Demokrasi modern dan partai politik seperti dua sisi dari satu mata uang. Satu sama lain saling mengandaikan dan memperkuat. Tanpa partai politik, demokrasi akan timpang. Dalam demokrasi, partai politik menemukan tempat untuk mengejawantahkan diri. Kualitas partai politik menentukan kualitas demokrasi.
Runtuhnya rezim orde baru dan bergulirnya era reformasi bagaikan musim semi bagi lahirnya partai-partai baru di Indonesia. Konsekuensinya, demokrasi kita pun menganut sistem multipartai. Banyak partai yang bertarung dan bersaing untuk memenangkan kursi legislatif dan jabatan eksekutif, mulai dari presiden, gubernur, hingga bupati/walikota.
Sebenarnya, sistem multipartai ini menjadi indikasi menguatnya demokrasi partisipatoris. Artinya, setiap kelompok orang memiliki kebebasan dan keleluasaan untuk membentuk dan mendirikan partai politik sesuai dengan ideologi, visi, dan misi masing-masing. Hanya saja, pembentukan partai dengan berbagai atributnya itu harus tetap dalam kerangka Negara Pancasila dan UUD 1945.
Peran penting partai politik ini kemudian dipertegas dalam bentuk regulasi. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik secara gamblang menyebutkan partai politik adalah pilar dan sarana untuk mewujudkan sistem politik yang demokratis.
Pertanyaannya, apakah partai politik sudah menjalankan peran dan fungsinya? Apakah sistem multipartai mendorong demokrasai kita menjadi lebih baik?
Kalau mau jujur, partai politik menjadi salah satu persoalan rumit kita. Parpol adalah bagian masalah kita. Dalam berbagai survei selama bertahun-tahun, parpol selalu mendapat persepsi minus dari publik. Parlemen sebagai produk dari parpol juga mendapatkan cap yang sama.
Potret buram tersebut menjadi indikasi jelas bahwa parpol (dan parlemen) belum menjalankan peran dan fungsinya yang substansial, yaitu berjuang demi nasib rakyat.
Parpol umumnya dianggap lebih mengutamakan kepentingan segelintir elite dan kekuasaan. Sementara kepentingan rakyat kurang diperhatikan, bahkan diabaikan. Parpol masih hadir dalam tatataran superfisial. Sebab perannya secara dominan masih terbatas pada upaya memenangkan jabatan publik jabatan publik, baik eksekutif maupun legislatif.
Terobosan PSI
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) adalah salah satu partai baru yang sudah dinyatakan lolos untuk mengikuti pemilu 2019. Kiprah partai ini dalam politik nasional masih seumur jagung dan belum teruji.
Namun, di tengah isu bahwa PSI juga dibandari oleh orang dan kelompok tertentu, menurut saya, ada sejumlah terobosan partai ini yang layak untuk diberi apresiasi. Bahkan mungkin perlu jadi contoh untuk partai-partai mapan atau baru lainnya.
Pertama, publik ikut mendanai partai. Partai yang dibesut Grace Natalie ini telah meluncurkan kartu "Solidaritas Anti Korupsi dan Intoleransi (SAKTI)" untuk menggalang dana publik. Dana ini akan dikelola secara transparan dan akuntabel untuk mencegah dan meminimalisir praktek korupsi dalam partai.
Sebetulnya, penggalangan dana publik untuk pembiayaan partai bukanlah hal yang baru. Ia menjadi sebuah terobosan baru ketika pihak yang jadi penyumbang tidak hanya berhak untuk ikut menentukan arah kebijakan partai, tetapi juga memiliki kewenangan untuk mengawasi kader PSI yang duduk sebagai wakil rakyat.
Bagaimana implementasi hak dan kewenangan penyumbang ini memang masih belum jelas. Namun, komitmen PSI untuk membuka keran keterlibatan masyarakat secara langsung sudah menjadi sebuah langkah maju yang tepat dan bagus.
Kedua, partisipasi panelis independen. Saat ini PSI sedang menyeleksi calon legilatif yang akan ikut bertarung dalam pemilu 2019. Seleksi ini melibatkan panelis independen antara lain Mahfud MD, dan perwakilan dari DPP PSI.
Model perekrutan seperti itu, menurut saya, bisa mencegah praktek perkoncoan, kompromi, transaksional atau jual-beli tiket calon legislatif. Sekaligus diharapkan bisa menjaring calon anggota legislatif yang memiliki kecakapan intelektual, berwawasan luas, dan berintegritas.
Mengevaluasi Kader
Tata kelola partai politik yang baik belum cukup kalau hanya sampai pada dua terobosan seperti yang dilakukan PSI di atas. Menurut saya, persoalan penting lainnya adalah bagaimana mengelola, mengawasi, dan mengevaluasi kader partai yang sudah dan sedang menjadi anggota legislatif. Selama ini, proses pengawasan dan evaluasi yang objektif disinyalir masih belum berjalan maksimal. Indikasinya cukup jelas, kinerja dewan umumnya melempem.
Untuk mengatasi persoalan akut ini, partai politik harus mulai memberikan penilaian dan evaluasi berkala yang terukur dan objektif atas kinerja kadernya di DPR. Buat indikator kinerja dan target pencapaian bagi masing-masing kader. Hasil penilaian ini bisa menjadi tolak ukur dan pertimbangan untuk proses pencalonan anggota legislatif di periode berikutnya. Kalau kinerjanya baik, wajib untuk dipertahankan. Jika tidak, pantas untuk dilengser, lalu digantikan oleh kader yang lebih kompeten.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H