Indonesia merupakan bangsa yang besar dengan berbagai keberagaman ras, suku, bahasa, agama, kebudayaan, kebiasaan dan wilayah. Fakta keberagaman agama, suku, bahasa, wilayah, ras dan wilayah merupakan gambaran betapa indahnya Indonesia dari pulau Sabang sampai pulau Merauke dan dari pulau Miangas sampai pulau Rote.
Berdasarkan hasil sensus penduduk bulan september 2020, jumlah penduduk Indonesia meningkat 32,57 juta jiwa dari 270,20 juta jiwa dan jumlah bahasa daerah sebanyak 718, jumlah pulau 17.491, jumlah propinsi 34, jumlah kabupaten/kota 514, dan  presentase berkeyakinan sebanyak 6 agama serta luas wilayah Indonesia 5.193.250 km2, terdiri dari luas daratan 1.919.440 km2 dan luas laut 3.273.250 km2.[1] Data-data tersebut menggambarkan begitu beragam dan begitu kaya serta betapa indahnya bangsa Indonesia. Indikator-indikator yang di gunakan untuk mengukur kemajemukan yaitu 1. Regulasi pemerintah kota (menyangkut rencana pembangunan, produk hukum dan kebijakan), 2. Demografi agama (Adanya Perbedaan kepercayaan), 3. Regulasi Sosial (Dinamika masyarakat sipil, peristiwa di sekitar masyarakat) 4. Dinamika kebudayaan (kebiasaan, suku dan ras), 5. Dinamika pendidikan, 6. Penerimaan masyarakat, 7. Bahasa sehari-hari, 8. Komposisi dan sebaran penduduk, serta hal-hal lain yang terkait.
Berdasarkan indikator-indikatot tersebut, maka penulis melihat berbagai problematika yang terjadi Sepanjang tahun 2020 terdapat banyak kasus yang berkaitan dengan intoleransi agama. Kasus-kasus intoleransi sangat kental dan sangat merugikan banyak pihak, terutama pihak-pihak yang dianggap minoritas menurut pandangan kualitatif. Hal ini tentu melanggar norma hukum yang terjadi dalam ekspresi kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam Negara Demokrasi yang di dalamnya terdapat sila pertama pancasila yaitu ke-Tuhanan yang Maha Esa serta undang-undang Pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu
Berdasarkan riset SETARA Institute for Democracy and Peace, LSM yang melakukan penelitian dan advokasi tentang demokrasi, kebebasan politik, dan hak asasi manusia serta penelusuran Media Tirto menghimpun pelanggaran Kebebasan Beribadah dan Berkeyakinan yang masih terjadi dalam masa pandemi Covid-19. Akhir April 2020, hampir dua bulan setelah pandemic Covid-19 dinyatakan masuk ke Indonesia, peribadatan di rumah seorang penganut Kristen di Cikarang Pusat digerebek oleh warga sekitar dengan alasan melanggar Pembatasan Sosial Berskala Besar.Kemudian, pada September lalu, terjadi pelarangan pembangunan rumah dinas pendeta di Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD) di Aceh Singgil. Kasus-kasus intoleransi lain yang terjadi selama pandemi di antaranya: sekelompok orang mengganggu ibadah jemaat HKBP KSB di Kabupaten Bekasi pada 13 September 2020; sekelompok warga Graha Prima Jonggol menolak ibadah jemaat Gereja Pantekosta di Bogor pada 20 September 2020; umat Kristen di Desa Ngastemi, Kabupaten Mojokerto, dilarang beribadah oleh sekelompok orang pada 21 September 2020; dan larangan beribadah terhadap jemaat rumah doa GSJA Kanaan di kabupaten Nganjuk, Jawa Timur 2 oktober 2020. Ada pula kasus surat edaran dari Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang berisi instruksi seluruh siswa dan siswa SMA/SMK wajib membaca buku Muhammad Al-Fatih 1453 karya Felix Siauw.[2]Â
Rentetan peristiwa yang terjadi meninggalkan catatan besar bagi pemerintah serta instansi terkait. Menilik, berbagai kasus yang terjadi, tampaknya kata kebebasan dan toleransi perlu dikaji dan perlu dilihat lagi oleh negara.Sebab, pihak-pihak yang mengalami sikap intoleransi dalam hal ini gereja-gereja dan jemaatnya merasa bahwa kebebasan untuk beribadah dan berekspresi pada Tuhan tak mendapat jaminan yang jelas serta sikap toleransi yang rendah. Bagi mereka semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan sila pertama pancasila hanyalah sebuah kalimat yang tak berarti.Oleh karena itu, perlunya kesadaran dalam beragama, berbangsa dan bernegara yang baik, menurut aturan yang berlaku.Sehingga perbedaan bukan menjadi tameng tapi perbedaan menjadi tali ikatan persaudaraan.
