diketahui juga berperan sebagai prebiotik.

Akan tetapi, tidak semua SDF dapat digolongkan sebagai prebiotik. SDF dan prebiotik merupakan istilah yang berkaitan satu dengan yang lainnya, namun perbedaannya terdapat pada kemampuan dalam menstimulasi pertumbuhan bakteri baik tertentu pada usus besar seperti Bifidobacteria dan Lactobacilli yang dapat bermanfaat bagi kesehatan (Miremadi dan Shah 2012).

Prebiotik yang umum digunakan adalah fruktooligosakarida (FOS), galaktooligosakarida (GOS), dan inulin (Nuraida et al. 2011). FOS, GOS, dan atau inulin dapat diekstrak dengan dilakukan pemasakan terlebih dahulu, kemudian diekstraksi dengan pelarut etanol (Herminiati 2012).

Penambahan FOS, GOS, dan atau inulin ke dalam produk minuman mengandung susu atau pun produk susu dilakukan sebelum proses pasteurisasi agar kontaminasi mikroba pada prebiotik dapat dihilangkan. Prebiotik tersebut mampu bertahan dalam proses panas seperti pasteurisasi dan terlebih karena tidak berpengaruh nyata pada perubahan produk minuman itu sendiri dari segi rasa, aroma, dan warna (Desnilasari dan Lestari 2014).

FOS, GOS, dan inulin sebagai serat pangan yang berperan pula sebagai prebiotik memiliki karakteristik masing-masing sebagai berikut:

  • Fosfooligosakarida (FOS)

Fosfooligosakarida (FOS) merupakan jenis dari oligosakarida yang terdapat pada bahan pangan nabati. FOS terdiri atas 3 - 10 unit monosakarida yang dihubungkan dengan ikatan glikosidik (1,2) (Tamine et al. 1995).

FOS dikategorikan kepada komposisi dari suatu produk, bukan sebagai bahan tambahan pangan. FOS dikategorikan sebagai serat pangan dan di Amerika Serikat memiliki status GRAS (Generally Recognized as Safe) (Hauly dan Moscatto 2002). Penelitian secara in vitro dan in vivo menunjukkan bahwa FOS tidak memiliki efek genotoksisitas dan mutagenitas.

Selain itu, penelitian menggunakan tikus menunjukkan tidak adanya efek berbahaya jika mengonsumsi FOS kurang dari 2,17 g/kg/hari (Spiegel et al. 1994). FOS tidak dapat dicerna oleh usus halus manusia, akan tetapi dapat menstimulasi pertumbuhan dan meningkatkan jumlah bakteri seperti Bifidobacteria serta menekan pertumbuhan bakteri patogen yang merugikan pada kolon (Gibson dan Roberfroid 1995).

Pada kolon, Bifidobacteria akan mensekresikan enzim beta-fruktosidase yang bertanggung jawab pada hidrolisis FOS (Roberfroid 1993). Jumlah populasi bakteri patogen dalam kolon dapat ditekan dikarenakan terbentuknya short chain fatty acid (SCFA) sebagai hasil dari fermentasi FOS yang akan menurunkan kondisi pH di sekitar kolon (Wang dan Gibson 1993).

  • Galaktooligosakarida (GOS)

Galaktooligosakarida (GOS) juga termasuk ke dalam jenis oligosakarida yang tidak dapat dicerna. GOS terdiri atas 2 - 5 molekul galaktosa yang terhubung dengan laktosa dengan ikatan beta-glikosidik. GOS tidak memiliki efek toksisitas, tetapi memiliki efek laksatif apabila dikonsumsi melebihi 0,3 - 0,4 g/kg berat badan/hari, sehingga mampu menyebabkan diare (Sako et al. 1999). GOS dapat meningkatkan pertumbuhan Bifidobacteria dan juga menekan bakteri patogen sehingga dapat meningkatkan kesehatan kolon (Brouns dan Vermeer 2000).

Inulin merupakan polimer rantai lurus dengan ikatan beta-glikosidik yang diturunkan dari D-fruktosa, sehingga tergolong ke dalam kelompok fruktan (Roberfroid 1993). Inulin merupakan cadangan karbohidrat yang dapat ditemukan pada banyak tumbuhan. Konsentrasinya bergantung kepada varietas, waktu pemanenan, dan kondisi penyimpanan (Rutherford dan Whittle 1982).

