Yap, saya sedang membicarakan dua tokoh utama dalam serial Gadis Kretek yang barusan tayang di Netflix. Saya telat menonton, jadi saya nggak akan review filmnya karena pasti sudah banyak yang menulis. Saya cuma mau curhat betapa kecewanya saya dengan karakter yang ada di situ.Â
Jeng Yah adalah Dasiyah, perempuan peracik saus Kretek Gadis yang beraroma mawar.Â
Sedangkan Raja adalah Soeraja, laki-laki random yang memahami dan mendukung passion Jeng Yah. Raja bahkan menyiapkan apa saja yang dibutuhkan Jeng Yah dan membantu melejitkan potensinya.Â
Sesuai konteks waktu, Jeng Yah termasuk perempuan yang berpikiran progresif pada zamannya. Dia rutin menulis catatan harian dan melakukan pekerjaan administratif pabrik kretek dengan baik. Jeng Yah juga visioner, ia melihat kretek milik ayahnya dengan produk pesaingnya begitu-begitu saja. Jeng Yah pikir butuh inovasi yang bikin kretek produksi pabrik Idroes Moeria lebih unggul dari lainnya.
Jeng Yah punya bakat, wong anak juragan kretek gitu, loh. Sedari kecil dia sudah menghirup bau tembakau dan cengkeh. Indra penciumannya terasah, otaknya berjalan menelusuri aroma demi aroma sampai bisa memformulasi saus kretek sendiri dalam pikirannya.Â
Sayangnya lingkungan tak berpihak pada mimpi Jeng Yah. Perempuan saat itu dilarang masuk laboratorium saus karena dianggap kotor dan saus kretek bukanlah urusan perempuan.Â
Raja adalah kunci bagi Jeng Yah. Kunci yang membuatnya bisa masuk ruang saus dan meracik formula Kretek Gadis. Raja satu-satunya orang yang mau mendengarkan dan berusaha mewujudkan impian Jeng Yah.Â
Keduanya hampir sampai pada mimpi yang jadi kenyataan, tapi langkah yang salah membuat bubrah. Â
Andai Raja tidak balik kanan dan lari bersembunyi setelah ditembak aparat, mungkin dia nggak akan terdampar di rumah Purwanti yang menjadikannya berpaling dari Jeng Yah.Â
Masa sih, Raja telat paham kalau ayah Purwanti, Pak Djagat adalah pesaing berat calon mertuanya sehingga mestinya dia bisa lebih waspada saat Djagat mengajaknya berkongsi.Â