Semua indikator dan problematika yang terjadi adalah masalah yang kompleks dan nyata. Untuk menyelesaikan hal ini, maka perlu kerja sama dari berbagai kalangan khususnyan Pendidikan Agama Kristen dalam menciptakan perdamaian melalui peranan edukatif, peranan sosial dan peranan spiritual. Oleh karena itu, berikut adalah penjelasan detailnya.
Hakikat Pendidikan Agama Kristen
Dalam KBBI Pendidikan merupakan Proses Pengubahan sikap dan tata cara laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses, cara, perbuatan mendidik[3]. Dengan kata lain pendidikan adalah wadah atau sarana yang dipakai untuk mendidik seseorang demi kebaikan seseorang tersebut dalam upaya mendewasakannya. Menurut Sidjabat, Â pendidikan berasal dari dua kata Latin yakni Educare yang berarti merawat, memperlengkapi dengan gizi agar sehat dan kuat, dan educere yang berarti membimbing ke luar. Maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan sebuah upaya sadar dan sengaja untuk memperlengkapi seseorang atau sekelompok orang, guna membimbing keluar dari suatu tahapan keadaan hidup ke suatu tahapan yang lebih baik. Jadi dari pendapat ini dapat dikatakan bahwa sebenarnya pendidikan mempunyai sebuah misi transformasi. Berupaya mengubah kehidupan seseorang menjadi lebih baik, membuat orang tidak tahu menjadi tahu untuk mengenalkan kepada orang sebuah dimensi pemikiran baru yang dapat mentransformasi kehidupan.[4]
Secara umum, pendidikan terdiri dari tiga jenis, yaitu  pendidikan formal, nonformal, dan pendidikan informal.Menurut UU Sisdiknas No.20 tahun 2003, pendidikan formal  adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.Pendidikan ini diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau masyarakat.Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan yang mencakup pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan,  pendidikan  keterampilan  dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Pendidikan jenis ini dapat diadakan oleh lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Sementara itu, pendidikan informal adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri dimana hasilnya dapat diakui pemerintah sebagai setara dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.[5]
Tujuan pendidikan menurut undang-undang dapat diartikan lebih luas menjadi sebuah tatanan perilaku individu dalam peranya sebagai warga Negara. membentuk anak menjadi warga negara yang baik. Karena pendidikan merupakan bimbingan terhadap perkembangan manusia menuju ke arah cita-cita tertentu, maka masalah pokok bagi pendidikan ialah memiliki sebuah tindakan agar dapat mencapai sebuah tujuan.[6] Pembahasan pendidikan agama Kristen dalam kaitan keduanya karena pelaksanaan pendidikan agama Kristen secara formal tidak bisa berjalan sendiri, tetapi harus ditopang oleh pendidikan agama Kristen yang dijalankan secara nonformal dan informal di dalam gereja dan masyarakat.[7] Tantangan pendidikan Kristen saat ini diperhadapkan dengan kemajuan zaman di bidang pengetahuan dan teknologi yang berkembang pesat. Informasi dunia yang dapat diakses dengan mudah dan murah oleh siapa saja melalui genggaman tangan, menjadi tantangan yang kompleks bagi pendidik dalam mendidik anak didik terutama dalam perkembangan karakter yang disesuaikan dengan asas-asas yang berlandaskan sumber kebenaran firman Allah yaitu Alkitab.[8]
Untuk diketahui bahwa, pada umumnya pendidikan di Indonesia dibedakan dalam dua bentuk yakni, penidikan umum dan pendidikan agama. Kedua jenis pendidikan tersebut dibawah naungan kementerian yang berbeda. Pendidikan umum berada dibawah kementrian pendidikan dan kebudayaan dan Kementrian Pendidikan Tinggi Riset dan Teknologi. Sedangkan Pendidikan Agama berada dibawah Kementrian Agama.[9] Menurut Hasudungan Simatupang ada 3 bentuk pendidikan Kristen yakni, Pendidikan Kristen, Pendidikan Agama Kristen dan Pendidikan Keagamaan Kristen. Pendidikan Kristen (Christian Education) diakui tetap berada pada tataran gereja. Ini terbukti bahwa sejak gereja lahir hingga sekarang, termasuk gereja-gereja diindonesia menjalankan fungsinya dalam Pendidikan Kristen, Gereja Kristen tidak hanya merupakan tempat beribadah, tetapi tempat berlangsungnya pendidikan dan pembelajaran Pendidikan Kristen. Hal ini sudah tepat dan tidak perlu untuk diragukan dan dipersoalkan. Sedangkan Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 55 tahun 2007 menjelaskan bahwa Pendidikan Agama Kristen berbeda dengan Pendidikan Keagamaan Kristen. Pendidikan Agama Kristen diselenggarakan disekolah umum yakni Taman kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Perguruan Tinggi Umum baik Negri/Swasta. Sedangkan Pendidikan Keagamaan Kristen diselenggarakan disekolah keagamaan Kristen  yakni ditingkat pendidikan anak usia dini (PAUD) Theologi Kristen, Sekolah Dasar Theologia Kristen (SDTK), Sekolah Menengah Pertama Theologia Kristen (SMPTK), Sekolah Menengah Theologia Kristen (SMTK) setara dengan SMA/SMK dan perguruan Tinggi Theologia atau Perguruan Tinggi Agama Kristen. Namun Pendidikan Kristen belum dibicarakan dalam Peraturan tersebut, hal ini dikarenakan "Pendidikan Kristen" belum didefenisikan secara tepat sehingga belum dikaji dan dikembangkan secara Ilmiah.[10]
Robet W.Pazmino sebagaimana dikutip oleh Sidjabat mengungkapkan bahwa Pendidikan Kristen (Christian Education) merupakan usaha bersahaja dan sistematis, ditopang oleh upaya rohani dan manusiawi untuk mentransmisikan pengetahuan, nilai-nilai, sikap-sikap, keterampilan-keterampilan, dan tingkah laku yang sesuai dengan iman Kristen; mengupayakan perubahan, pembaharuan dan reformasi pribadi, kelompok bahkan struktur oleh kuasa Roh Kudus sehingga peserta didik hidup sesuai dengan kehendak Allah sebagaimana dinyatakan oleh Alkitab terutama dalam Yesus Kristus.Jadi dari pernyataan ini dapat  disimpulkan bahwa fokus Pendidikan Agama Kristen itu adalah mengenai pembaharuan hidup seseorang supaya sejalan dengan kehendak Kristus dengan berlandaskan firman Tuhan yang tertuang dalam Alkitab.Dengan  kata  lain, Pendidikan Agama Kristen dapat disebut sebagai pendidikan berbasis Alkitab.[11] Sejarah pendidikan agama Kristen dimulai dari persekutuan Allah dan manusia dalam Perjanjian Lama. Bermula saat Tuhan telah memilih dan memanggil Abraham dari jauh untuk melayani kehendak-Nya yang agung guna keselamatan seluruh umat manusia. Bimbingan dan maksud Tuhan itu perlu dijelaskan kepada anak cucunya. Ishak meneruskan ajaran yang penting itu dan kemudian anaknya Yakub pula menanamkan segala perkara ini ke dalam batin anak-anaknya.Dalam Perjanjian Baru pendidikan Kristen pertama-tama berpusat pada Tuhan Yesus.Di samping jabatan-Nya sebagai Penebus dan Pembebas, Tuhan Yesus juga menjadi seorang Guru yang Agung.[12]
Pendidikan agama Kristen bertujuan untuk menyatakan kehendak Allah dengan mengajarkan, mendidik, membina, menasihati dan menuntun warga gereja atau warga kristiani maupun naradidik untuk mengenal Allah dan kehendakNya, menyatakan kasih, pengampunan, perdamaian, keadilan, kebenaran dalam mewujudkan Kerajaan Allah ditengah dunia.Sebagaimana maksud dan tujuan Kristus dalam memproklamasikan pekerjaanNya di tengah dunia dan sesama manusia.Yesus menyatakan bahwa "Roh Tuhan ada padaKu, oleh sebab Ia  telah mengurapi  Aku  untuk  menyampaikan kabar  baik  kepada orang-orang  miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang" (band. Lukas 4:18-19; Yesaya 61:1-2; Matius 13:57; Markus, 6:4; Yohanes 4:44).[13] Pendidikan Kristiani berupaya/bertujuan untuk mendampingi, memperlengkapi manusia agar mengalami pertumbuhan imannya secara utuh mengalami perkembangan secara fisik, jiwa dan roh.[14]
Menurut Miler, tujuan Pendidikan Kristen adalah mengantar pelajar sehingga mengalami pengalaman yang benar dengan Allah, Bapa Tuhan Yesus Kristus, dengan kata lain tujuan merupakan usaha menjadikan peserta didik sebagai murid sejati. Lain halnya dengan Brian Hill dalam Pazmino mengatakan bahwa Pendidikan Kristen bukan sekedar kegiatan yang membawa manusia memiliki pengetahuan, tetapi tidak terpisah dari Allah. Sedangkan Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 55 tahun 2007 Pendidikan keagamaan bertujuan memberikan pengetahuan dan membentuk sikap,kepribadian,dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya,yang dilaksanakan sekurang-kurangnya dalam mata pelajaran/kuliah pada semua jalur,jenjang dan jenis pendidikan. Dan ini berlaku untuk semua agama, termasuk pendidikan agama Kristen. Selanjutnya, didalam peraturan tersebut, mengemukakan fungsi pendidikan agama ialah membentuk manusia Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan yang maha esa,berakhlak mulia mampu menjaga kedamaian dan kerukunan, sedangkan pendidikan keagamaan yang terdiri dari pendidikan keagamaan/Agama dan Pendidikan Teologi berpungsi mempersiapkan peserta didik menjadi masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya, atau menjadi ahli ilmu agama.[15] Dengan demikian maka, hakikat dan tujuan pendidikan agama Kristen membutuhkan manusia untuk mencapai tujuannya dan merubah pola pikir, pola hidup, pola tingkah laku dan pola sosial masyarakat dalam bersosialisasi.
 Multikultural dalam sejarah Indonesia
Multikultural di Indonesia khususnya di ranah pendidikan merupakan sebuah isu yang hangat untuk diperbincangkan. Sementara itu masyarakat di Indonesia yang bersifat plural atau beragam, baik itu suku, ras, dan agama (SARA). Kondisi bangsa Indonesia yang mempunyai ragam suku dan agama dapat memperkaya bangsa ini apabila dari setiap suku dan agama dapat hidup rukun dan saling berdampingan. Namun di lain pihak, perbedaan ini juga dapat menyebabkan adanya konflik antar suku dan agama. Terjadinya konflik suku, ras, agama, dan antar golongan diberbagai daerah di Indonesia seperti di Ambon, Aceh, Poso, Sampit, dan beberapa daerah lain menjadi bukti kebenaran pendapat ini. Simao de Assuncao juga mengatakan, "Kemajemukan dalam masyarakat dapat menimbulkan potensi konflik yang pada situasi tertentu dapat muncul ke permukaan kehidupan menjadi masalah yang krusial, bahkan dapat memecah belah bangsa Indonesia."[16] Provinsi Kalimantan Barat merupakan salah satu wilayah yang banyak mencatat pertikaian etnis yang berujung pada konflik. Konflik-konflik tersebut melibatkan beberapa etnis di dalamnya. Beberapa tulisan bahwa suku Dayak dan suku Madura adalah suku yang sering terlibat dalam pertikaian di Kalimantan Barat. Edi Patebeng dalam bukunya yang berjudul Dayak Sakti, Ngayau, Tariu, Mangkok Merah, Konflik Etnis di KalBar 1996/1997 mencatat berdasarkan data baik tulisan maupun lisan dalam versi Dayak, sudah sebelas kali terjadi konflik Dayak-Madura di Kalimantan Barat hingga tahun 1997.[17]
Melihat pada banyaknya jumah peristiwa yang terjadi, tercetuslah berbagai pendapat untuk menemukan penyebab-penyebab konflik. Ada tiga argumen yang dikemukakan komentator lokal untuk menjelaskan pertikaian yang terjadi di antara Dayak dan Madura, yaitu argumen Budaya, Ekonomi, dan Politik.[18] Argumen pertama menyebutkan sifat kesukuan/kultur budaya masing-masing etnis dan perbedaan adat istiadat memudahkan terjadinya gesekan atau perselisihan. Argumen kedua, timbulnya kesenjangan sosial di antara masyarakat pribumi dengan masyarakat pendatang khususnya etnis Madura. Kesenjangan sosial muncul ke permukaan akibat adanya peminggiran suku pribumi, dimana lahan pertanian mereka perlahan berubah menjadi area perkebunan komersil atau kawasan pertambangan yang lama-kelamaan diambil alih oleh para pendatang ataupun para transmigran. Argumen ketiga dengan melihat adanya penggunaan kekuasaan di daerah konflik dan kepentingan politik yang mungkin disebabkan oleh pertikaian etnis.[19] Berbagai pertikaian atau konflik terjadi karena pertentangan atau perbedaan pendapat paling tidak antara dua orang atau kelompok. The British Council mendefinisikan konflik sebagai hubungan dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan.[20]Â