Menurut Coussement (1999), tidak ditemukannya efek toksik akibat konsumsi makanan yang mengandung inulin. Penelitian menunjukkan bahwa inulin berperan sebagai faktor bifidogenik yang dapat memberikan efek seperti menurunkan jumlah bakteri patogen pada kolon (Kaur dan Gupta 2002).

Daftar pustaka

Brouns F, Vermeer C. Functional food ingredients for reducing the risks of osteoporosis. Trends in Food Science and Technology. 11(1): 22 -- 33.

Coussement PA. 1999. Inulin and oligofructose: safe intakes and legal status. The Journal of Nutrition. 129(7): 1412 -- 1417.

Desnilasari D dan Lestari NPA. 2014. Formulasi minuman sinbiotik dengan penambahan puree pisang ambon (Musa paradisiaca var sapientum) dan inulin menggunakan inokulum Lactobacillus casei. Agritech. 34(3): 257 -- 265.

Dhingra D, Michael M, Rajput H, Patil RT. 2010. Dietary fiber in foods: a review. J Food Sci Technol. 49(3): 255 -- 266.

Gibson GR, Roberfroid MB. 1995. Dietary modulation of human colonic microbiota-introducing the concept of prebiotics. The Journal of Nutrition. 125(6): 587 -- 597.

Hauly MCO, Moscatto JA. 2002. Inulin and oligofructosis: a review about functional properties, prebiotic effects, and importance for food industry. Semina: Ciencias Exatas e Tecnologicas. 23(1): 105 -- 118.

Herminiati A. 2012. Umbi dahlia: potensi, peranan, dan prospek pengembangannya. Pangan. 21(4): 397 -- 406.

Kaur N, Gupta AK. 2002. Applications of inulin and oligofructose in health and nutrition. Journal of Bioscience. 27(7): 703 -- 714.

Lattimer JM dan Haub MK. 2010. Effects of dietary fiber and its components on metabolic health. Nutrients. 2: 1266 -- 1289.doi: 10.3390/nu2121266.

Miremadi F, Shah NP. 2012. Application of inulin and probiotics in health and nutrition. International Food Research Journal. 19(4): 1337 -- 1350.

Nuraida L, Mardiana NR, Faridah DN, Hana. 2011. Metabolisme prebiotik oleh kandidat probiotik isolat ASI sebagai dasar pengembangan produk sinbiotik. J. Teknol. dan Industri Pangan. 22(2): 156 -- 163.

Roberfroid MB. 1993. Dietary fiber, inulin, and oligofructose: a review comparing their physiological effects. Critical Reviews in Food Science and Nutrition. 33(2): 103 -- 148.

Rutherford PP, Whittle R. 1982. The carbohydrate composition of onions during long term cold storage. Journal of Horticultural Science and Biotechnology. 57(3). 349 -- 356.

Sako T, Matsumoto K, Tanak R. 1999. Recent progress on research and applications og nondigestible galacto-oligosaccharides. International Dairy Journal. 9(1): 69 -- 80.

Sigma Research. 2017. Perilaku penggunaan susu formula di Indonesia 2017. Sigma Research: Marketing and Social Research Agency [internet]. [diunduh 2018 Des 18]. Tersedia pada: http://sigmaresearch.co.id/perilaku-penggunaan-susu-formula-di-indonesia-2017/.

Spiegel JE, Rose R, Karabell P, Frankos VH, Schmitt DF. 1994. Safety and benefits of fructooligosaccharides as food ingredients. Food Technology. 48(1): 85 -- 89.

Tamine A, Marshall V, Robinson R. 1995. Microbiological and technological aspects of milks fermented by bifidobacteria. Journal of Dairy Research. 62(1): 151 -- 187.

Wang X, Gibson GR. Effects of the in vitro fermentation of oligofructose and inulin by bacteria growing in the human large intestine. Journal of Applied Bacteriology. 75(4): 373 -- 380.

Penulis

Renal Syah Putra

Dellania Tri Husnisa

Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor (ITP IPB)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun