Saat ini, penggunaan hastag (#) atau tagar sudah menjadi popular, khususnya di media sosial, seperti Facebook, Twitter, dan Instagram. Â Ia menjadi penanda topik atau konten yang sedang dibicarakan dan diunggah seseorang di linimasanya. Hastag yang berseliweran saat ini menyentuh banyak soal, mulai dari politik, hukum, sosial, dunia pergaulan, dan seterusnya. Tergantung minat dan perhatian penggunanya.
Salah satu hastag yang sering mendapat perhatian adalah hastag teks politik atau yang berkaitan dengan politik. Seperti kita ketahui, menjelang pilpres 2019, banyak hastag yang berbau politik. Yang paling menyedot perhatian adalah hastag #2019GantiPresiden oleh pendukung Prabowo (anti Jokowi) atau #2019TetapJokowi dan #DiaSibukKerja oleh pendukung dan simpatisan Jokowi.
Tentu masih ada bentuk hastag kreatif lainnya. Tapi, kita tidak perlu menyebutnya secara detail di sini. Yang ingin kita refleksikan adalah soal seberapa penting penggunaan hastag politis itu? Apa saja manfaatnya? Apakah hanya gagah-gagahan atau sentilan yang tidak penting? Bagaimana kita memahami dan memaknainya, terutama dalam konteks pendemokrasian demokrasi?
Saya masih ingat hastag #ShameOnYouSBY, terutama di Twitter, pada akhir masa jabatan (mantan) Presiden SBY. Hastag/tagar ini muncul terkait dengan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah tahun 2014. Rancangan undang-undang ini mendapat sorotan dari masyarakat karena mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Saat itu, SBY yang juga sebagai ketua umum Partai Demokrat, sudah mengarahkan agar fraksinya di DPR mendukung opsi pemilihan kepala daerah secara langsung. Awalnya, arahan ini melegakan publik yang tidak setuju dengan pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Sebab, sebagai parpol dengan pemilik kursi terbanyak di DPR (148 kursi), keberadaan Demokrat jelas sangat mempengaruhi dinamika dan keputusan di DPR.
Dalam dinamika yang terjadi di DPR saat itu, fraksi yang mendukung pilkada langsung adalah PDIP (94 kursi), PKB (28 kursi), Hanura (17 kursi), ditambah dengan Demokrat (148 kursi). Sementara fraksi yang mendukung opsi pemilihan oleh DPRD adalah Golkar (106 kursi), PKS (57 kursi), PAN (48 kursi), PPP (38 kursi), dan Gerindra (26 kursi).
Kalau ditotal, pilkada tak langsung didukung 273 suara kursi DPR. Sementara yang mendukung opsi pemilihan langsung 287 kursi. Dalam hitungan angka ideal, kalau dua kubu ini dihadap-hadapkan dalam voting, tentu saja pendukung opsi yang terakhir yang menang. Â Namun, seperti kita semua tau, dalam voting pengesahan RUU Pilkada tersebut pada tanggal 26 September 2014, Fraksi Demokrat malahan melakukan aksi walk out. Alhasil, pendukung opsi pilkada tak langsung menang. UU Pilkada Langsung itupun akhirnya disahkan sebagai UU.
Tagar #ShameOnYouSBY pun jadi trending topik di Twitter. Sebab publik menganggap, aksi walk out Fraksi Demokrat itu adalah langkah cari aman atau bentuk dukungan "tersembunyi" opsi pilkada tak langsung. Arahan SBY dinilai sebagai omong kosong belaka. Anggpan publik ini tentu saja masuk akal. Sebab, kalau Demokrat benar-benar memilih opsi pilkada langsung, harusnya aksi walk out itu tidak terjadi.
Menurut mantan Ketua MK Mahfud MD, risakan (bulian) publik ini membuat SBY menangis di pesawat saat dalam perjalan ke Amerika. Â Tekanan publik ini kemudian mendorong SBY menerbitkan Perpu No 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Sekaligus mencabut UU No 22 Tahun 2014 yang mengatur pemilihan kepala daerah oleh DPRD.
Perisakan oleh publik melalui tagar tidak hanya terjadi pada SBY. Presiden Jokowi juga pernah mengalaminya saat mengajukan Budi Gunawan (saat ini Kepala BIN) sebagai calon tunggal Kapolri. Tagar #ShameOnYouJokowi menjadi salah trending tagar saat itu. Reaksi penolakan publik, yang salah satunya hadir dalam bentuk hastag ini, akhirnya ikut mendorong Jokowi untuk membatalkan pencalonan Budi Gunawan.
Tentu ada banyak bentuk tagar/hastag lainnya yang terkait dengan kebijakan pemerintah atau yang berkaitan dengan politik. Kita tidak perlu menyebutnya satu-satu di sini. Poin penting yang mau ditunjukkan di sini adalah mengenai peran hastag sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam membicarakan isu-isu tertentu. Dengan kata lain, masyarakat hadir dan terlibat dalam diskursus publik melalui hastag/tagar.
Dalam konteks penjelasan tersebut, saya kira, hastag itu punya andil positif dalam demokrasi. Kalaupun teks hastag itu super singkat, tapi sesungguhnya teks ringkas itu adalah intisari dari sebuah aspirasi  dan kehendak/keinginan masyarakat.  Hastag itu tidak hadir dari langit, tapi muncul dari bumi, dari realitas pdan fakta yang dihadapi dan digeluti oleh masyarakat. Menyadari soal ini, Pemerintah dan elite politik pun harusnya lebih responsif dalam menanggapi, menjadikannya sebagai masukan dan bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan. Dengan demikian, jangan meremehkan hastag.
 Hastag adalah bentuk diskursus publik zaman now, era yang mulai serba internet dan media sosial. Ia bagian integral dari demokrasi. Asalkan kontennya tidak kasar, vulgar, melecehkan, merendahkan personal, atau menyinggung masalah SARA yang rentan terhadap gesekan-gesekan. Melalui hastag, kita tetap harus menghargai dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusiawi orang/pihak/kelompok lain. Mari kita budayakan penggunaan hastag/tagar yang beradab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H