Beberapa faktor yang memungkinkan konflik etnis muncul ke permukaan menjadi konflik terbuka adalah pertama, perubahan konstelasi politik pada masa reformasi dan iklim kebebasan yang dijunjun tinggi menjadi ladang subur untuk mengungkapkan keresahan beberapa kelompok etnik. Kedua, ketidakmerataannya pembangunan di berbagai wilayah di Indonesia disadari atau tidak terpolarisasi berdasarkan kelompok etnik. Ketiga, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam masyarakat Indonesia identitas etnik menjadi faktor penting dalam kehidupan masyarakat, terutama pedesaan.[21] Konflik juga terjadi di Poso pada tahun 1998, dimana Indonesia memasuki era reformasi denganditandai jatuhnya rezim Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto. Wilayah Poso merupakan sebuah Kabupaten di Sulawesi Tengah. Kabupeten Poso secara administratif terbagi menjadi 19 Kecamatan, yang terdiri dari 23 Kelurahan dan 133 desa, dengan total jumlah penduduk 209. 228 jiwa.[22] Salah satu penyebab konflik Poso adalah permasalahan yang berkaitan dengan problema historis yang menyangkut masalah penduduk asli Poso yang merasa termarjinalkan dengan keberadaan penduduk pendatang dari luar Poso. Keadaan ini merujuk pada pengertian konflik sosial menurut Coser yang menyatakan bahwa penyebab latar belakang dari konflik biasanya karena pertentangan atau pertikaian antar kelompok dengan identitas yang jelas terlibat konflik dalam mengejar ataumemperebutkan isu-isu tertentu, seperti pertentangan nilai atau menyangkut klaim terhadap status (jabatan politik/sosial), kekuasaan, pertentangan, dan sumber daya alam.[23] Penduduk asli Poso merasa termarjinalkan di bidang sosial ekonomi karena para pendatang lebih sukses karena mempunyai bidang tanah yang lebih luas dari keuntungan hasil panen cokelat, di bidang politik penduduk asli Poso merasa tersingkirkan karena pada masa lalu elit Kristen kekuasaannya dominan di pemerintahan Kabupaten Poso akan tetapi kondisi berbalik setelah Islam lebih banyak penganutnya di Poso. Perbedaan agama ini akhirnya menjadi senjata ampuh bagi para elit untuk menjadikan kendaraan politiknya untuk bersaing dan konflik untuk mendapatkan jabatan kekuasaan dalam mencapai kepentingan politiknya tersebut dan dilakukannya dengan cara memobilisasi massa melalui isu sensitif yaitu isu etnis dan agama.[24]
Mengingat begitu beragamnya latar belakang dan tingkat sosial masyarakat, maka persoalan hak dan kewajiban senantiasa muncul menjadi konflik sosial yang berkepanjangan dan terjadi di berbagai daerah. Konflik-konflik yang sering terjadi karena persoalan menggunakan simbol-sibol ras, etnis, agama, dan golongan yang mengakibatkan banyak korban jiwa yang berjatuhan. Keragaman adalah realitas Indonesia yang tidak dapat ditolak. Keragaman elemen yang membentuk masyarakat politik (negara) Indonesia terlihat jelas dalam sejarah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Semboyan Bhineka Tunggal Ika (Berbeda-beda tetapi tetap satu) secara jelas menyatakan bahwa keragaman yang ada di dalam bangsa Indonesia tidak bisa dihomogenisasi.
Peran PAK dalam menciptakan kedamaian
Bangsa Indonesia merupakan salah satu bangsa yang multikultur. hal ini dapat dilihat dengan keberagaman yang ada didalamnya mulai dari suku, agama, budaya, dan bahasa, harus nya sebagai warga Negara Indonesia kita harus memandang atau membentuk pola pikir dalam minset kita bahwa ini merupakan suatu kekayaan yang dimiliki oleh Indonesia dimana didalamnya harusnya terdapat penerimaan satu antara yang lain. Namun berbanding terbalik dengan realita yang terjadi malah tak sedikit keberbedaan ini yang menjurus kepada sebuah konflik seperti yang pernah terjadi didalam sejarah kelam Indonesia seperti pada tahun 1998 kekerasan terhadap etnis china di Jakarta, tahun 1999 islam-kristen di Maluku Utara, tahun 1931 perang etnis dayak dan Madura serta peristiwa tahun 2020 dimana terjadi penolakan terhadap orang papua dan banyak lagi. Bila keadaan ini terus menerus diwarisi kepada generasi berikutnya tentu ini merupakan sebuah keadaan buruk yang yang dapat merusak banyak hal, mulai dari keditak nyamanan untuk tinggal di bangsa ini karena merasa hak atau kebebasannya dirampas dan tentu juga ini akan mengakibatkan kerusakan kepada Negara ini tentunya.
