Dengan pertimbangan memenuhi kebutuhan air penduduk Kota New York secara berkelanjutan maka dipilihlah, konservasi di kawasan hulu dengan cara membeli semua lahan di hulu dan dijadikan daerah konservasi. Dan pilihan ini ternyata tempat, hingga sekarang Kota New York mendapat pasukan air baku yang baik secara kualitas dan cukup secara kuantitas dan terjamin kontinuitasnya.
Di Malaysia, konservasi tidak hanya dilakukan di kawasan hulu (dataran tinggi), namun juga dilakukan di dataran rendah (lahan basah) sehingga negara tetangga kita ini ramai-ramai melakukan pencabutan kelapa sawit di lahan basah dan “memindahkan” perkebunan sawit mereka ke Indonesia. Malaysia menyadari betul bahwa dataran rendah yang terdapat di alam memang diciptakan untuk tampungan dan cadangan air. Anehnya di Indonesia, malah ramai-ramai menanam kelapa sawit di lahan basah yang notabenenya di lahan gambut.
Lamban laun lahan yang dulunya basah mulai mengering akibat banyak dibuat parit-parit ditambah sifat kelapa sawit yang banyak menyerap air. Lahan gambut yang kering sifatnya mudah terbakar dan sukar untuk dipadamkan. Apabila tidak dijaga maka dampaknya dapat kita rasakan seperti sekarang ini yakni berupa bencana asap yang tak kunjung reda.
Infrastruktur Sumber Daya Air
Pada tahun 1940-an, Ahli air dari Belanda, Prof. Dr. Van Blommestein pernah memberikan suatu pemikiran tentang tata kelola air di Pulau Jawa secara terpadu. Dasar pemikirannya sederhana yaitu kelebihan air di musim hujan di tampung dan disimpan (bendungan atau waduk) untuk dapat dimanfaaatkan di saat musim kemarau. Akan tetapi saat itu gagasanya belum dianggap perlu karena daya tampung dan daya dukung Pulau Jawa masih bagus.
Melihat kondisi sekarang ini, gagasaan Prof. Dr. Van Blommestein tersebut tentu sangat relevan. Sesuai Nawa Cita, lima tahun ke depan Pemerintah Jokowi berencana membangun sebanyak 49 waduk dan bendungan di Indonesia, 16 di antaranya saat ini sudah mulai dikerjakan dan satu bendungan sudah selesai dan mulai beroperasi yaitu bendungan Jatibarang di Semarang Jawa Tengah.
Keberadaan bangunan infrastruktur seperti bendungan/waduk/embung memang sangat penting untuk dapat menampung air sehingga dapat dikendalikan dan dimanfaatkan sebagai energi, untuk irigasi pertanian serta memenuhi kebutuhan air domestik dan industri.
Namun volume air pengisinya sangat tergantung dengan keberadaan mata air di hutan-hutan yang berada di kaki pegunungan. Apabila hutan gundul maka tidak ada cadangan air sehingga saat kemarau bendungan/waduk/embung ini hanya terisi oleh lumpur saja. Jadi disamping giat membangun infrastruktur fisik, pemerintah harus juga membarenginya dengan pembangunan non infrastruktur seperti penghijauan hutan-hutan di kawasan hulu serta berupaya terus menerus menyadarkan masyarakat betapa pentingnya konservasi air yang berkelanjutan.
Teknologi Pengolahan Air
Bagi Anda yang pernah pelisir ke Singapura entah untuk berobat atau sekedar jalan ramai-ramai bersama orang satu kantor dan Anda pernah membeli air minum dalam kemasaan “NEWater” maka itulah adalah air minum yang berasal dari hasil pengelolaan air buangan. Tentunya melalui tahapan proses pengolahan sampai menjadi air layak konsumsi sesuai standar kesehatan.
Luas Singapura hanya 718 km2 atau separuh lebih dikit dari luas Danau Toba, yang wilayahnya tidak banyak memiliki sumber mata air sehingga pemerintahnya putar otak untuk mengatasi keterbatasan sumber air baku ini. Terdapat beberapa pilihan, pertama, membeli air dari negara tetangga, kedua memanen air hujan, ketiga mengolah air buangan untuk keperluan domestik dan industri.