Dengan adanya konflik-konflik yang sudah sempat disinggung oleh penulis maka itu merupakan sebuah masalah yang dimana didalamnya perlu menemukan sebuah solusi, demi memutus konflik tersebut untuk tidak terus menerus berlangsung dibangsa ini. Pendidikan Multikultural menawarkan alternative melalui penerapan setrategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada dimasyarakat khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, dan ras.[25]
Dari tinjauan kata Multikultural terdiri dari dua 2 suku kata, yaitu Multi dan Kultural. Dalam Kamus Ilmiah Populer, multi berarti banyak atau lipat ganda, sedangkan kultural adalah suatu hal yang berdasarkan budaya atau kebudayaan. Sedangkan secara terminologi, Pendidikan Multikultural adalah proses pengembangan seluruh Potensi manusia yang menghargai Pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya,etnis,suku dan aliran (agama).[26] Dengan demikian tujuan dari Pendidikan Multikultural bukan hanya sekedar untuk murid-murid dapat memahami sebuah pelajaran didalam bangku sekolah, namun lebih dari pada itu dimana murid (siswa) dapat menjadi pribadi yang bersifat humanis,pluralis dan demokratis. Untuk dapat mewujudkan keinginan ini tentu pendidik meliki peran yang sangat penting dimana diharapkan kepada setiap pendidik bukan hanya dapat menciptakan transfer ilmu didalam sebuah kelas melainkan juga ikut berperan untuk menanamkan nilai-nilai Pendidikan Multikultural seperti Demokrasi, humanisme dan Pluralisme kepada naradidiknya.Â
Sedangkan Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 55 tahun 2007 Pendidikan keagamaan bertujuan memberikan pengetahuan dan membentuk sikap,kepribadian,dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya,yang dilaksanakan sekurang-kurangnya dalam mata pelajaran/kuliah pada semua jalur,jenjang dan jenis pendidikan. Dan ini berlaku untuk semua agama, termasuk pendidikan agama Kristen. Selanjutnya, didalam peraturan tersebut, mengemukakan fungsi pendidikan agama ialah membentuk manusia Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan yang maha esa,berakhlak mulia mampu menjaga kedamaian dan kerukunan, sedangkan pendidikan keagamaan yang terdiri dari pendidikan keagamaan/Agama dan Pendidikan Teologi berpungsi mempersiapkan peserta didik menjadi masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya, atau menjadi ahli ilmu agama[27].
Maka tidak berbeda seperti penjelasan sebelumnya bahwa penulis menyimpulkan Pendidikan Agama Kristen Multikultural merupakan sebuah pendidikan yang bertujuan mengajar naradidik (Peserta didik) menjadi pribadi yang berwawasan luas, Pluralis, Humanis serta demokratis. Salah satu gambaran umat Allah yang Dewasa adalah dapat menerima setiap perbedaan, dapat menghargai satu dengan yang lain merupakan bentuk dari kasih itu sendiri dan Yesus Kristus sendiri merupakan sentral dari Pendidikan Agama Kristen itu sendiri mengajarkan untuk pengikutnya menjadi pembawa Damai dan Terang, orang yang akan membawa Damai hanyalah mereka yang dapat menerima perbedaan tanpa mendiskreditkan, orang yang membawa Damai merupakan mereka yang dapat menghotmati dan menghargai setiap agama,suku,ras,budaya yang berbeda. Sebab Kristus sendiri telah menunjukan sebuah jalan dan teladan bagaimana Yesus sendri merupakan suku Yahudi namun Dia juga bergaul dan menghormati mereka yang diluar suku Yahudi tanpa mendiskreditkan yang diluar sukunya, bahkan Dia Allah Yang Kudus dan maha suci dapat menerima keberadaan orang yang berdosa da nada banyak contoh-contoh didalam Alkitab.
Pendidikan Agama Kristen Multikultural haruslah mendidik murid dan mahasiswanya untuk dapat menerima setiap perbedaan, baik itu ras,budaya,suku bahkan agama sekalipun kita harus dapat mengajarkan kepada mereka bahwa mereka juga merupakan bagian dari diri kita sendiri yaitu "Indonesia" dan kita harus mengajarkan kepada naradidik untuk melihat sebagaimana Kristus melihat bahwa mereka juga memerlukan kasih sebagaimana tertulis dalam imamat 19:18,Markus 12:31 Â Allah sendiri memerintahkan Umat-NYA untuk mengasihi sesamamu manusia seperti diri sendiri. Kalau kita membaca ayat tersebut maka tidak ada dijelaskan didalamnya hanya suku atau bangsa tertentu, melainkan semua manusia kalau kita menafsirkannya lebih luas lagi tanpa memandang ras, suku, budaya dan agamanya apa.
Dalam Alkitab ada 2 perintah penting yang merangkum seluruh hukum yaitu, kasihilah Tuhan Allahmu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri Lukas 10:27. Pendidikan Agama Kristen Multikultural merupakan sebuah wadah yang ikut berperan demi menciptakan Perdamaian terutama dibangsa ini dan ayat diatas merupakan dasar yang perlu untuk disampaikan kepada naradidik, dan pendidikan Pendidikan Agama Kristen multicultural sudah seharunya diajarkan sejak usia sedini mungkin sehingga seorang anak akan bertumbuh dengan pemahaman yang benar bukan diasupi dengan pemahaman yang salah sehingga setibanya ia diusia dewasa pemahaman yang salah tersebut sudah mendarah daging didalam dirinya dan bila ini sudah terjadi maka akan sangat sulit untuk merubah paradigmnya, Pendidikan Agama Kristen perlu diajarkan sejak usia anak sedini mungkin seperti kata kitab Amsal 22:6 didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu. Dengan diterapkannya Pendidikan Agama Kristen Multikultural ada sebuah pengaharapan dimana ini dapat membantu mencegah atau mengurangi konflik yang terjadi dibangsa Indonesia.
 Kesimpulan
Indonesia merupakan bangsa yang besar dengan berbagai keberagaman ras, suku, bahasa, agama, kebudayaan, kebiasaan dan wilayah. Fakta keberagaman agama, suku, bahasa, wilayah, ras dan wilayah merupakan gambaran betapa indahnya Indonesia dari pulau Sabang sampai pulau Merauke dan dari pulau Miangas sampai pulau Rote. Namun di lain pihak, perbedaan ini juga dapat menyebabkan adanya konflik antar suku dan agama. Terjadinya konflik suku, ras, agama, dan antar golongan diberbagai daerah di Indonesia seperti di Ambon, Aceh, Poso, Sampit, dan beberapa daerah lain menjadi bukti kebenaran pendapat ini.
Rentetan peristiwa yang terjadi meninggalkan catatan besar bagi pemerintah serta instansi terkait. Menilik, berbagai kasus yang terjadi, tampaknya kata kebebasan dan toleransi perlu dikaji dan perlu dilihat lagi oleh negara.Sebab, pihak-pihak yang mengalami sikap intoleransi dalam hal ini gereja-gereja dan jemaatnya merasa bahwa kebebasan untuk beribadah dan berekspresi pada Tuhan tak mendapat jaminan yang jelas serta sikap toleransi yang rendah. Bagi mereka semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan sila pertama pancasila hanyalah sebuah kalimat yang tak berarti.Oleh karena itu, perlunya kesadaran dalam beragama, berbangsa dan bernegara yang baik, menurut aturan yang berlaku, ehingga perbedaan bukan menjadi tameng tapi perbedaan menjadi tali ikatan persaudaraan.
Pendidikan Multikultural menawarkan alternative melalui penerapan setrategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada dimasyarakat khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, dan ras. Dengan demikian tujuan dari Pendidikan Multikultural bukan hanya sekedar untuk murid-murid dapat memahami sebuah pelajaran didalam bangku sekolah, namun lebih dari pada itu dimana murid (siswa) dapat menjadi pribadi yang bersifat humanis, pluralis dan demokratis. Untuk dapat mewujudkan keinginan ini tentu pendidik meliki peran yang sangat penting dimana diharapkan kepada setiap pendidik bukan hanya dapat menciptakan transfer ilmu didalam sebuah kelas melainkan juga ikut berperan untuk menanamkan nilai-nilai Pendidikan Multikultural seperti Demokrasi, humanisme dan Pluralisme kepada naradidiknya.
 ReferensiÂ
       Alfian Putra Abdi, kasus-intoleransi-terus-bersemi-saat-pandemi, (Jakarta: Tirto.id).
Anonim, "Indonesia Comunal Violencein West Kalimantan", a. b. Herlan Antono, dalam Judul "Konflik Etnis Kalimantan Barat," Institut Studi Arus Informasi, 1998.
Badan Pusat Statistik (Penyunting), Sensus Penduduk september 2020, (Jakarta: Berita Resmi Statistik 2021).
Bidang Integrasi Pengolahan dan Diseminasi Statistik, Provinsi Sulawesi Tengah dalam Angka 2019, (Palu: UD Rio, 2019).
Casriarno, Adida, And Demianus Nataniel. "Dinamika Pendidikan Agama Kristen Di Tengah Wabah Corona: Sebuah Refleksi Berdasarkan Pengajaran Paulus Dalam Galatia 6:2". Jurnal Abdiel: Khazanah Pemikiran Teologi, Pendidikan Agama Kristen Dan Musik Gereja 4, No. 1 (May 17, 2020): 25-42. Accessed January 2, 2021. http://Journal.SttAbdiel.Ac.Id/Ja/Article/View/135
Edi Patebeng, Dayak Sakti, Ngayau, Tariu, Mangkok Merah, Konflik Etnis di Kalbar 1996/1997, (Pontianak: Institut Dayakologi, 1998).
Husniyatus, Rudy, Citra Pendidikan Profetik (Kuningan: Goresan Pena:2016).
Hasudungan Simatupang, Ronny Simatupang, Tianggur Medi Napitupulu Pengantar Pendidikan Agama Kristen (Yogyakarta: ANDI,2020).
Hasudungan Simatupang Defenisi Theologi Praktis Kristen Sesuai Kerabian YESUS dan Payung Bagi Pendidikan Kristiani (Yogyakarta: ANDI; 2015).
Jurnal Criksetra, Vol. 5 No. 10, Agustus 2016, hlm. 167-168
Jurnal Jaffray Is Nationally Accredited By Kemenristekbrin
The Journal Is Classified Into National's 2nd Highest Cluster For Reputable Journal In Indonesia No.Sk: 148/M/Kpt/2020, Started From: Volume 18 No. 1 April 2020 Until Volume 23 N0. 2 Oktober 2025.
Lihat dalam Jurnal Pemerintahan Edisi Perdana Januari-Maret, Simao de Assuncao, Peranan Pemerintah Daerah dalam Penyelesaian Konflik Budaya, Jakarta: Lembaga Pengkajian Manajemen Pemerintah Indonesia, 2010.
M.Ainul Yaqin Pendidikan Multikultural (Yogyakarta: LKiS: 2019).
Nur Kholik dan Ahmad Mufit Anwari Politik&Kebjikan Kementrian Agama (Sumatera Barat: INSAN CENDEKIA MANDIRI,2020).
Rantung, Djoys Anneke. "Pendidikan Agama Kristen Untuk Keluarga Menurut Pola Asuh Keluarga Ishak Dalam Perjanjian Lama". Jurnal Shanan 3, No. 2 (October 28, 2019): 63-76. Accessed January 1, 2021. Http://Ejournal.Uki.Ac.Id/Index.Php/Shan/Article/View/1579.
Rantung, Djoys Anake. "Pendidikan Agama Kristen Dan Politik Dalam Kehidupan Masyarakat Majemuk Di Indonesia". Jurnal Shanan 1, No. 2 (October 1, 2017): 58-73. Accessed December 25, 2020. Http://Ejournal.Uki.Ac.Id/Index.Php/Shan/Article/View/1492.
Santoso, Slamet. "Pendidikan Kristen Konteks Sekolah: 12 Pesan Untuk Guru Dan Pengelola". Jurnal Abdiel: Khazanah Pemikiran Teologi, Pendidikan Agama Kristen Dan Musik Gereja 3, No. 1 (May 29, 2019): 77-79. Accessed January 2, 2021. Http://Journal.Stt-Abdiel.Ac.Id/Ja/Article/View/38.
Sianipar, Desi. "Pendidikan Agama Kristen Yang Membebaskan: Suatu Kajian Historis Pak Di Indonesia". Jurnal Shanan 1, No. 1 (March 1, 2017): 136-157. Accessed December 28, 2020. http://Ejournal.Uki.Ac.Id/Index.Php/Shan/Article/View/1481
Suheri Harahap, Konflik Etnis dan Agama di Indonesia, Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama (JISA), Vol. 1 No. 2, 2018, Paulus Wirutomo, Menggagas Indonesia Masa Depan?, Makalah yang dipresentasikan dalam Dies Natalis UI, 2012
SN. Kartika Sari, (ed), Mengelola Konflik Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak, British Counsil, (Jakarta, 2010).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H